Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk pertama kalinya dalam sejarah film Indonesia, sebuah film dokumenter menampilkan pengakuan seorang algojo PKI. Namanya Anwar Congo. Ia preman bioskop Medan. Dalam film The Act of Killing yang dibesut sutradara Joshua Oppenheimer itu, ia memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukannya.
Film itu menampilkan kesadaran Anwar tentang bagaimana menjadi seorang pembunuh dan bagaimana seandainya menjadi korban yang dibunuh. Saat The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto, pers Barat menyebut film itu mengerikan dan mengguncang batin. Itu karena Anwar tampak bangga dengan tindakannya. Bisakah film ini mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang sejarah kelam 1965?
Dari Serdang Bedagai sampai Medan
Film The Act of Killing mengguncang Festival Film Toronto. Bagaimana Joshua Oppenheimer bisa menemui para pembantai PKI di Sumatera dan berkenalan dengan Anwar Congo?
Festival Film Telluride di Colorado, Amerika Serikat, awal September lalu. Begitu film dokumenter The Act of Killing (Jagal) selesai diputar, seorang perempuan bergegas menemui sang sutradara, Joshua Oppenheimer.
Perempuan itu kelihatan seperti habis menangis. Kepada Oppenheimer, ia berkata, "Film yang kamu buat bukan cuma tentang Indonesia. Film ini tentang kita semua."
Seminggu setelah diputar di Colorado, The Act of Killing ditayangkan perdana di Festival Film Internasional Toronto, Kanada (6-16 September). Sejumlah media mencatat The Act of Killing sebagai salah satu film favorit di antara 300 film yang diputar. Film ini sekaligus dipandang sebagai film yang mengerikan dan mengguncang batin.
Film ini mengisahkan Anwar Congo, seorang preman bioskop di Medan yang di masa mudanya, pada 1965-1966, tanpa belas kasihan menjadi pembantai utama orang-orang Partai Komunis Indonesia di kota itu. Dalam film, penonton bisa melihat bagaimana Anwar tanpa tedeng aling-aling menceritakan keganasannya.
Bagaimana bisa Oppenheimer sampai ke Sumatera dan kemudian bertemu dengan Anwar Congo? Oppenheimer menginjak Sumatera pada 2001. Saat itu, ia membuat film dokumenter mengenai buruh perkebunan sawit di kawasan Matapao, Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
"Saya ingin mengangkat persoalan mereka, seperti kesulitan membentuk serikat buruh," kata Oppenheimer mengenang.
Oppenheimer ingat, selama pembuatan film itu, ia mendapatkan fakta menarik. Para buruh tersebut ternyata hidup bertetangga dengan orang-orang yang banyak membunuh buruh PKI pada 1965-1966. "Mereka bertetangga dengan jagal yang membunuh bapak, paman, dan bibi mereka sendiri," ujarnya.
Pada satu kesempatan, Oppenheimer berbincang-bincang dengan salah satu jagal. Jagal itu bercerita bagaimana dia membunuh anggota serikat buruh yang berafiliasi dengan PKI—dengan perincian yang mengerikan. "Bayangkan, ia bercerita di depan cucu perempuannya yang berusia 9 tahun," kata Oppenheimer.
Oppenheimer mengaku terpana oleh keterbukaan jagal ini. Setelah menyelesaikan film buruh perkebunan, ia kembali ke Inggris. Tapi ia kemudian memutuskan balik ke Sumatera untuk membuat film tentang para algojo tersebut. Ia kembali ke MataÂpao pada 2004.
Pada Februari tahun itu, Oppenheimer memfilmkan mantan pemimpin pasukan pembunuh bernama Amir Hasan yang tinggal di Kecamatan Teluk Mengkudu, Serdang Bedagai. Amir ternyata seorang penulis buku. Ia mencatat semua pengalamannya mengganyang orang-orang PKI di Teluk Mengkudu dalam sebuah stensilan 100 halaman berjudul Embun Berdarah. Di stensilan itu, ia menceritakan secara detail pemberantasan PKI di Teluk Mengkudu. Oleh Amir, Oppenheimer diberi stensilan itu.
Tempo berusaha menemui Amir Hasan. Dari Medan, Tempo naik mobil ke arah timur, sekitar dua jam, ke Teluk Mengkudu. Tapi, saat Tempo mendatangi rumah Amir, Jumat pekan lalu, ternyata ia sudah meninggal—tiga tahun lalu. Anak bungsunya, Zulfansyah, mengaku tidak tahu ayahnya menulis apa yang terjadi di Teluk Mengkudu pada 1965-1966 itu. Zulfansyah menaruh curiga terhadap kedatangan Tempo.
Tempo memperoleh stensilan Embun Berdarah dari Yohana, 59 tahun, kerabat Amir. "Ini cerita tentang kampung di sini," katanya. Dalam buku ini, Amir mencatat, di seluruh Kecamatan Teluk Mengkudu pada 1965 itu ada 702 orang yang terlibat PKI. Amir menyertakan daftar nama warga desa yang menjadi anggota PKI berikut onderbouw-nya, seperti Barisan Tani Indonesia, Serikat Buruh Perkebunan Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia, dan Pemuda Rakyat.
Amir menulis, dia bersama rekannya banyak mengambil orang PKI yang ditahan di penjara Tanjang Kasau. Misalnya, ia mencatat seperti ini. Pada 22 Februari 1966, pukul 22.00, mereka memenggal leher seorang anggota PKI bernama Tris, yang mereka cokok dari penjara Tanjung Kasau. Seorang rekannya bernama Marik mengeksekusi, crokkk…, leher Tris putus dari badan.
Tempo bertemu dengan warga Teluk Mengkudu bernama Maeran yang mengenal Amir. Maeran pada masa itu menjadi anak buah Amir. Maeran bercerita operasi dikendalikan dari sebuah pos jaga di Simpang Matapao, persimpangan antara Jalan Lintas Timur Sumatera dan jalan masuk ke Pematang Setrak. "Kami berkumpul di situ," katanya.
Setelah memfilmkan Amir Hasan, Oppenheimer bertemu dengan banyak tokoh jagal lain. Pada 2005, Oppenheimer berkenalan dengan Anwar Congo. Anwar dikenal sebagai preman bioskop. Dia dulu menguasai pasar gelap karcis di Medan Bioskop.
Oppenheimer menemukan bukti bahwa anggota pasukan pembunuh di Medan pada 1965 rata-rata direkrut dari preman bioskop. Ini terjadi karena preman bioskop membenci kaum kiri lantaran mereka memboikot film-film Amerika. Film Amerika pada saat itu adalah film yang paling menguntungkan bagi para preman pencatut karcis. Warga Medan saat itu menggemari film Amerika. Di Medan, sampai ada fans club James Dean yang punya banyak anggota berdandan dan berlagak layaknya James Dean. Pemboikotan film Amerika berarti penurunan penghasilan bagi preman bioskop.
Oppenheimer juga berkenalan dengan Adi Zulkadry, kawan sepermainan Anwar sejak masih remaja. Bersama Adi dan beberapa teman lain, Anwar melakukan penangkapan, penculikan, interogasi, penyiksaan, pembunuhan, serta pembuangan mayat di Medan. Mereka membentuk pasukan pembunuh yang terkenal dan ditakuti di Medan, yaitu Pasukan Kodok.
Pasukan ini berada di bawah koordinasi organisasi sayap pemuda partai Ikatan Perintis Kemerdekaan Indonesia, yang didirikan Jenderal A.H. Nasution: Pemuda Pancasila. Di Pemuda Pancasila, Anwar bisa dikatakan salah satu pendiri dan pinisepuhnya. Adi Zulkadry sendiri pernah aktif dan menjadi bendahara Pemuda Pancasila Sumatera Utara. Namun, karena konflik pribadi dengan sesama anggota, Adi keluar dari organisasi. Walau demikian, persahabatannya dengan Anwar tidak pernah putus.
"Saya memperkenalkan diri kepada mereka sebagai sutradara film dengan keinginan membuat sebuah dokumenter tentang pengalaman hidup mereka dan sejarah penumpasan PKI pada 1965-1966," kata Oppenheimer. Menurut Oppenheimer, saat syuting kadang Anwar menyampaikan rasa khawatirnya akan adanya aksi balas dendam dari keluarga korban. Tapi Anwar selalu yakin bahwa dia dan rezim di Indonesia telah menciptakan ketakutan dan kepasrahan yang sedemikian rupa sehingga keluarga korban tidak akan melakukan balasan apa pun.
Oppenheimer menceritakan, dalam setiap tahap proses pembuatan film, mulai wawancara hingga syuting, ia selalu berdiskusi dan menjelaskan kepada para kru apa yang sedang mereka kerjakan dan apa tujuannya. "Pendekatan yang saya ambil sebetulnya mendudukkan saya lebih banyak sebagai fasilitator dan pengawal teknis," ujarnya.
Menurut Oppenheimer, gagasan mengenai bagaimana adegan harus dibuat, dan dengan kostum seperti apa, lebih banyak datang dari para peserta. The Act of Killing bukanlah film yang berangkat dari sebuah skrip atau outline tertentu. Film ini justru mengandalkan tangkapan atas peristiwa-peristiwa candid, spontan, bahkan emosional yang tidak bisa diprediksi. "Modal saya hanyalah kesabaran dan membiarkan kamera terus merekam," katanya.
Untuk membantu Anwar menuangkan fantasinya, Oppenheimer mempertemukan Anwar dengan kawan lamanya, Ibrahim Sinik, pemilik harian Medan Post—yang lantai atas kantornya sering digunakan Anwar untuk melakukan pembantaian.(Ibrahim Sinik sendiri pernah memproduksi film Batas Impian, pada 1974, yang dibintangi artis pendukung Camelia Malik).
"Saya tidak menyalahkan Anwar. Saya berterima kasih atas kejujurannya. Pembuatan film ini, betapapun demikian, melalui proses yang menyakitkan," ujar Oppenheimer kepada Tempo. Ia mengatakan respons penonton di Toronto dan Telluride yang tersentuh oleh film The Act of Killing sangat berarti baginya. "Melalui penontonlah saya dapat meredakan sakit yang saya rasakan selama beberapa tahun terakhir ini saat memfilmkan Anwar," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo