Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tersebab Konflik Paman dan Keponakan

Akar gesekan Syiah dan Sunni di Sampang adalah konflik keluarga. Menteri Agama memaksakan keyakinan.

1 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SURYADHARMA Ali memulai pidatonya di hadapan sejumlah ulama di pondok pesantren Darut Tauhid Sampang, Madura, pada Rabu pekan lalu dengan menceritakan ajaran "sesat" dalam Islam. Menteri Agama itu memaparkan sejumlah contoh, dari aliran yang memodifikasi kalimat syahadat hingga membuat kitab suci sendiri dari potongan-potongan ayat. Ia lalu menyebutkan tiga jalan keluar.

"Pertama, dibunuh. Kedua, didiamkan. Ketiga, dirangkul." Ia percaya para kiai tak akan mengambil cara pertama dan kedua. Menurut dia, mereka yang sesat harus diajak kembali ke jalan yang "benar". Demikian pula bagi penganut Syiah Sampang yang terlunta-lunta di pengungsiannya di Sidoarjo, Jawa Timur. "Jalan yang harus dikedepankan adalah merangkul mereka."

Suryadharma bagaikan memberi angin para kiai yang berhimpun dalam Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura—disingkat Bassra. Badan Silaturahmi adalah penentang paling keras Syiah di Sampang. Tiga hari sebelum bertemu dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu, mereka berkumpul di Sumenep untuk menyikapi upaya pemerintah merekonsiliasi konflik. Ada delapan poin yang mereka pasang sebagai syarat perdamaian.

Yang paling berat adalah "pertobatan". Menurut Ali Karrar Sinhaji, Ketua Badan Silaturahmi, perdamaian tak mungkin dilakukan bila penganut Syiah tak mau menanggalkan iman mereka. "Rekonsiliasi bukan hanya diakhiri kepulangan mereka ke kampung halaman, melainkan perlu perbaikan akidah," ujar pengasuh pesantren Darut Tauhid itu.

Tak cukup diucapkan secara lisan, pertobatan mesti diikrarkan di depan khalayak, dihadiri ulama dan perwakilan pemerintah, serta dimuat di media massa. Badan Silaturahmi pun menyiapkan selembar naskah pernyataan telah meninggalkan Syiah yang mesti diparaf pengungsi. "Apabila tobatnya dilanggar, harus siap menerima hukuman," ujar Djakfar Shodiq, juga dari Badan Silaturahmi. Ulama tak menjamin pengusiran tak akan terulang lagi bila pengungsi pulang tanpa bertobat.

Suryadharma kemudian mempertemukan kiai dari Badan Silaturahmi dengan pengungsi keesokan harinya. Pertemuan digelar di ruang VVIP Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya. Tajul Muluk alias Ali Murthada tak hadir karena masih dipenjara setelah divonis empat tahun bui tahun lalu. Pertemuan dihadiri pula oleh Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan ketua tim rekonsiliasi yang juga Rektor Institut Agama Islam Sunan Ampel, Abd' Ala. Tak ada perwakilan ulama dari luar Badan Silaturahmi.

Bagi Suryadharma, Badan Silaturahmi sudah mewakili suara ulama Madura. Ia pun sepakat dengan kajian mereka yang menyatakan aliran Syiah yang dipimpin Tajul Muluk telah menistakan agama. Apalagi Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur menyatakan hal serupa. Karena itu, menurut Menteri Agama, pemeluk Syiah perlu "dicerahkan". "Saya sengaja tidak menggunakan kata tobat. Saya gunakan istilah 'penyamaan persepsi'," ujarnya. 

Atas nama menyeragamkan persepsi pula Suryadharma meminta pengungsi meninggalkan Syiah. Ini syarat yang tak bisa ditawar agar rekonsiliasi terjadi dan pengikut Tajul Muluk bisa pulang ke Nangkernang dan Blu'uruan, dua kampung basis Syiah di Sampang. "Kiai bisa menerima pemulangan asalkan ada penyamaan persepsi." Suryadharma mengklaim pengungsi sudah bersedia menerima tawarannya.

Namun perwakilan penganut Syiah, Iklil Al Milal, mengatakan sebaliknya. "Pemerintah memaksakan kehendak," katanya seusai pertemuan. Ia meminta Menteri Agama mengkaji Syiah yang mereka anut. Tuduhan sesat kepada mereka selama ini tak pernah disertai bukti. "Kalau kami salah, katakan salahnya di mana," ucap Iklil. "Al-Quran yang saya baca pun diterbitkan Kementerian Agama dan ditandatangani Pak Suryadharma."

Bagi abang pemimpin Syiah Sampang, Tajul Muluk, itu, memenuhi permintaan tobat mustahil dilakukan. Ia menduga rekonsiliasi akan berjalan di tempat jika pemerintah dan ulama memaksakan hal itu sebagai syarat. Sesudah bertemu dengan Suryadharma, harapannya untuk kembali ke kampung halaman kian penyap.

1 1 1

SUATU ketika, pada awal 1980-an, seorang kiai bernama Makmun dikirimi selembar surat kabar Iran oleh sahabatnya di sana. Dari situ, Makmun mengenal imam besar Syiah Iran, Ayatullah Khomeini. Mengagumi Khomeini, ia diam-diam memeluk Syiah. Kiai Makmun tak lain ayah Iklil Al Milal, kini 42 tahun, Tajul Muluk (41), Roisul Hukama (40), dan Ummu Hani (38).

Menurut Iklil, Makmun adalah saudara sepupu Ali Karrar Sinhaji. Ketika Makmun mengirim keempat anaknya ke pondok Yayasan Pesantren Islam di Bangil, Pasuruan, yang beraliran Syiah, Ali Karrar marah. Ia meminta Makmun menarik anak-anaknya dari Bangil. Karrar berjanji menyekolahkan mereka ke Arab Saudi. "Bapak saya menuruti permintaan Karrar karena dia merupakan keluarga dekat," ujar Iklil.

Tapi, kata Iklil, sang paman tidak menempati janjinya untuk menyekolahkan mereka ke Arab Saudi. Dari empat anak Makmun, pada 1993, Tajul Muluk alias Ali Murthada memang berangkat ke Saudi, tapi dengan biaya sendiri. Untuk sementara, konflik keluarga Makmun dan Ali Karrar tak menyembul ke permukaan.

Pada 2002, Tajul kembali ke Sampang. Ia tak lekas membuka pesantren, tapi berdagang dan bertani. Diketahui pernah berguru agama hingga Saudi, Tajul diminta sejumlah warga mengajarkan agama kepada anak mereka. Pada 2004, Tajul merintis Pesantren Misbahul Huda. Di sana ia mengajarkan Islam Syiah yang dianutnya. Seiring dengan berkembangnya Misbahul Huda, pengaruh Tajul pun meluas.

Konflik antarkeluarga semakin panas, tapi tetap tak sampai didengar masyarakat. Ali Karrar tak bertindak macam-macam karena Makmun masih hidup. "Dia sungkan terhadap Bapak," kata Iklil.

Setelah ayah mereka wafat pada 2006, mulai terdengar hasutan. Menurut Iklil, Ali Karrar menyebarkan kabar bahwa Syiah sesat. Atas gagasan Ali Karrar pula para kiai kemudian mengundang Tajul Muluk dalam sebuah pertemuan. Mereka meminta Tajul meninggalkan ajaran Syiah. Tajul juga dilarang berdakwah lagi. Di bawah tekanan, Tajul terpaksa meneken pernyataan kembali menganut Sunni.

Setahun kemudian, pada April 2007, persoalan ini menyembul lagi. Acara Maulid Nabi yang hendak digelar di Misbahul Huda dihadang ribuan warga. Protes belakangan reda sendiri. Penduduk mulai melupakan soal Syiah. Di luar itu, pada 2007, Tajul dan Roisul Hukama dilantik sebagai pengurus Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia wilayah Sampang.

Isu miring soal Syiah kembali muncul setelah Roisul menyatakan keluar dari Syiah dua tahun kemudian. Menurut Iklil, Roisul keluar karena persoalan sepele: gagal menyunting santri Misbahul Huda menjadi istri. Selepas itu, sang adik jadi orang yang paling keras menyatakan Syiah sesat. Hingga kemudian terjadi penyerangan pada akhir Desember 2011 dan Agustus 2012. Pada penyerangan yang terakhir, warga Syiah sampai terusir dari kampungnya. Tajul Muluk pun divonis dengan tuduhan menistakan agama.

Di luar masalah Tajul dan Roisul, gesekan dengan Ali Karrar tadi yang paling sentral. Menurut Iklil, konflik meruncing karena anggota jemaah Ali Karrar banyak yang berpaling ke Tajul Muluk, sang keponakan. "Ini sebetulnya konflik perebutan kekuasaan antarkeluarga, bukan karena akidah," ucapnya.

Ali Karrar, yang diyakini berada di balik penyebaran kebencian terhadap pengikut Tajul Muluk, menolak diwawancarai. "Jangan saya, kiai yang lain saja. Wawancarai Kiai Fudholi," katanya merujuk pada Fudholi Ruham, pengasuh Pesantren Al-Fudhola, Pamekasan.

Kiai Fudholi mengatakan bukan cuma Ali Karrar yang terlibat dalam gerakan anti-Syiah di Sampang. "Saya juga terlibat sejak awal," ujarnya. Menurut dia, kiai marah karena, dalam sejumlah pengajian, Tajul kerap menjelek-jelekkan para ulama Batu Ampar, Pamekasan, yang dimuliakan oleh muslim Madura. Padahal, kata Fudholi, Ali Karrar dan Tajul Muluk sama-sama keturunan ulama Batu Ampar. "Ketika leluhur dijelek-jelekkan, para kiai memprotes."

Tak semua ulama ikut dalam gerakan pembersihan Syiah. Seorang kiai di Omben, Sampang, yang tak mau ditulis namanya mengatakan ia berulang kali diundang Badan Silaturahmi Ulama untuk "mengadili" Tajul Muluk. Kiai ini menolak hadir. "Saya paham perbedaan Sunni dan Syiah," katanya. "Tak ada masalah."

Anton Septian (Jakarta), Anada Badudu, Arief Rizqi Hidayat (Surabaya), Musthofa Bisri (Sampang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus