Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sengketa armenia-azerbaijan

Mereka menempati lembah subur, bergunung-gunung. kini bangsa armenia porak poranda ditimpa gempa. sejak lepas dari kekhalifahan turki, negeri itu dicaplok rusia. ucapan selamat dari rakyat azerbaijan.

31 Desember 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"TEMPAT tinggal mereka adalah daerah bergunung-gunung, di lembah-lembah subur, yang menghampar pada apa yang disebut penyair Rusia Mikhail Lermontov, 'simpang siur dataran tinggi Kaukasus'," tulis majalah Time. Dan kini tempat tinggal mereka itu porak-poranda digoyang gempa. Armenia adalah bangsa yang tua. Mereka salah satu pusat peradaban paling lama di dunia. Selama ribuan tahun, lebih banyak keburukan yang menimpa mereka: dibantai, dijarah, dan ditaklukkan -- seperti nasib bangsa Kurdi, di seberangnya. Tahun-tahun sebelum Masehi hanya menjadikan daerah itu sebagai wilayah benturan dari dua kekuasaan raksasa. Kekaisaran Romawi dari barat dan Persia di tenggara. Menyurutnya kekuasaan dua dinasti itu tak juga membawa damai buat Armenia. Para penakluk dari timur, selatan, utara, dan barat masih terus berdatangan. Memasuki abad keempat, Armenia mulai menampakkan wajah yang khas. Ajaran Kristen mulai meresap. Bercampur dengan tradisi, ajaran itu tumbuh menjadi kebudayaan yang kaya liturgi. Berkembanglah Gereja Ortodoks (sering juga disebut Apostolik) Armenia. Uskup Mashtots, atau Mesrob, memperkaya budaya mereka. Ia menyusun dan mengenalkan 38 huruf, yang memungkinkan bahasa setempat -- yang berasal dari daerah Balkan Utara sebelum Masehi -- dipakai untuk penulisan. Abad demi abad berikutnya, masyarakat Kristen Ortodoks itu sempat memiliki kerajaan kecil tersendiri. Namun, sesudahnya, Armenia silih berganti berada di bawah kekuasaan kerajaan Islam dan Turki. Tidak terkecuali mereka pun mendapat tekanan dari kerajaan Rusia. Kerasnya pertikaian bangsa Rusia dengan Turki dan Persia pada abad ke-18 dan 19 memaksa ribuan orang Armenia itu pindah mencari perlindungan di wilayah Turki, Persia, atau Rusia sekaligus. Sementara itu, gerakan nasionalis Armenia pun berkembang. Didukung penulis Khachatur Abovean (1805-48) dan Mikael Nalbandean (1829-66), kaum nasionalis menggunakan bahasa Armenia sebagai lambang persatuan. Hingga berakhirnya awal abad ini, nasib Armenia sama dengan Yunani, Albania, dan semua negara Arab: dikuasai bani Usmani dari Turki. Namun, kekhalifahan Turki ambruk dalam Perang Dunia I. Saat itulah bangsa Armenia menyatakan diri bebas. Sialnya, di Rusia sedang terjadi revolusi. Tahun 1920, Uni Soviet komunis mencaplok wilayah itu dan menjadikan Armenia sebagai negara bagian. Tetapi Armenia pun harus bersyukur. Di antara orang-orang Balkan, Armenialah yang memiliki wilayah "simpang siur" nan subur itu. Gunung bertaburan hingga ketinggian 4.090 meter -- Gunung Aragats -- sungai yang curam, lembah vulkanis, dataran subur, Danau Sevan seluas 1.360 km2, stepa dan sedikit bau gurun, hutan lebat, dan curah hujan yang kadang sampai 7.000 milimeter setahun, semuanya adalah karunia Tuhan. Sampai pada tahun 1920-an, masyarakat Armenia menyebar di desa-desa kaki bukit. Empat kota terbesar waktu itu, Erivan (Yerevan), Alexandropol (Leninakan), Nor-Bazayet (Kamo), dan Geryusy (Goris), hanya dihuni 10 persen dari seluruh populasi. Namun, industrialisasi menarik banyak penduduk ke kota. Kota-kota Armenia, yang menumpuk di dataran Ararat dan lembah Sungai Razdan, kini menampung lebih dari 60 persen populasi. Dengan tanah yang teramat subur, pertanian maju pesat. Ladang-ladang milik pemerintah (sovkhoz) dan ladang kolektif (kolkhoz) bisa memanen kentang, gandum, tembakau, kapas, dan buah-buahan. Sedang di dataran tinggi, sapi merumput dengan bebasnya di padang. Industri yang berakar pada pertanian dan pertambangan -- aluminium, marmer, semen -- juga pesat. Itulah yang membawa perekonomian bangsa Armenia lebih baik ketimbang bangsa sekitarnya. Diukur dari luas wilayah, Armenia terbilang sempit. Bangsa itu hanya menempati tanah seluas 29.800 km2 lebih kecil ketimbang Jawa. Hanya 0,13 persen dari wilayah Uni Soviet. Di timur, mereka berbataskan dengan Azerbaijan, sebelah utara dan barat kawasan Georgia, sedang di selatan negara Turki dan Iran. Selain yang paling sempit, Armenia adalah kawasan terpadat di Uni Soviet. Dari 3,4 juta orang penghuninya, 90 persen adalah orang Armenia. Selebihnya adalah orang-orang Azerbaijan, Rusia, Kurdi, Ukraina, dan sejumlah etnis kecil lain. Sedang bangsa Armenia juga menyebar ke berbagai negara -- di AS dan Turki yang terbanyak. Juga di berbagai wilayah negara bagian lain, termasuk Azerbaijan. Urusan dengan Azerbaijan inilah yang kini menjadi pertikaian. Dalam sepuluh bulan terakhir, permusuhan Armenia-Azerbaijan meruyak. Armenia menuntut wilayah Nagorno-Karabakh. Sebuah kawasan yang sebagian besar penduduknya orang Armenia, tetapi masuk Negara Bagian Azerbaijan. Moskow menolak klaim itu. Apalagi orang-orang Azerbaijan yang umumnya muslim. Bentrok fisik antara dua bangsa itu tak terhindarkan. Sedikitnya 60 orang tewas lantaran perkelahian masal antara mereka. Ketika kemudian gempa menggoyang Armenia, rasa sentimen itu tak lalu reda. Sebuah kawat menyatakan "selamat" atas tragedi itu. Kabarnya, ucapan sinis itu dikirim seseorang dari Azerbaijan. Setelah bangunan-bangunan di kota Leninakan rubuh, perampokan pada toko-toko permata yang ambruk pun terjadi. Entah benar entah tidak, para perampok itu disebut sebagai orang Azerbaijan. Moskow berupaya keras meredam rasa sentimen tadi, dan menyatakan bahwa siapa pun yang melakukan -- mengirim ucapan "selamat" -- akan dikenai tindak pidana. Izvestia, koran pemerintah, menulis imbauan. "Yang pertama adalah kemanusiaan, baru kemudian kerusiaan, kearmeniaan, atau keazerbaijanan." Tentu saja tragedi pertikaian antara dua bangsa itu tak berarti apa-apa ketimbang bencana yang menelan sekian banyak nyawa. Inilah susahnya Armenia. Kesuburan dan keindahan wilayahnya disertai risiko yang membuntuti mereka selamanya. Bukan hanya karena di situ tempat gunung berapi, tetapi karena Armenia juga di atas patahan lempeng bumi -- sama sebagaimana Indonesia. Parahnya, tidak seperti Indonesia, pusat gempa di Armenia amat dekat dengan permukaan tanah. Bisa dibayangkan betapa banyak kerusakan yang mungkin terjadi setiap saat. Seorang ahli geologi AS yang mengunjungi Armenia, Brian Tucker, geleng-geleng kepala melihat rumah penduduk miskin yang hanya merupakan tatanan batu dengan tanah liat. "Amat mudah pecah, rumah-rumah yang amat mematikan," ujarnya. Tetapi ia lupa, rumah tradisional itu malah tak banyak menelan nyawa. Hampir seluruh korban justru berasal dari gedung dan apartemen modern. Ironis, memang. Setelah ekonomi meningkat, dan urbanisasi berjalan pesat, penduduk pun mulai meninggalkan rumah-rumah tanah liatnya di kampung. Permukiman baru dibangun dalam bentuk gedung-gedung bertingkat. Para ahli seismologi sudah lama tahu, wilayah itu rawan gempa dan telah berkali-kali bergetar dalam abad ini. Tetapi, mengapa pembangunan itu tak memasukkan gempa sebagai hal yang harus dipertimbangkan? Gedung-gedung menjulang di berbagai kota Armenia. Banyak yang mencapai lantai sembilan. Bangunan beton "prefab" dengan penguat besi dan mortar. Itulah yang kini rubuh menjadi onggokan puing-puing, dan sekaligus menjadi "kuburan umum". Baru setelah Armenia jadi korban, harian Komsomolskaya Pravda dengan ketus bertanya, "Mana para seismolog, para arsitek, para pekerja konstruksi yang merancang dan membangun perumahan dengan bagian-bagian yang kayak kotak korek api itu?" ZU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus