Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada korting hukuman bagi Meurah Pupok. Sekalipun dia merupakan putra penguasa Kerajaan Samudera Pasai, Sultan Iskandar Muda, Meurah tak luput dari hukuman mati. Dia, berdasarkan syariah Islam, dirajam sampai mati pada 1636 karena terbukti berselingkuh dengan istri salah satu prajurit.
"Matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat ta mita. Mati seorang anak tahu di mana kuburannya, tapi kalau adat dan hukum tidak ditegakkan, tak tahu bagaimana kesudahannya," kata Sultan Iskandar.
Dalam perjalanan dari Cina menuju Persia pada 1292, penjelajah asal Venesia, Marco Polo, sempat singgah di Pelabuhan Pasai dan menjumpai banyak sekali ulama Arab. Ketika itu yang berkuasa di Kerajaan Samudera Pasai adalah Malikussaleh. Dialah pendiri kerajaan Islam pertama di Indonesia ini.
Orang Aceh pada umumnya, setidaknya menurut Christiaan Snouck Hurgronje, hanya ingin hidup sebagai muslim. Menurut Hurgronje, peran ulama sedemikian penting dalam kehidupan sehari-hari rakyat Aceh.
Para ulama inilah yang menyusun buku pedoman agama dan hukum kerajaan. "Mereka mendapat perlakuan istimewa dari raja," teolog lulusan Universitas Leiden, Belanda, itu menulis dalam De ÂAtjehers. Hurgronje sempat tinggal di Aceh sejak Juli 1891 hingga Februari 1892 untuk meneliti pengaruh Islam di Tanah Rencong atas permintaan Gubernur Militer Aceh kala itu, J.B. van Heutsz. Adat bak po teumeureuhom, hukom bak syiah kuala, kata pepatah Aceh. Masalah adat di tangan raja, hukum berada di tangan para ulama atau qadli uleebalang.
Pada masa penjajahan Jepang, diterbitkan Atjeh Syu Rei atau Undang-Undang Daerah Aceh. Undang-undang ini antara lain mengatur soal mahkamah agama atau syukyo hooin yang berkedudukan di Kutaraja. Kedudukan Mahkamah Syariah ini semakin kuat tatkala pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah mengenai pembentukan Mahkamah Syariah di Aceh pada 1957.
Pengaruh Islam di pucuk Pulau Sumatera ini memang sudah berurat berakar lama. Menurut pengamatan Hurgronje, hukum adat dan aturan Islam bisa berjalan beriringan di Aceh. Jadi, sebenarnya penerapan syariah Islam bukanlah pengalaman yang benar-benar baru bagi warga Serambi Mekah.
ANCAMAN cambuk tak selalu mujarab menggebah niat warga Aceh melanggar syariah. Walau terang dilarang, minuman beralkohol tak terlalu sulit diperoleh di Banda Aceh. Novi Sandriani, 29 tahun, hampir setiap pagi menemukan botol bekas minuman haram itu di pinggir jalan.
Perempuan tak berjilbab gampang dilihat berlalu lalang di jalan raya tanpa takut kena razia. Di Pantai Lampuuk, Aceh Besar, pun demikian. Tak ada batasan busana antara perempuan dan laki-laki. Penegakan qanun setengah hati ini dikritik Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh, Hendra Fadli.
Warga Aceh, menurut Hendra, sebenarnya banyak yang keberatan dengan aturan pembatasan busana. Dia berpendapat qanun di Aceh hanya didasari pertimbangan politis. "Digunakan hanya untuk mencari dukungan masyarakat Aceh," kata Hendra. Penerapan syariah Islam di Aceh memang melalui tawar-menawar politik yang demikian panjang.
Syariah Islam di Aceh saat ini adalah sebuah peristirahatan setelah perjalanan sangat panjang selama bertahun-tahun. Sebelum terjadi kesepakatan damai antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005, hampir tak ada damai di Tanah Rencong. Sepanjang usianya, Aceh didera konflik tak berkesudahan.
Jejak konflik di Aceh bisa dirunut sejak Daud Beureueh bersama tokoh Aceh menggelar Kongres Batee Krueng pada September 1955. Kongres Rakyat Aceh itu menyatakan Aceh merupakan bagian dari konfederasi Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan ÂSekarmadji Maridjan Kartosoewirjo Âbeberapa tahun sebelumnya. Kongres juga mengangkat Daud Beureueh sebagai Wali Negara Aceh.
Lewat Ikrar Blang Padang pada Desember 1962, Beureueh dan pasukannya memang sempat meletakkan senjata dan kembali bergabung dengan pemerintah di Jakarta. Damai itu tak berumur panjang. Pada Desember 1976, Muhammad Hasan di Tiro angkat senjata dengan mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka. Ribuan orang menjadi korban selama konflik senjata puluhan tahun.
Rupa-rupa cara telah dilakukan pemerintah di Jakarta untuk mengakhiri perlawanan Hasan di Tiro dan pengikutnya—dengan ancaman peluru ataupun umpan "gula-gula". Menjelang akhir masa jabatannya, Presiden B.J. Habibie memberikan hadiah kepada rakyat Aceh berupa Undang-Undang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 1999.
Menurut undang-undang itu, Aceh berhak menerapkan syariah Islam di wilayahnya. Ulama juga diberi ruang terlibat dalam penetapan kebijakan daerah. Pemerintah Aceh pun diperkenankan memasukkan muatan-muatan Islam dan mengatur lembaga pendidikan sesuai dengan syariah Islam.
Pengganti Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, melangkah lebih jauh dengan menyodorkan Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peraturan ini jauh lebih murah hati ketimbang Undang-undang Keistimewaan Aceh. Misalnya dalam hal bagi hasil pendapatan pajak dan hasil alam. Sejumlah pihak, di antaranya PDI Perjuangan, menolak RUU Otonomi Khusus dan penerapan syariah Islam di Tanah Rencong. Mereka berpendapat hal tersebut dapat mengancam kesatuan negara.
Presiden Abdurrahman menilai para penentang syariah Islam di Aceh salah paham. "Syariah dianggap soal potong tangan. Kalau orang salah, dilempar batu sampai mati atau digantung. Ini tidak benar, " kata Abdurrahman kala itu. Yang penting dalam syariah Islam, menurut dia, adalah prinsip dan tujuannya, bukan materi hukumnya. Dengan segala "pemanis" itu, hadiah dari pemerintah di Jakarta tetap saja tidak sanggup melunakkan Gerakan Aceh Merdeka.
Barulah di Helsinki enam tahun lalu, kapak perang itu dikubur dalam-dalam. Namun, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla saat itu, banyak hal perlu dituntaskan setelah kesepakatan damai tersebut. "Kesepakatan Helsinki hanyalah pintu gerbang belaka bagi perdamaian abadi di Aceh," ujar Jusuf Kalla. Pekerjaan berat pertama itu berupa Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Peraturan itulah yang akan menjadi dasar segala hak dan wewenang yang dinikmati pemerintah Aceh sampai saat ini.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh ini juga lumayan alot. Draf akademik yang disusun tiga perguruan tinggi di Aceh—Universitas Syiah Kuala, Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, dan Universitas Malikussaleh—rupanya tak memuaskan Gerakan Aceh Merdeka.
Teuku Kamaruzzaman, tokoh Gerakan Aceh, menunjuk beberapa hal yang dianggapnya menyimpang dari kesepakatan Helsinki. Misalnya dalam soal penyebutan Aceh. Rancangan ketiga kampus itu masih menggunakan istilah Pemerintah Nanggroe Aceh, sementara Gerakan Aceh Merdeka menghendaki Pemerintah Aceh. Rancangan itu juga masih merujuk pada status otonomi khusus Aceh.
"Kami minta kedua istilah itu tak dipakai lagi," ujarnya. Gerakan Aceh Merdeka kemudian membuat rancangan undang-undang versi mereka, yang justru tak memasukkan pasal Mahkamah Syariah. Menurut Kamaruzzaman, mereka memilih mengikuti sistem peradilan nasional.
Setelah melewati tarik-ulur, tawar-menawar, dan pelbagai lobi, pada 11 Juli 2006, rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Inilah induk bagi segala qanun yang ada di Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo