Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Soal Statistik Korban

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Robert Cribb, Guru besar politik dan sejarah Asia di Australian National University, Canberra

Tak ada angka pasti mengenai jumlah korban tewas dalam pembantaian 1965-1966. Perkiraannya berkisar dari 200 ribu sampai 3 juta jiwa. Jumlah yang paling mungkin sekitar setengah juta. Catatan resminya, jikapun ada, belum diterbitkan. Kita tahu bahwa sebagian tentara Indonesia mengawasi pembunuhan di beberapa wilayah Indonesia. Andai unit itu telah membuat laporan tentang pembantaian, hasilnya akan ada dalam arsip militer. Tapi banyak pembunuhan dilakukan di luar kerangka kerja resmi—di mana Partai Komunis Indonesia merupakan kekuatan signifikan, dan masyarakat tengah dilanda suasana ketakutan. Suasana ngeri ini timbul dari ketegangan dan ketidakpastian yang merajalela sebelum upaya kudeta.

Situasi itu timbul dari keyakinan yang meluas bahwa Partai Komunis telah merencanakan pembantaian musuh lokal mereka—menyusul kudeta di Jakarta. Keyakinan ini didorong propaganda tentara tentang penganiayaan para jenderal di Lubang Buaya, yang ternyata tidak benar. Milisi antikomunis mendapat dorongan serta bantuan dari pihak tentara dan kadang menerima pelatihan serta senjata. Banyak di antara mereka mengadakan operasi sendiri terhadap anggota PKI. Ini terutama terjadi di Jawa Timur—di mana unit Barisan Ansor Serbaguna bertanggung jawab atas pembunuhan banyak anggota PKI.

Dari daerah lain—Timor, Lombok, dan Medan—juga ada laporan tentang milisi yang melakukan banyak pembunuhan. Tak semua orang yang hilang tewas. Menyadari risiko menjadi korban, banyak yang mencoba melarikan diri. Beberapa ditangkap, dipenjarakan, atau dibunuh. Ada yang tak diketahui jejaknya dan menjalani hidup baru di tempat-tempat lain di negeri ini. Sebagian besar orang ini—sejauh yang kita tahu dari beberapa cerita—sulit hidupnya dan menjadi masyarakat pinggiran.

Pada Desember 1965, banyak sekali orang tewas di Pulau Jawa. Presiden Sukarno mengirimkan Komisi Pencari Fakta yang dipimpin Menteri Oei Tjoe Tat untuk menyelidiki jumlah korban. Kerja Komisi tidak lancar karena pembantaian masih berlangsung dan akses ke daerah terbatas. Komisi pun takut terhadap pembalasan tentara kalau mereka mencantumkan jumlah korban yang tinggi. Karena itu, angka Komisi Pencari Fakta—78 ribu korban jiwa—tak bisa dipercaya.

Belakangan, seorang anggota Komisi mengatakan jumlah korban sebetulnya sepuluh kali lipat dari yang dipublikasikan. Satu laporan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada 1966—yang disusun atas dasar survei sejumlah "lulusan universitas"—menyebutkan angka korban tewas sekitar 1 juta orang. Sepuluh tahun kemudian, Komandan Kopkamtib Laksamana Sudomo merevisi angka ini menjadi setengah juta. Pada 1989, mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (sekarang Komando Pasukan Khusus) Brigadir Jenderal Sarwo Edhie Wibowo menyebut jumlah korban sebanyak 3 juta. Dan para aktivis kiri memberi angka 2 juta jiwa.

Sayang, kita tak bisa mengandalkan perkiraan-perkiraan di atas karena orang-orang yang mengeluarkannya punya alasan mendistorsi angka. Kaum kiri membesar-besarkan skala pembantaian untuk menekankan kesalahan para pelaku. Para penentang komunis juga punya alasan: angka yang tinggi akan menegaskan bahaya Partai Komunis bagi masyarakat Indonesia, angka yang rendah akan mengurangi kesalahan mereka.

Pada saat pembunuhan, tak ada yang mau menghitung mayat korban. Selama periode Orde Baru dan di era reformasi, tak ada kemungkinan menggali kuburan secara sistematis untuk membuat sensus kematian yang berarti, seperti yang terjadi di Kamboja. Memori saksi untuk keperluan statistik juga sulit digunakan. Kenangan orang sering bermasalah, membingungkan, dan detailnya tak dapat diandalkan.

Kita harus mengandalkan keadaan waktu itu. Misalnya, PKI mengklaim keanggotaannya 3 juta orang (mungkin angka ini bersumber dari estimasi Sarwo Edhie), tapi sebagian besar pengamat memperkirakan jumlah aktivis partai itu sekitar setengah juta, dengan puluhan ribu di organisasi kemasyarakatan yang berafiliasi dengan PKI. Partai Komunis Indonesia hancur karena pembantaian. Beberapa pemimpinnya mendirikan basis perlawanan di Blitar, sedangkan yang lain berhasil bertahan dalam persembunyian atau di pengasingan. Tapi secara keseluruhan partai itu dibasmi.

Jika kita membandingkan catatan sensus 1961 dengan 1971, amat sulit menemukan jejak demografi pembantaian. Populasi Ponorogo, misalnya, tempat pembantaian luas terjadi, agak kecil pada 1971 dibandingkan dengan angka yang semestinya—jika populasinya meningkat secara normal sejak 1961. Namun Kediri, tempat beberapa pembantaian paling biadab terjadi, mengalami tingkat pertumbuhan penduduk yang sehat. Jikapun ada kesenjangan di daerah tertentu akibat pembunuhan, hal itu tampaknya telah diisi migrasi.

Pembunuhan cukup parah di beberapa tempat menyisakan desa-desa yang berisi janda dan anak-anak, menimbulkan kekurangan guru—hingga level kritis—di sebagian besar wilayah Jawa (banyak guru didominasi serikat guru komunis), dan membatasi kegiatan kebudayaan di Bali karena pembunuhan banyak anggota Lekra.

Pada akhirnya, kita tak dapat menemukan bukti yang menunjukkan jumlah kematian di seluruh Indonesia lebih tinggi dari sekitar setengah juta jiwa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus