Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Selasa Membara Itu

Demonstrasi mahasiswa menjalar di pelbagai kota pada awal 1970-an. Dari Bandung dan Jakarta, gerakan meluas ke Medan, Padang, Surabaya, hingga Ujungpandang. Selain menentang derasnya modal asing, mereka mempersoalkan pembangunan proyek mercusuar Taman Mini Indonesia Indah, Rancangan Undang-Undang Perkawinan, dan korupsi.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tirakat Salemba Menolak Tanaka
Mahasiswa khawatir modal asing dari Jepang akan membuat rakyat makin miskin. Terpacu gerakan di Thailand.

Malam tirakatan akhir 1973 di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, menjadi momentum penting. Acara menjelang tahun baru yang dihadiri mahasiswa dan dosen UI serta perwakilan berbagai dewan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung itu terasa mendidih.

Secara terbuka mahasiswa mengeluarkan pernyataan menentang modal asing dari Jepang. Mereka pun menolak rencana kunjungan Perdana Menteri Kakuei Tanaka ke Indonesia pada 14-17 Januari 1974. Tanaka direncanakan bertemu dengan Presiden Soeharto membicarakan kerja sama bilateral.

"Yang terjadi pada 1974 dan seterusnya ini hanyalah pengulangan sejarah sebelum kemerdekaan, kita dijajah Jepang," kata Ketua Umum Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia Hariman Siregar membacakan "Pidato Pernyataan Diri Mahasiswa".

Naskah pidato sepanjang enam halaman itu berisi kritik mahasiswa terhadap kebijakan ekonomi dan politik pemerintah Soeharto. Mahasiswa menilai strategi pembangunan ekonomi hanya menguntungkan sekelompok elite. Rakyat kecil justru semakin sengsara. Pemerintah dianggap terlalu mengandalkan suntikan modal asing, khususnya dari Jepang, untuk memutar roda ekonomi. Padahal, "Jepang telah menunjukkan kebuasan dalam cara-cara mengeruk keuntungan."

Seruan dari halaman depan kampus UI itu rupanya memicu munculnya pelbagai demonstrasi. Mahasiswa mendeklarasikan Tritura Baru pada 10 Januari. Di kampus Universitas Kristen Indonesia di Cawang, Jakarta, mahasiswa membakar patung kertas Tanaka serta asisten pribadi Presiden, Soedjono Hoemardani, Ali Moertopo, dan Widodo Budidarmo. Aksi itu merupakan simbol penolakan terhadap Jepang dan para asisten pribadi Presiden Soeharto.

Unjuk rasa menjalar ke Bogor, Bandung, Yogyakarta, hingga Makassar. Majalah Tempo edisi 19 Januari 1974 melaporkan aksi para mahasiswa, pelajar, dan pemuda meningkat menjelang kunjungan Tanaka. Pembakaran patung kertas Tanaka dan Soedjono semakin marak. Buntutnya, Soeharto yang gerah terhadap situasi kala itu mengundang mahasiswa berdialog pada 11 Januari 1974 di Bina Graha, Jakarta.

"Diharapkan gerakan mahasiswa bisa berkurang," mantan Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI Judilherry Justam menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu. "Tapi ternyata tidak." Ia mengatakan esok harinya, setelah bertemu dengan Soeharto, mahasiswa kembali berdemonstrasi. Boneka-boneka yang menggambarkan Tanaka dan Soedjono kembali dibakar.

Gelombang penolakan terhadap Tanaka tak bisa dipisahkan dengan jatuhnya rezim Kittikachorn di Bangkok. Majalah Tempo edisi 19 Januari 1974 menulis pemerintah militer yang menguasai Thailand itu terusir lantaran dianggap konco Jepang. Rezim Kittikachorn tumbang setelah dibombardir demonstrasi mahasiswa. "Mereka dituduh jadi sangat kaya oleh kebijakan yang terlalu menguntungkan Jepang," tertulis dalam laporan itu. Semangat ini menjalar sampai ke Indonesia.

Awalnya Tanaka tidak berminat menjalin kerja sama ekonomi dengan negara-negara Asia Tenggara. Pria bertubuh gempal anak petani Nigata ini lebih suka memusatkan perhatiannya kepada Cina, negeri komunis yang sedang "didekati" Amerika Serikat.

Tanaka pernah merasa kecolongan tatkala Presiden Amerika Richard Nixon berkunjung ke Peking-kini disebut Beijing. Apalagi kala itu kondisi perekonomian Jepang terpuruk. Krisis minyak melumpuhkan industri dan inflasi mencapai 25 persen. Belum lagi polusi udara di kota-kota besar, termasuk kasus serangan penyakit Minamata, yang menelan banyak korban.

Tak ingin ketinggalan kereta, pada akhir 1972, Tanaka bergegas meluncur ke Peking untuk bersalaman dengan Mao Tse Tung. Kunjungan ini didukung kaum pengusaha Jepang yang berharap bisa menggaet pasar besar, yakni ratusan juta pembaca "buku merah" yang bakal diserbu barang Jepang. Namun harapan tersebut meleset karena, "Hubungan Jepang-Cina menjadi lebih bersifat politis," tulis pejabat Departemen Luar Negeri Jepang kala itu.

Kegagalan diplomasi Tanaka menggaet pasar Cina cepat ditangkap oleh penduduk Jepang melalui media massa. Sepulang dari Peking, menurut laporan majalah Tempo, Tanaka mulai dihadapkan pada persoalan Asia Tenggara.

Surat kabar terkemuka Jepang, Mainichi, dalam edisi pertama pada Oktober 1972 menulis tajuk rencana tentang pentingnya Jepang "memperhatikan" Asia Tenggara. Beberapa hari sebelumnya, Menteri Perindustrian Nakasone berbicara soal gagasan memajukan hubungan dengan negara-negara Asia. "Dengan menghidupkan kembali semangat Bandung," katanya. Semangat Bandung yang dimaksud adalah hasil Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika di Bandung pada 1955, cikal-bakal Gerakan Nonblok.

Berbagai persoalan tadi terserap ke kepala Tanaka, yang baru menggantikan Eisaku Sato pada Juli 1972. Dia banting setir ke arah negara-negara Asia Tenggara. Kunjungan pun digagas. Filipina jadi negara tuan rumah pertama yang didatangi Tanaka pada 7 Januari 1974. Jakarta menjadi kota terakhir dan terlama dikunjungi Tanaka. Padahal sejak jauh hari Jakarta sudah ramai dengan protes tentang investasi Jepang.

Para mahasiswa yang dimotori Dewan Mahasiswa UI tidak mau kalah oleh rekan-rekannya di Bangkok. Beberapa pekan sebelum Tanaka datang, aparat antihuru-hara telah disiagakan. Tokoh-tokoh mahasiswa antara lain Louis Wangge dan Yulius Usman, sudah ditahan.

Bagaimanapun, kedatangan Tanaka penting bagi Soeharto. Laporan Tempo edisi 19 Januari 1974 menyebutkan minyak bumi menjadi topik pembicaraan utama selain gas alam dan perkayuan. Kerja sama kebudayaan juga menjadi topik. Jepang berkepentingan terus mempertahankan kakinya di Tanah Air. "Modal Jepang sudah melampaui modal Amerika (yang US$ 750 juta) itu pasti dengan segala daya akan bertahan terus di negeri yang dengan mudah mereka terobos ini," tulis Tempo.

Sesuai dengan rencana, Tanaka tiba di Jakarta pada Senin malam, 14 Januari 1974. Pesawatnya mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Puluhan mahasiswa "menyambut"-nya dengan memblokade jalanan menuju bandara. Sebagian dari mereka bahkan berhasil menerobos sampai landasan pacu.

Mahasiswa membentangkan poster-poster memprotes kehadiran Tanaka. Begitu turun dari tangga pesawat, Tanaka disuguhi poster mencolok bergambar tanda dilarang masuk: "Tanaka Out!".

Demonstrasi mahasiswa antimodal Jepang sudah sering dilancarkan di kedutaan besar negara itu di Jalan Thamrin, kantor Toyota Astra, dan Wisma Nusantara, yang memasang reklame produk merek Sanyo dan Toyota. Yoneda, Atase Pers Kedutaan Jepang di Jakarta, ketika itu pun berkata, "Ya, sudahlah. Kalau kami memang tidak disenangi di sini, kami akan pergi." Tapi, nyatanya, investasi dan produk Jepang masih membanjir hingga kini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus