Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berpacu Melahirkan Vaksin Merah Putih

Pengembangan vaksin Merah Putih buatan Universitas Airlangga dan Lembaga Biomolekuler Eijkman berjalan paling cepat. Bisa diproduksi paling cepat pada kuartal pertama tahun depan.

16 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Peneliti beraktivitas di ruang riset vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, 12 Agustus 2020. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Perbesar
Peneliti beraktivitas di ruang riset vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, 12 Agustus 2020. ANTARA/Dhemas Reviyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Tim peneliti dari tujuh lembaga sedang bekerja untuk menghasilkan vaksin buatan dalam negeri.

  • Pengembangan vaksin Merah Putih oleh Universitas Airlangga dan Lembaga Biomolekuler Eijkman lebih maju.

  • Vaksin Merah Putih akan bisa diproduksi paling cepat pada kuartal pertama tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA – Pengembangan vaksin Merah Putih untuk memenuhi kebutuhan vaksinasi Covid-19 di Tanah Air terus berjalan. Dari tujuh lembaga yang terlibat pengembangan, baru kandidat vaksin buatan Universitas Airlangga dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang kemajuannya tergolong cepat. Jika berjalan sesuai dengan rencana, vaksin Merah Putih buatan salah satu atau kedua lembaga itu bisa diproduksi paling cepat pada kuartal I 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, mengatakan penelitian tim Universitas Airlangga dan Eijkman sudah menunjukkan kemajuan. Meski begitu, ia menuturkan, masih ada kendala uji praklinis terkait dengan ketersediaan animal biosafety level 3 dan fasilitas good manufacturing practice untuk produksi yang masih terbatas bagi setiap platform. Karena itu, BRIN akan mempercepat penyediaan dua fasilitas tersebut. “Harapan kami bisa sebelum kuartal I 2022,” kata Handoko kepada Tempo, kemarin.

Menurut Handoko, tim peneliti vaksin Universitas Airlangga mendapat dukungan dari PT Biotis Pharmaceutical Indonesia. Sedangkan tim Lembaga Biologi Molekuler Eijkman bekerja sama dengan PT Bio Farma (Persero). Sembari menunggu fasilitas dari BRIN, Handoko mengatakan tim Universitas Airlangga akan memanfaatkan fasilitas yang ada, meski kecil, di PT Biotis untuk uji praklinis primata. Handoko menegaskan perlu kesabaran karena belum ada tim yang berpengalaman mengembangkan vaksin dari awal di Indonesia. “Saya berharap salah satu ada yang sukses,” ucap dia.

Laksana Tri Handoko. TEMPO/M Taufan Rengganis

Selain tim peneliti dari Universitas Airlangga dan Eijkman, lima tim peneliti dari sejumlah institusi masih berjibaku mengembangkan vaksin Covid-19. Kelima institusi itu ialah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Indonesia.

Ketujuh institusi ini mengembangkan vaksin dengan platform berbeda. Lembaga Eijkman, LIPI, UGM, dan Universitas Padjadjaran memakai platform protein rekombinan. Universitas Airlangga memilih virus yang dimatikan (inactivated virus). Sedangkan Institut Teknologi Bandung menggunakan vektor virus atau adenovirus dan Universitas Indonesia mengembangkan vaksin berplatform RNA, DNA, protein sub-unit, serta partikel mirip virus.

Dari hasil evaluasi sejak Juni lalu, Handoko menuturkan ada beberapa masalah fundamental. Sejak tahun lalu, sewaktu masih menjadi Kepala LIPI, Handoko menyadari bahwa pemerintah tidak memiliki atau tidak mampu memfasilitasi ranah riset yang berada di tengah, yakni antara ranah riset dan industri. “Itu sebabnya belum pernah ada hasil riset terkait dengan vaksin, obat, imunomodulator yang bisa sampai ke industri,” ujar dia.

Penelitian Universitas Indonesia, yang mengembangkan vaksin dengan empat platform, masih belum menunjukkan perkembangan. Menurut Handoko, hingga saat ini tim UI sudah berhasil mendapatkan ekspresi vektor. Namun, ia mengatakan, penelitian itu masih jauh karena bisa tiba-tiba gagal di salah satu tahap. “Atau sebaliknya, bisa tiba-tiba kencang di tahap tersebut,” kata Handoko.

Sama seperti UI, tim peneliti dari LIPI juga berpotensi gagal, tapi juga bisa sebaliknya, melesat. LIPI mengembangkan bibit vaksin Merah Putih dengan platform protein rekombinan fusi. LIPI menargetkan bisa menyerahkan bibit vaksin ke industri pada awal 2022. “Yang di LIPI sudah masuk purifikasi dan seleksi, tapi prosesnya masih manual,” ujar Handoko.

Tim peneliti dari Universitas Gadjah Mada menargetkan fase praklinis vaksin mulai kuartal I atau Januari-Maret 2022. Sebanyak 25 peneliti dari kampus itu terlibat dalam proyek ini. Kini, penelitian sampai pada tahap karakterisasi dan purifikasi dari platform protein rekombinan dan adjuvant.

Koordinator tim vaksin Merah Putih Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yodi Mahendradhata, belum bisa memperkirakan kapan pengembangan vaksin ini akan rampung. Menurut dia, ketersediaan sumber daya dan anggaran dari institusi mempengaruhi pengembangan vaksin Merah Putih.

Selain perlu dukungan anggaran, tim peneliti UGM terhambat ketersediaan reagen. Kondisi laboratorium yang menerapkan sistem buka-tutup sesuai dengan periode pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat juga mengganggu penelitian. Tak hanya itu, sejumlah anggota tim juga terinfeksi Covid-19. “Itu yang paling berat. Apalagi kondisi pandemi di Yogya parah,” kata Yodi.

Yodi telah menjajaki kerja sama dengan tiga pelaku industri dalam pengembangan vaksin Merah Putih. Tapi belum ada industri yang menyatakan siap bekerja sama karena masih menghitung prospek investasi dan risiko.

Dibandingkan dengan tim lain, tim peneliti dari Universitas Airlangga menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Sejak 9 Agustus lalu, calon vaksin Merah Putih kampus itu telah menjalani uji praklinis tahap kedua pada delapan ekor monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis melalui penyuntikan tahap kedua. Dosis pertama telah diberikan pada 25 Juli lalu.

Adapun uji praklinis tahap pertama pada tikus telah dilaksanakan pada awal tahun lalu. Dibutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk menganalisis hasil uji praklinis tahap pertama itu. Setelah respons atas suntikan dianggap bagus, baru dilanjutkan ke hewan besar. “Analisisnya harus lengkap,” kata Koordinator Produk Riset Vaksin Covid-19 Universitas Airlangga, I Nyoman Tri Puspaningsih.

Nyoman berharap uji praklinis selesai sesuai dengan target waktu, sehingga pada September nanti vaksin sudah bisa diuji klinis pada manusia. Uji klinis akan memakan waktu 6-8 bulan. Uji klinis fase I yang melibatkan 100 relawan akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. Uji klinis fase II akan dilakukan di lokasi yang sama dengan melibatkan 400 relawan. Adapun uji klinis fase III bakal melibatkan 4.000 relawan di RSUD Dr Soetomo dan rumah sakit jejaring.

Menurut Nyoman, ada upaya percepatan sehingga uji klinis tidak harus berjalan selama delapan bulan. Saat suntikan pertama diberikan dalam uji klinis fase I dan hasilnya bisa diamati, uji klinis fase II sudah bisa mulai dilakukan. Begitu pula untuk fase III. Dengan memakai skema itu, vaksin Merah Putih bikinan Universitas Airlangga diprediksi bisa selesai menjalani uji klinis fase III pada Maret 2022, untuk kemudian mendapat izin penggunaan darurat.

Sementara itu, Lembaga Biomolekuler Eijkman sejak awal tahun lalu sudah berhasil mendapatkan bibit vaksin melalui platform protein rekombinan. Hingga saat ini, Eijkman masih merampungkan proses transisi riset dan pengembangan vaksin ke industri. Transisi ini merupakan tahap sebelum vaksin bisa diuji praklinis pada hewan.

Direktur Lembaga Molekuler Eijkman Amin Soebandrio. BNPB/Dume Sinaga

Kepala Lembaga Biomolekuler Eijkman, Amin Subandrio, menuturkan butuh waktu lama bagi lembaganya untuk menyelesaikan proses transisi karena banyak penyesuaian yang mesti dilakukan. Amin menargetkan pada akhir tahun Eijkman sudah rampung melakukan uji praklinis sehingga bisa segera melakukan uji klinis pada awal tahun depan. “Kami sudah tempatkan peneliti-peneliti kami di Bio Farma agar proses-proses yang dikerjakan di laboratorium bisa dikerjakan di industri dengan skala yang besar,” katanya.

Amin menjelaskan, proses pembuatan vaksin berplatform protein rekombinan lebih panjang dibanding pengembangan vaksin dari virus yang dimatikan. Gen protein dari virus harus diisolasi dulu. Lalu gen disisipkan ke plasmid-molekul asam deoksiribonukleat (DNA) yang mampu bereplikasi sendiri sebelum dimasukkan ke virus vektor. Selanjutnya, virus vektor yang telah memiliki gen itu dimasukkan ke sel mamalia yang nantinya memproduksi antigen. “Memang bukan platform yang paling baru, tapi juga bukan yang paling kuno. Teknologinya sudah dikuasai industri di Indonesia," tuturnya.

MAYA AYU PUSPITASARI | SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | KUKUH S. WIBOWO (SURABAYA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus