Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK lembaga-lembaga survei menempatkan Joko Widodo sebagai calon presiden paling populer, Februari lalu, banyak yang mendekati Gubernur Jakarta ini untuk mengajak berkongsi dalam Pemilihan Umum 2014. Ada yang mengajak dengan bisik-bisik, berterus terang, atau melipir membicarakan problem Jakarta lebih dulu.
Bukan hanya calon-calon presiden yang bertanya, banyak pemimpin organisasi masyarakat menghadap politikus PDI Perjuangan ini menjanjikan dukungan dan mengkomunikasikan peluangnya dengan calon presiden partai lain. Bahkan para duta besar yang bertandang ke Balai Kota menanyakan kansnya jika maju dalam pemilihan tahun depan. "Banyak yang datang, menggoda saya terus," kata Jokowi kepada Tempo di kantornya, di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu.
Meski belum membicarakannya secara resmi, tokoh yang sudah dideklarasikan partainya sebagai kandidat presiden berusaha colak-colek Jokowi berbasis hasil survei. Misalnya Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Calon presiden dan Ketua Partai Amanat Nasional ini menggoda Jokowi soal hasil survei. "Survei paling tinggi terus, nih," ujar Hatta, bercanda, seperti ditirukan orang dekatnya.
Jokowi menjawabnya hanya dengan senyum. Keduanya memang kerap bertemu membicarakan proyek-proyek transportasi massal Jakarta, yang biasanya harus berbagi dengan pemerintah pusat. Akhir Juni lalu, misalnya, Hatta dan Jokowi bertemu menyaksikan penandatanganan dimulainya proyek monorel. Kali lain, keduanya membahas pembiayaan mass rapid transit atau transportasi massal untuk Jakarta yang menelan biaya Rp 15,7 triliun.
Pertemuan informal lain berlangsung di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dua pekan lalu. Di sana, keduanya membicarakan kemajuan proyek-proyek besar penanganan banjir dan macet di Jakarta. "Konteksnya pekerjaan, tak ada omong soal pemilihan presiden," kata Hatta Rajasa.
Meski Hatta menyangkal, elite Partai Amanat Nasional menyatakan tak menutup kemungkinan menduetkan Hatta dengan Jokowi. "Dari penjajakan informal di partai juga banyak yang tertarik kepada Jokowi," ujar Bima Arya, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN. Padahal, dalam pemilihan gubernur pertengahan 2012, partai ini menyokong rival Jokowi, gubernur bertahan Fauzi Bowo. Bahkan Amien Rais, pendiri PAN, kerap mengkritik Jokowi dan mengajak kader Muhammadiyah di Jakarta tak memilihnya.
Kini, di sejumlah kalangan yang memiliki kaitan dengan Hatta, beredar fotonya berdampingan dengan foto Jokowi. Hasil kolase foto ini bahkan telah mencantumkan akronim mereka: Johar. Dengan komposisi itu, Hatta ditempatkan sebagai calon wakil presiden pendamping Jokowi.
Menurut Bima, pembicaraan tak hanya dijajaki dengan PDI Perjuangan dan Jokowi. Prabowo Subianto, yang dicalonkan Partai Gerakan Indonesia Raya, juga menjadi prioritas PAN dalam perjodohan calon pada pemilihan presiden tahun depan. Alasannya, bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus ini selalu menguntit Jokowi di urutan kedua dalam survei popularitas calon presiden.
Menurut hasil survei lima lembaga sejak Februari hingga Juli lalu, Jokowi selalu menempati urutan teratas dalam hal ketenaran dan keterpilihan jika pemilihan presiden diadakan pada saat penelitian, dengan rasio di atas 20 persen. Prabowo mengikutinya dengan selisih perolehan suara 10 persen. Berikutnya bervariasi antara Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla—dua tokoh Golkar—atau bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md.
Pada survei Maret, Jokowi populer sebagai calon wakil presiden, tapi pada bulan berikutnya peringkatnya terus naik menjadi calon presiden terpopuler. Pada bulan-bulan itu, menurut peneliti Lingkaran Survei Indonesia, Adjie Alfaraby, posisi Jokowi masih belum terbaca mendapat restu partainya menjadi calon presiden. Sebab, Megawati Soekarnoputri juga masih populer sebagai calon presiden.
Namun, dalam survei pertengahan Juni lalu, Jokowi menyalip semua kandidat dengan popularitas paling tinggi. Ia bahkan melewati Megawati dan Prabowo Subianto. Dalam survei Pusat Data Bersatu, ia membukukan suara 29,57 persen, naik 16 persen dibanding survei Januari lalu. "Jika Jokowi tak mencalonkan diri, Prabowo yang akan jadi presiden," kata Direktur Utama Pusat Data Bersatu Didik J. RachÂbini.
Prabowo sendiri sejak Pemilihan 2004 sudah mengincar kursi presiden. Namun Partai Gerindra, yang baru didirikannya, tak cukup mengusung calon sendiri tanpa koalisi. Pada Pemilu 2009, ia maju sebagai wakil presiden mendampingi Megawati, lagi-lagi gagal. Hubungan Gerindra-PDI Perjuangan berlanjut dalam pemilihan Gubernur Jakarta. Prabowo mengklaim membawa Jokowi yang masih menjabat Wali Kota Solo bertarung dalam pemilihan di Ibu Kota.
Gerindra menyodorkan Basuki Tjahaja Purnama sebagai wakilnya. Pasangan ini terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur. Dan popularitas Jokowi, yang senang blusukan selama menjabat gubernur, menyalip popularitas Prabowo. Elite Gerindra pun sejak awal sudah memperingatkan Jokowi agar tak maju dalam pemilihan presiden tahun depan. "Kami menyiapkan Jokowi menjadi presiden pada 2019," ujar Martin Hutabarat, anggota Dewan Pembina Gerindra.
Pilihan lain adalah menjadikannya wakil Prabowo. Beberapa utusan Prabowo sudah menjajaki kemungkinan itu. Tapi, dengan alasan pemilihan masih jauh dan belum ada hasil pemilihan legislatif, Prabowo menjawab diplomatis soal kemungkinannya bergandeng dengan Jokowi. "Kami membuka komunikasi dengan semua partai, tak bisa spekulasi sekarang," kata Prabowo.
Golkar tak ketinggalan dalam perburuan menggaet Jokowi. Popularitas Aburizal yang tak lebih dari sepuluh persen membuat Golkar menjajaki Jokowi untuk dipasangkan dengannya. "Baru pembicaraan informal, belum sikap resmi," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Lalu Mara Satriawangsa. Sama seperti Gerindra, Golkar beralasan arah dukungan pemilihan legislatif belum terbaca.
Sementara calon lain masih sungkan mengajak Jokowi dalam perkawinan politik itu, Hamzah Haz secara terus terang mendukungnya. Meski belum terdengar ia akan mencalonkan diri, wakil presiden di zaman Megawati ini mendatangi Jokowi di Balai Kota Jakarta, pekan lalu, menyokong Jokowi dalam pemilihan presiden. "Dia layak dan berpeluang untuk itu," kata politikus Partai Persatuan Pembangunan ini.
Kepada semua yang datang menjajakinya, politikus 52 tahun ini hanya punya satu jawaban: "Tanya Ibu Ketua Umum." Menurut Jokowi, partainya punya mekanisme pencalonan presiden yang ditentukan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. "Sekarang saya berfokus ngurus Jakarta dulu," katanya.
Tapi para pelobi tak bosan merayu dan membujuknya agar bersedia bergandengan dengan calon yang mereka jagokan. "Kalau bertemu, mulanya mengobrol tentang Jakarta, ujungnya balik ke pemilihan presiden lagi," ujarnya. Dan ia memakai jurus yang sama, yakni meminta mereka bertanya kepada Megawati.
Menurut Jokowi, terlalu dini menentukan calon presiden dan wakil presiden sekarang, ketika ambang batas perolehan suara partai sebagai syarat mengusung calon presiden belum ditentukan. Partai-partai masih berdebat soal persentase perolehan kursi di parlemen dalam pemilihan legislatif, 20 persen atau kurang dari itu. "Jika suara partai tak cukup, apa tak ngenes kalau sekarang sudah mencalonkan?" katanya.
Bagja Hidayat, Ali Akhmad, Wayan Agus Purnomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo