SEORANG lelaki muda berumur 20-an mondar-mandir di antara deretan peti mati, mencari abangnya. Ia membukai tutup peti. Akhirnya, ia menemukan apa yang sebenarnya tak ingin dilihatnya: mayat saudaranya. Begitu mengenali wajah mayat itu, lelaki itu langsung nyemplung ke dalam peti, mau mati sama-sama. Armenia sedang berduka. Penduduk tak pernah menghadapi peti mati begitu banyak. Menangis? Artavad Kogosyan, pekerja pabrik gula yang hinga Rabu pekan lalu masih mencari anak perempuannya, menjawab, "Di kota ini, biasanya kalau ada yang meninggal, kami semua menangisinya. Tetapi sekarang hanya sedikit yang bisa menangis. Kami tak punya lagi air mata tersisa." Air mata memang telah mengering di Spitak, sebuah kota kecil di dataran tinggi Kaukasus yang -- kata orang -- teramat cantik. Gempa telah "menghapuskan kota itu dari muka bumi" Rabu, 7 Desember 1988 ini. Rumah, taman kanak-kanak, sekolah, pabrik sabun, pabrik gula, dan lain-lainnya rubuh sudah menimbun dan mengubur lebih separuh dari sekitar 20.000 ribu penduduk. Tubuh-tubuh terbaring kelu di udara yang beku. Yang tersisa hanya stadion kecil, yang kini penuh dengan jajaran peti mati. Negara Bagian Armenia adalah kawasan bergunung-gunung di Selatan Uni Soviet. Daerah dekat perbatasan Turki ini diapit Laut Kaspia dan Laut Hitam -- kedua laut yang sebenarnya adalah danau. Tragedi ini menimpa sekitar 700 ribu dari 3,4 juta penduduk Armenia. Pada beberapa ratus kaki di bawah permukaan tanah -- menurut sumber lain 12 mil -- perut bumi bergerak. Patahan lempeng dunia pun bergeser. Maka, bergoyanglah semuanya, yang tercatat pada angka 6,9 skala Richter. Pusat gempa itu hanya 25 mil jauhnya di sebelah timur laut Leninakan -- kota kedua terbesar di Armenia. Jarum lonceng di alun-alun kota Leninakan berhenti pada angka 11:41. Kalau benar jarum itu terhenti oleh bencana, pukul itulah saat kota berpenduduk 290 ribu itu disirnakan. Mulanya, gempa itu hanya getaran kecil selama semenit. Empat menit kemudian disusul dengan kejutan tajam. Padahal, jam-jam seperti itu, bangunan-bangunan umum sedang sesak orang. "Semuanya terjadi dalam sekejap," seorang wanita mengenang sambil berdiri di timbunan reruntuhan rumahnya, membalik-balik album foto keluarga. "Suara ribut, goyangan yang mengerikan, dan lalu tak seorang pun yang tertinggal." Setiap orang di daerah bencana itu merasakan kejutan yang luar biasa "serupa bom". Mereka dicekam oleh guncangan dan kemudian segalanya ambruk. Seorang wanita menceritakan bagaimana ia serta-merta menjambak rambut anak perempuannya dan menariknya keluar menuju jalanan. Tetapi amat sedikit yang bisa bereaksi secepat itu. Semua bangunan lebih dari dua lantai -- pada radius 30 mil dari pusat gempa -- bertumbangan. Separuh kota Leninakan musnah. Tak kurang dari 120 apartemen ambruk. Gedung bertingkat sembilan berantakan. Tembok dan batu berhamburan macam serpihan ranting, rumah sakit dan sekolah meruntuhi para pasien, pabrik pun mengubur hidup-hidup pekerjanya. Kota-kota macam Kirovakan dan Stepanavan remuk. Apalagi Spitak yang bisa dijangkau dari pusat gempa hanya dengan berlari. Bahkan sejumlah bangunan di Yerevan, 65 mil jauhnya, rempal. Di SD Negeri 9, Jalan Gorky -- Leninakan, "gempa menewaskan anak-anak di tempat sewaktu mereka belajar," kata koresponden koran Komsomolskaya Pravda. Sersan Polisi Valeri Gumenyok dan para pasukannya, sudah mengangkat 50 mayat dari reruntuhan sekolah itu. "Orang-orang berkerumun di seputar api unggun, dan jalanan kota tersumbat oleh penduduk yang menyelamatkan diri," lapor surat kabar itu melukiskan suasana bencana. Selagi petugas berupaya membersihkan bangunan ambruk, "engkau dapat mendengar jeritan yang menyayat dari mereka yang memerlukan pertolongan," tulis wartawan Pravda. Sedang Sotsialisticheskaya Industriya melaporkan bahwa di Spitak petugas penyelamat mendengar suara gadis cilik yang terperangkap di bawah reruntuhan menjerit memanggil ibunya, minta minum. Puing, jeritan, api, asap, lalu gemuruh traktor, salak anjing, dan segala yang mengerikan lengkap saat itu. Inilah salah satu gempa yang mencatat korban terbesar dalam sejarah peradaban modern. Entah berapa pastinya korban yang tewas. Mula-mula pers melempar angka taksiran 100 ribu penduduk tewas. Hari Selasa dua pekan lalu, Kementerian Luar Soviet menyatakan 55 ribu warganya binasa dan 13 ribu lainnya luka. Angka itu pun terus merangkak naik. Upaya menyelamatkan korban dikerahkan. Pekerja penyelamat dengan kalut meminta peralatan berat untuk menolong orang-orang yang tertimbun. Namun, Perdana Menteri Soviet Nikolai Ryzhkov, di lokasi kejadian itu menyatakan? "persediaan alat-alat berat sangat terbatas." Padahal, kebutuhan mendesak. Seperti yang dikatakan Menteri Kesehatan Yevgeni Chazov, "setiap jam keterlambatan berarti 20 orang dari ribuan yang tertimbun tewas." Para penyelamat terus bekerja siang-malam. "Saya telah bekerja terus-menerus selama lima hari di sini," kata Anton Sukisikanyan, seorang operator derek. "Selama waktu itu kami telah menemukan 23 orang hidup. Dan saya tak hendak bicara tentang berapa mayat. Pokoknya, 280 orang berada di gedung ini." Sedang dari reruntuhan di belakangnya, asap mengepul dari api di bawah sana, membawa bau mayat yang menyengat. Lebih dari 150 derek dan traktor dibawa ke lokasi. Itu pun belum mencukupi. Suasana kacau. "Sekarang semuanya sedikit lebih baik, pada mulanya sarana penolong tak ada. Derek, gergaji pemotong, lampu, tak ada semuanya," kata Lernik Yeremyan yang memimpin satu regu sukarelawan. "Yang ada hanya 60 orang yang berdiri di situ dan berteriak satu sama lain." Yang juga tak mau berhenti bekerja adalah Emile Kirkosyan, wali kota Leninakan. Ia bilang telah kehilangan seluruh keluarganya yang berjumlah 15 orang. "Aku tak memiliki rumah dan keluarga," tuturnya dengan suara serak. "Istriku, cucuku, dan semuanya. Mereka semua tiada. Tetapi aku harus terus bekerja." Tetap belum diketahui persis, berapa yang telah diselamatkan dan berapa yang terus berlalu. Empat hari terakhir hingga Rabu dua pekan lalu, 18.500 orang bisa ditarik dari reruntuhan. Hanya 4.300 yang masih hidup. Sekitar 19 ribu orang yang luka dilarikan ke rumah sakit sepertiga di antaranya berjejalan di rumah sakit Yerevan. Ratusan dokter dari sejumlah negara bagian lain berhamburan ke situ buat menangani korban luka. Namun, usaha keras mereka juga terhalang oleh kekurangan antibiotik peralatan kesehatan yang sekali pakai, dan persediaan darah. Belakangan obat-obatan bantuan asing pun tiba. Sebanyak 6.500 tentara pun dikirim buat membantu penyelamatan itu. Memang tak semua rumah roboh. Tetapi para penghuninya tetap ngeri bila sewaktu-waktu gempa datang lagi. Mereka lebih suka memilih tidur di luar, di jalanan, seperti mereka yang telah kehilangan tempat tinggal. Celakanya, tak tersedia keperluan sehari-hari, seperti air, makanan, dan kakus. Transportasi darat menuju Leninakan pun sulit. Hanya satu jalan kereta api, dan dua jalan raya yang bisa ditempuh. Menurut Komsomolskaya Pravda, 60 ribu tenda telah didirikan di daerah bencana. Namun, setengah juta korban, kebanyakan harus menggigil di sekeliling api unggun. Musim dingin tak mau berkompromi. Salju turun semaunya. Suhu pun menggigit sampai pada angka di bawah nol. "Kampung-kampung yang hancur umumnya menderita karena bencana itu," tulis sebuah koran mengutip ucapan seorang pilot helikopter. Pada satu desa, 20 anak meninggal lantaran gempa, tetapi "sekarang mereka yang selamat pun berjatuhan karena dingin." Gorbachev meminta agar para wanita, anak-anak, dan orang lanjut usia segera meninggalkan daerah itu. Sedang para laki-laki dimohon tetap tinggal di tempat, membantu membersihkan debris dan membangun kembali kota. Menurut kantor berita Tass, "setiap hari 3.500 hingga 4.000 orang meninggalkan pusat bencana." Ketika tanah Armenia marah, Gorbachev baru semalam bertamu di Amerika Serikat. Saat makan siang dengan Ronald Reagan dan George Bush pada hari berikutnya, ia menjelaskan singkat soal gempa itu dan menyatakan akan segera pulang. Hari itu juga ia meninggalkan negeri yang warganya mengelu-elukannya dengan teriakan "Gorby! Gorby!" Rencana kunjungan ke Kuba dan Inggris juga dibatalkan. "Saya harus berada di sana," kata presiden itu. Kemudian bantuan berdatangan. Lebih dari 300 penerbangan datang ke lokasi. Washington segera mengirim obat-obatan, peralatan kesehatan, dokter, anjing pelacak, dan tim penyelamat. Ini terbilang bantuan pertama AS pada Soviet dalam jumlah besar sejak berakhirnya Perang Dunia II. Inggris, Prancis, Belanda, Belgia, Italia, dan banyak negara lain tak mau kalah. Bahkan Indonesia pun menerbangkan Boeing ke sana, membawa obat-obatan dan selimut. Sebuah pesawat kargo Yugoslavia, yang membawa bahan bantuan, jatuh saat mendarat di bandar udara Leninakan. "Kami tetap akan mengirim pesawat lagi," kata seorang pejabat Yugoslavia. Sedang pada hari Minggu sebelumnya, pesawat militer Soviet yang membawa pasukan penyelamat rontok di tempat yang sama. Sebanyak 79 orang tewas dalam kecelakaan itu. Sumbangan dari kalangan swasta juga tak sedikit. Berbagai kelompok organisasi yang dikelola orang Amerika keturunan Armenia mengumpulkan uang, pakaian, dan barang-barang lain, dan menyerahkannya lewat Palang Merah AS. Di Glendale, California -- tempat bermukim sebagian besar dari 300 ribu orang Armenia di AS -- sebuah kelompok dengan cepat bisa mengumpulkan uang 7 juta dolar AS. Dalam sebuah ulasannya, Tass menyatakan bahwa "hambatan psikologis" telah pecah lantaran tragedi ini. Memang, semua negara lalu lebih banyak bicara soal kemanusiaan daripada urusan pengkotak-kotakan bangsa. Seperti juga mereka yang selamat, sedih melihat nasib kawan, saudara, dan tetangga yang terkubur bagaimanapun hubungan mereka semula. Banyak keluarga di Moskow, dan tempat lain di luar Armenia, menawarkan diri untuk menampung bocah-bocah yang yatim atau (dan) piatu tersebab bencana itu. Hanya satu hal kecil yang tetap mengganggu: rasa permusuhan antara orang Armenia dan tetangganya Azerbaijan yang sudah menahun. Soviet bernafsu untuk segera membangun kembali kota-kota yang runtuh itu -- ini janji Gorbachev yang dua hari berada di tempat musibah. Sejak Kamis, hari kedelapan setelah gempa, mereka (dengan hati-hati) meminta agar regu penyelamat asing berhenti bekerja dan segera pergi. Tentara hendak meledakkan dinamit buat meluluhlantakkan reruntuhan: agar bisa segera dibangun. "Menurut saya, tindakan itu terlalu dini. Wanita yang ditemukan hidup hari ini masih bisa selamat. Memang cuma satu, tetapi saya tetap lebih suka tinggal di sini," kata Norman Roundell, seorang Inggris pengawas kebakaran. Semua berpendapat adalah "keajaiban" bila ada lagi yang ditemukan hidup, setelah seminggu gempa berlalu. Toh keajaiban itu muncul. Pada hari kesepuluh, seorang nenek ditemukan selamat di bawah puing. Gempa telah berlalu, tapi mimpi buruk belum terhapus. Di pinggir jalan berderet peti mati. Barang-barang yang biasanya tersimpan dalam rumah, seperti novel, kubis, sebuah sepatu boot, selonjor roti yang sudah separuh dimakan, secabik potret-potret reproduksi, berserakan di tengah asap dan salju. "Begini inilah agaknya akhir dunia kelak," kata seorang buruh pabrik. Seorang bocah yang kehilangan dua orangtuanya mengumpulkan buku-buku sejarah koleksi ayahnya. Seorang tua yang terbungkus selimut mencari-cari sepatunya. Yang lain hanya termenung di dekat bebatuan, seolah menjaga makam keluarga. Seorang perempuan tua di Spitak mengambil semua yang bisa diselamatkan dari reruntuhan rumahnya: foto-foto, serta sepatu bertumit tinggi. "Saya harus meninggalkan tempat ini," bisiknya, "tak akan ada kehidupan lagi di sini." Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini