Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Bandung Eman Sulaeman mengabulkan semua gugatan praperadilan Pegi Setiawan. Penetapan tersangka terhadap Pegi dalam kasus pembunuhan Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudian alias Vina dan Eky di Cirebon pada 2016 dinilai cacat hukum. Hal ini membuktikan Pegi menjadi korban salah tangkap kepolisian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Mengabulkan permohonan praperadilan termohon untuk seluruhnya,” kata hakim Eman Sulaeman saat membacakan sidang putusan praperadilan di Bandung, Senin, 8 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Kasus salah tangkap Pegi Setiawan oleh kepolisian menjadi perhatian masyarakat. Banyak pihak telah menduga sebelumnya bahwa ada kejanggalan dalam penangkapan terhadap Pegi. Kepolisian Daerah Jawa Barat atau Polda Jabar ujug-ujug menciduk Pegi tanpa adanya surat pemanggilan pemeriksaan, baik sebagai saksi ataupun calon tersangka.
Hal ini menjadi polemik sebab menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014, pemeriksaan tetap diwajibkan kendati telah mengantongi dua alat bukti. Bukan hanya melanggar aturan MK, dalam persidangan praperadilan Pegi, hakim PN Bandung menyatakan Polda Jabar bahkan tidak memiliki dua alat bukti penetapan tersangka terhadap Pegi.
“Menimbang oleh karena fakta persidangan tidak ditemukan bukti satu pun yang menunjukkan termohon pernah dilakukan pemeriksaan sebagai calon tersangka maka menurut hakim penetapan tersangka tidak sah dan dinyatakan batal demi hukum,” kata Eman.
Termasuk Pegi Setiawan, berikut beberapa kasus salah tangkap kepolisian yang pernah terjadi.
Sengkon dan Karta. Data TEMPO
1. Sengkon dan Karta
Salah satu kasus salah tangkap yang paling fenomenal adalah Sengkon dan Karta. Kedua petani asal Bekasi, Jawa Barat itu ditangkap atas tuduhan perampokan dan pembunuhan pasangan suami-istri, Sulaiman-Siti Haya, warga Desa Bojongsari. Majalah Tempo pernah membuat laporan terkait kasus salah tangkap Sengkon dan Karta ini.
Sengkon divonis 13 tahun penjara dan Karta 7 tahun oleh PN Bekasi pada 1977. Keduanya disebut telah mengaku membunuh, sebagaimana dituangkan dalam berita acara pemeriksaan polisi. Setelah sebelumnya mendekam di sel Bekasi, mereka kemudian dijebloskan ke penjara di Lapas Cipinang, Jakarta.
Di Lapas Cipinang, keduanya bertemu dengan Genul, keponakan Sengkon yang dibui lantaran kasus pencurian. Fakta sebenarnya pun terungkap. Genul mengaku bahwa dirinyalah pembunuh Sulaiman dan Siti. Setelah pengakuannya itu, Genul diadili dan divonis 12 tahun penjara.
Namun, pengadilan terhadap Genul bukan berarti Sengkon dan Karta lantas dibebaskan. Pada masa itu, lembaga peninjauan kembali sudah dibekukan. Akibatnya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum teta tidak bisa ditinjau. Baru setelah Ketua Mahkamah Agung, Oemar Seno Adji membuka kembali lembaga herziening itu, keduanya dinyatakan bebas murni.
Ironisnya, penderitaan mereka belum selesai. Selepas keluar dari jeruji, Sengkon dirawat di rumah sakit lantaran tuberkulosisnya makin parah. Sementara Karta, bapak 12 anak, harus menemui kenyataan pahit keluarga yang kocar-kacir. Tanah Karta habis lantaran dijual untuk penghidupan keluarganya dan membiayai diproses pengadilan.
Pada 1982, Karta akhirnya tutup usai setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Sengkon menyusul pada 1988 setelah bertahun-tahun menderita tuberkulosis sekeluarnya dari penjara. Berdekade seterusnya, kasus salah tangkap dan salah sasaran menjatuhkan hukuman terus terjadi.
Mantan pengamen korban salah tangkap pihak kepolisian, Agra (kanan), Fatahillah (tengah), dan Fikri menjalani sidang praperadilan korban salah tangkap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 22 Juli 2019. Tiga dari empat korban tersebut menuntut agar Kepolisian dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta meminta maaf dan menyatakan mereka telah melakukan salah tangkap, salah proses, dan penyiksaan terhadap para anak-anak pengamen Cipulir. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
2. Pengamen Cipulir
Kejadian salah tangkap kepolisian juga dialami oleh pengamen Cipulir pada 30 Juni 2013. Korban adalah Arga Putra Samosir yang saat itu berusia 14 tahun; Fatahillah, 14 tahun; Fikri Pribadi, 16 tahun; Bagus Firdaus, 17 tahun; Andro Suprianto, 18 tahun; dan Nurdin Prianto, 23 tahun.
Para pengamen Cipulir itu biasa berkumpul di bawah kolong jembatan di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Tak ada yang menyana penghujung Juni menjadi hari sial bagi mereka. Di tempat biasa berkumpul itu mereka justru mereka menemukan Dicky Maulana, sesama pengamen jalanan, dalam keadaan sekarat.
Dicky akhirnya meninggal dunia. Arga kemudian melapor temuan itu kepada pihak keamanan terdekat dan diteruskan kepada Polsek Pesanggrahan. Tak lama kemudian personel datang dan memboyong Arga, Andro, dan Bagus ke kantor polisi. Singkat cerita, para pengamen itu justru dituduh sebagai pelaku.
Mereka juga disiksa agar mengakui perbuatan membunuh Dicky. Para remaja bernasib apes itu dijebloskan ke penajara di Rumah Tahanan Polda Metro Jaya selama satu bulan tiga hari sebelum berkas dikirim ke Kejaksaan. Setelah berbagai persidangan, mereka kemudian divonis bersalah dengan hukuman rata-rata tiga tahun penjara.
LBH Jakarta lantas mengajukan berbagai upaya agar para pengamen Cipulir itu bebas. Setelah banding ditolak oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, kasasi kemudian diajukan ke Mahkamah Agung. Majelis kasasi MA memutuskan para pengamen tak bersalah dan divonis bebas. Andro dan Nurdin dilepas pada April 2014, sementara Arga, Fatahillah, Bagus, dan Fikri pada Januari 2016.
3. Oman Abdurohman
Oman Abdurohman, warga Banten, ditangkap Polres Lampung Utara karena dugaan terlibat kasus perampokan di kediaman Budi Yuswo Santoso. Tempat Kejadian Perkara atau TKP di Dusun V Dorowati, Desa Penagan Ratu, Abung Timur, Lampung Utara pada 22 Agustus 2017.
Oman dipaksa mengaku oleh pihak kepolisian. Dalam perjalanan ke Lampung Utara, polisi menurunkan Oman di kawasan perkebunan dan diinterogasi dengan kekerasan. Kaki kiri Oman ditembak, yang membuatnya terpaksa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya itu. Oman lalu dijebloskan ke penjara selama 10 bulan.
Pada 4 Juni 2018, majelis hakim memvonis bebas Oman karena tak terbukti bersalah. Ia kemudian mengajukan gugatan kerugian atau ganti rugi sebesar Rp 322 juta kepada pihak kepolisian dan kejaksaan Lampung Utara. Pada 2019, Pengadilan Negeri Kotabumi, Lampung Utara menyatakan negara wajib membayar kompensasi senilai Rp 220 juta. Ganti rugi itu baru dibayarkan pada Senin, 8 Januari 2024 lalu.
4. Salah tangkap suami-istri penjual kripik diduga jaringan perampok
Pasangan suami istri, Subur dan Titin menjadi korban salah tangkap anggota Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Bogor pada Rabu, 7 Februari 2024. Kejadian tersebut terjadi di SPBU Pasir Angin di Cileungsi, Kabupaten Bogor. Pada saat itu, Subur dan Titin akan menjual keripik ke pasar dengan mengendarai minibus. Ketika singgah di SPBU untuk mengisi BBM, tiba-tiba ada dua kendaraan datang. Para penumpang dua kendaraan itu langsung menyergap pasutri itu.
Kejadian yang terekam CCTV itu lantas viral di media sosial. Kapolres Bogor Ajun Komisaris Besar Rio Wahyu Anggoro kemudian mencopot anggota Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) yang salah tangkap pasangan suami istri tersebut. Pencopotan dilakukan sejak Jumat, 9 Februari 2024. Kasus salah tangkap ini terjadi ketika polisi tengah menyelidiki kasus perampokan di Rancabungur, Kabupaten Bogor. Pasangan suami istri itu sempat dicurigai sebagai anggota sindikat perampokan tersebut.
"Sudah saya periksa dan saya copot hari Jumat kemarin," kata Rio dikonfirmasi. Senin, 12 Februari 2024.
Pendukung menandatangani spanduk dukungan usai penundaan sidang perdana praperadilan Pegi Setiawan di Pengadilan Negeri Bandung, Bandung, Jawa Barat, Senin 24 Juni 2024. Majelis Hakim menunda sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan kuasa hukum Pegi Setiawan atas penetapan sebagai tersangka kasus pembunuhan Vina Cirebon akibat ketidakhadiran pihak termohon dari Polda Jabar. ANTARA FOTO/Novrian Arbi
5. Pegi Setiawan
Polda Jawa Barat (Jabar) menangkap Pegi Setiawan pada 21 Mei 2024. Kala itu, Pegi dituding sebagai satu dari tiga buronan kasus pembunuhan Vina dan Eky. Dua buronan lainnya adalah Dani dan Andi. Akan tetapi, setelah penangkapan Pegi, polisi menyatakan buronan kasus ini hanya satu.
Pencarian terhadap Pegi Setiawan dilakukan setelah kisah pembunuhan Vina dan Eky delapan tahun lalu diangkat menjadi film. Berdasarkan temuan Tempo, terdapat sejumlah kejanggalan dalam penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Diantaranya adalah perubahan bukti visum dan tak adanya bekas luka tusukan terhadap keduanya seperti yang diklaim oleh polisi.
Penangkapan Pegi juga sempat ramai di jagat maya lantaran dinilai ada kejanggalan. Pada konferensi pers Polda Jabar, Ahad siang, 26 Mei 2024, pihak kepolisian membawa Pegi ke depan publik. Pegi mengaku, jika ia bukan pelaku pembunuhan dan pemerkosaan terhadap Vina dan Eky. Bahkan Pegi sampai mengucapkan sumpah mati.
“Saya bukan pelaku pembunuhan. Saya rela mati,” kata Pegi, pada 26 Mei 2024.
Setelah mengakui dirinya bukan pembunuh, polisi yang menjaga Pegi sontak menahan dan berupaya menutup mulutnya. Video konferensi pers dengan pengakuan Pegi ini diunggah di media sosial dan menjadi perbincangan publik. Bahkan, pengacara kondang, Hotman Paris, turut bersuara mempertanyakan keadilan bagi Pegi yang diduga sebagai korban salah tangkap.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | ADVIST KHOIRUNNIKMAH | MICHELLE GABRIELA | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Kilas Balik Korban Salah Tangkap Fenomenal Sengkon dan Karta