Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada penanda apa pun di kerumunan pohon kapuk tak jauh dari jalan besar yang menghubungkan dua kelurahan, Loli dan Watusampu, di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tapi di tengah-tengah semak itulah tiga tokoh PKI dieksekusi dan dikubur pada Mei 1967. Mereka adalah Abd Rahman Maselo dan Hairi Ruswanto, masing-masing Ketua dan Wakil Ketua Pimpinan Comite Daerah Besar PKI Sulawesi Tengah, serta Sunaryo, Ketua Pemuda Rakyat Sulawesi Tengah.
Ahmad Bantam, pensiunan tentara dengan pangkat terakhir sersan dua, tahu persis letak kuburan itu karena dialah yang menggalinya. Waktu itu, tutur lelaki kelahiran Ambon yang kini berusia 82 tahun ini, kuburan dia gali bersama dua rekannya atas perintah Kapten Umar Said, komandannya di Markas Komando Resimen 132 Tadulako di Jalan Sudirman, Palu.
Tiga petinggi PKI itu kemudian mereka jemput di penjara Donggala, lalu dibawa ke tempat galian. Ahmad diminta menjaga mobil, sedangkan Umar dan beberapa tentara lain turun sambil membawa tahanan. Beberapa menit kemudian Ahmad mendengar letusan senapan. "Dorang sudah tumbang," kata Ahmad dalam hati. Mobil kemudian melaju cepat kembali ke Palu dan Ahmad melihat ada bekas darah segar menempel di sekop di mobil itu.
Penelusuran Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah menunjukkan bahwa kuburan itu pernah digali pada 1977 dan kerangkanya dikuburkan kembali di samping gedung Korem. Tapi di samping kiri dan kanan gedung itu kini sudah berdiri gedung lain.
Ahmad memegang erat-erat rahasia itu selama puluhan tahun. Namun, makin tua usianya, beban itu makin menyesakkan dada. Apalagi dia dikambinghitamkan sebagai pembunuh para petinggi itu. Sebenarnya, pada 1977, saat diperiksa Detasemen Polisi Militer Palu, ia sudah menuturkan dengan jelas soal laporan hilangnya tiga petinggi PKI itu, tapi laporan tersebut hanya terkunci di arsip militer.
Akhirnya, Ahmad memutuskan mencari keluarga ketiga tokoh komunis itu pada 2006. "Saya beri tahu bahwa keluargamu bukan hilang, tapi sudah ditembak mati.Saya yang menggali kuburannya," ujar Ahmad. "Sebentar lagi saya meninggal. Saya tidak mau rahasia ini tidak dibuka, kasihan keluarga korban."
Pengakuan Ahmad ini seperti pentil dilepas dari ban bagi keluarga korban. "Lega, plong hati ini. Selama ini saya sudah ke mana-mana menanyakan keberadaan Bapak, ke Manado, Makassar, Jakarta, bahkan ke Cina dan Rusia," kata Maryam Labonu, istri Abd Rahman, yang kini berusia 74 tahun.
Sejak suaminya ditangkap, Maryam hidup bersama tiga anaknya yang berusia 8 bulan hingga 2 tahun, yakni Gagahrismus, Rulian, dan Gamal Bardi. Dia bersama anak-anaknya sempat ditahan selama setahun di sebuah penjara di Jalan Nusa Indah. Tak ada yang tersisa dari kejayaan suaminya sebagai tokoh partai, termasuk rumah besarnya di Jalan Jenderal Sudirman pun dilego orang. "Saya tak mempermasalahkan, yang penting jiwa ini tak diambil," kata bekas guru SD Negeri 10 Palu yang menghidupi keluarganya dengan berjualan kue hingga kini itu. Tapi, "Yang masih ada dalam benak saya, kenapa saya ditangkap? Apa salah saya?"
Ahmad sebenarnya juga mempertanyakan kenapa orang-orang PKI di sana ditangkap dan dibunuh. "Belasan tahun saya sebagai intel tidak pernah ada indikasi orang PKI Sulawesi Tengah mau memberontak. Itu sebabnya saya yakin orang dieksekusi itu tidak tahu masalah," katanya.
Ahmad juga memberikan pengakuannya kepada Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Sulawesi Tengah, termasuk laporan palsu yang dibuat Umar Said, yang menyatakan bahwa ketiga korban dieksekusi karena mencoba melarikan diri ke laut saat pamit buang air kecil. "Bagaimana mau lari, ikatannya pendek-pendek, dan ikatannya saling terkait ketiganya," kata Ahmad.
Sejak 2006, kelompok solidaritas ini mendata lebih dari seribu korban peristiwa 1965-1966 di provinsi tersebut. Empat di antaranya belum kembali, yakni tiga petinggi PKI yang dihabisi di Watusampu dan Zamrud, pemimpin PKI di Donggala. Kelompok itu lalu mencoba menggulirkan upaya rekonsiliasi antara para pelaku dan korban. Salah satunya dengan acara Dialog Terbuka Memperingati Hari Hak Korban Pelanggaran HAM atas Kebenaran dan Keadilan pada 24 Maret 2012 di Taman GOR.
Dalam pertemuan itu, Wali Kota Palu Rusdi Mastura secara terbuka meminta maaf kepada para korban atas kejadian di masa lalu. Rusdi bercerita, saat itu dia berusia 16 tahun dan bersekolah di SMA 1. Sebagai anggota Pramuka, dia disuruh kepala sekolahnya menjaga tempat-tempat tahanan di sekitar kota itu selama 1-2 bulan. "Jadi saya tahu peristiwa itu. Saya tahu Umar Said membunuh empat orang itu di Watusampu. Dalam perhitungan saya, dia hanya menutup belangnya dan akhirnya dia juga ditangkap," kata Rusdi, yang mengaku tak turut menyiksa para tahanan.
Dalam pidatonya, Rusdi mengatakan saat itu politik jadi panglima, dan peristiwa pemberontakan PKI di Madiun terus-menerus diangkat, sehingga timbul rasa dendam. Karena itu, "Sebagai pemerintah Kota Palu, saya minta maaf. Saya juga sebagai orang Masyumi dan bisa dikatakan pelaku juga pada saat itu karena ikut menangkap dan menjaga rumah tahanan," katanya.
Rusdi dan pejabat pemerintah Palu berjanji memberikan kesehatan gratis kepada keluarga korban dan beasiswa bagi anak-anak korban serta mendirikan monumen di lokasi kerja paksa PKI. Pada 1970-an, para tahanan dipaksa membuat sejumlah jalan dan gedung perkantoran di kota itu. "Ada 15 titik jalan yang dikerjakan orang PKI secara kerja paksa," kata Nurlaela Lamasitudju, Koordinator Solidaritas Korban.
Pelan-pelan rekonsiliasi mulai bergulir di kota itu. Setiap bulan, para korban dan pelaku bertemu. Para pelaku atau keluarganya mulai muncul dan meminta maaf. Misalnya Shinta, putri Darman Sura, seorang pensiunan polisi yang bertugas di Kepolisian Distrik Parigi pada masa 1965-1966. Shinta datang di pertemuan itu dan meminta maaf kepada korban atas nama bapaknya, karena bapaknya ternyata pernah memukul hingga gigi korban rontok. Seminggu kemudian, Darman meninggal. Pengakuan para pelaku itu telah menyemai benih rekonsiliasi di Palu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo