Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Semakin Banyak Perokok Muda, Iklan Televisi Pengaruh Terbesar

Menurut data, jumlah perokok muda semakin banyak dan iklan televisi yang paling mempengaruhi peningkatan jumlah tersebut.

21 Agustus 2018 | 15.26 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi wanita merokok. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Penelitian Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC IAKMI) pada 2017 menemukan fakta bahwa anak dan remaja usia di bawah 18 tahun paling banyak terpapar iklan rokok melalui televisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Data tersebut menunjukkan televisi memiliki peran hingga 83 persen, spanduk (73,80 persen), baliho (67,10 persen), poster (64,80 persen), dan tembok publik (54,10 persen). Penelitian ini diadakan di 15 kabupaten atau kota dan melibatkan sekitar 1.100 responden berisi anak dan remaja usia di bawah 18 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para responden yang terpapar iklan melalui televisi memiliki peluang 2,24 kali lebih besar untuk menjadi perokok dibandingkan anak dan remaja usia di bawah 18 tahun yang tidak terpapar iklan rokok di layar kaca. Adapun responden yang terpapar iklan rokok di radio, baliho, poster, dan internet memiliki peluang masing-masing sebesar 1,54 kali, 1,55 kali, 1,53 kali, dan 1,59 kali lebih besar untuk menjadi perokok dibandingkan yang tidak terpapar.

“Iklan di TV kan sangat menarik. Seakan-akan merokok itu keren. Kita prihatin tentang hal ini karena penelitian yang telah dilakukan menunjukkan iklan merupakan inisiator terciptanya perokok,” tutur Ketua TCSC IAKMI, Sumarjati Arjoso, dalam acara konferensi pers “Baby Smoker” di Jakarta, Selasa, 21 Agustus 2018.

Sumarjati berpendapat bahwa perlu adanya pembuatan resolusi kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar revisi Undang-Undang Penyiaran bisa segera diselesaikan dengan salah satu muatannya adalah melarang iklan rokok.

“Kita berharap rokok lebih mahal sehingga masyarakat miskin tidak bisa membeli rokok, 60 persen perokok adalah orang miskin. Sebenarnya cukai yang membayar siapa? Ya perokok itu sendiri,” jelasnya.  

Lebih tegas, Sumarjati menerangkan perlunya denormalisasi dari rokok dengan tidak membuat rokok sebagai barang yang normal kendati memang tidak mudah dan menjadi tantangan bersama. Dia mengaku khawatir terhadap kasus baby smoker yang seringkali terjadi di Indonesia. Bahkan sempat viral batita perokok berusia 2 tahun asal Sukabumi yang telah mengonsumsi rokok rutin per hari sekitar lima batang.  

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus