Pemilu tinggal tiga pekan lagi. Inilah saat tensi politik kembali bergelegak. Para calon presiden dan wakil presiden mulai berancang-ancang untuk berkampanye. Bahkan beberapa di antaranya sudah mencuri start. Semua calon presiden dan wakil presiden juga sibuk memermak citra diri serta membangun program-program kampanye.
Gema kesibukan itu tentu menular dan merambat ke para tokoh di belakang calon presiden. Said Agil Siradj, misalnya, sibuk blusukan ke pesantren-pesantren untuk mencari dukungan bagi Hasyim Muzadi yang berpasangan dengan Megawati. Dia dengan sejumlah karibnya sowan ke kiai-kiai berpengaruh.
Hiruk-pikuk serupa dialami tim sukses Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto. Sejak April lalu, markas mereka di lantai 21 Menara Imperium, Kuningan, Jakarta, tak pernah sepi. Deretan poster yang berisi kalimat Wiranto untuk menjadi Presiden RI juga meramaikan dinding di ruangan itu. Tumpukan buku, stiker, dan jaket, semuanya tampak meriah. Orang-orang yang bekerja di sana pun penuh senyum mengembang, mungkin karena membayangkan kemenangan yang ada di depan mata.
Begitu pula di kantor Amien Rais, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Hamzah Haz. Tim sukses para calon presiden itu seperti berpacu dengan waktu untuk menghidupkan mesin kampanye buat mencari dukungan.
Dulu, tim sukses presiden dan wakil presiden sungguh tak pernah terbayangkan ada di Indonesia. Sejak 1966 hingga 1998, rakyat Indonesia selalu disuguhi ”ketoprak” pemilihan presiden. Tak pernah ada yang namanya tim sukses presiden. Sebab, Soeharto pasti terpilih. Dan tak ada tim sukses wakil presiden. Sebab, semuanya bergantung pada kerso (kemauan) Soeharto. Yang ada, seperti ditulis Laporan Utama TEMPO edisi 12 Februari 1983, hanyalah spekulasi siapakah pejabat yang paling disukai Soeharto saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini