DARI pentas Teater Grutli yang gelap terdengar suara garau berkepanjangan bak mantra yang diucapkan tanpa henti. Ketika panggung temaram, lalu penonton melihat seorang lelaki kulit putih (Ed Herbst) perlahan mendekati kubangan di tengah pentas. Dengan tetap menyuarakan vokal gaya Tibet, ia meraup lumpur dilumurkan ke tubuh. Ditenggelamkannya tubuh, juga kepalanya ke dalam lumpur, maka menyatulah suara garau tadi dengan tubuh yang terbalut tanah. Tiba-tiba muncul empat penari sambil mendendangkan tembang Jawa. Mereka bergerak perlahan, cermat detail mengambil inspirasi dan pose-pose arca candi Borobudur. Menyusul pertarungan antara seorang penari pria gagah (Sunarno) dengan penari wanita (Endang Suprapti) yang bergantian menampilkan gerakan yang lembut-ringkih dan kuat-garang. Sebagai puncak, Sardono -- dengan seluruh tubuh dicat keemasan -- keluar dari latar belakang. Ia berjalan perlahan di tengah sungai kecil yang dibuat di atas pentas dengan penyinaran kuat dari lantai panggung. "Gerakannya memancarkan kekuatan yang dahsyat, sebuah syncretism yang membawa angan kita ke dimensi yang sublim. Sardono menyapa lubuk hati kita yang terdalam. Ia membawa kita melihat ke esensi-esensi," tulis Caroline Coutau dalam Journal de Geneve, 19-20 November 1988. Agaknya tahun 1988 memang tahun subur bagi Sardono. Juni lalu ia menggarap kembali Dongeng dari Dirah untuk Singapore Festival of Arts. Ketika sebagai pengajar tamu di American Dance Festival (ADF) di Durham, Juli lampau, ia membuat Sanctum. September silam ia menggarap Elisa di Bali dan Citra Keemasan untuk kemudian menyiapkan Mahabuta yang dibawanya ke Swiss itu. Seperti dalam Mahabuta, saat ini perhatian Sardono sedang menekuni aspek-aspek Budhisme dalam kebudayaan Jawa. Manusia dan alam ini terbentuk dari 5 elemen: tanah, air, api, angin, dan eter. Dengan menyadari keberadaan ke-5 unsur tersebut dalam tubuh dan melalui latihan-latihan yang tekun, orang akan mampu membersihkan dirinya dari emosi. Dalam agama Budha, latihan ini disebut vipasana, meditasi yang mengembangkan kesadaran untuk mengekang emosi. "Saya mendekati badan-mantra atau kesadaran-murni ini bukan sebagai dogma agama, melainkan tetap dengan pendekatan untuk mencapai ketajaman intuisi artistik. Latihan pernapasan sangat besar peranannya," Sardono menjelaskan. Latihan semacam ini membantu melepaskan diri dari emosi-emosi, sehingga mencapai tingkat kesadaran-murni. Teknik tari Bedoyo dan alusan Jawa yang begitu subtil itu merupakan latihan mencapai intuisi seorang yogi, yang bebas dari asosiasi-asosiasi. Inilah konsep gerak yang mendasari Mahabuta. Dan keyakinan dan pendekatan gerak yang unik ini jugalah yang menunjang sukses Sardono ketika mengajar di ADF, di Durham, North Carolina. Bentuk latihannya yang bebas-bentuk terasa aneh bagi para penari Barat. Bahkan salah seorang muridnya membandingkan cara latihan Sardono dengan Zen Buddhism. "Sebuah cara penjelajahan gerak yang tak pernah saya kenal sebelumnya," tulis Jeannie Doliner di Durham Morning Herald, 17 Juli lalu. Ada 23 penari yang mengambil kelas Sardono di ADF. Mereka dari Amerika, Finlandia, Selandia Baru, Malaysia, dan India. Dibombardir dengan teknik gerak fisik, penari-penari di ADF ini merasa menemukan "isi" selama mengikuti workshop Sardono. Sambil menunjuk bagian tubuh antara dada dan perut, Dhaksa (peserta dari India) mencoba menjelaskan kepada teman-temannya yang semula nampak bingung. "Segalanya harus datang dari sini. Di sinilah letak jiva, the center of the soul," katanya. Dhaksa yakin bahwa Sardono tahu dan menghayati hal ini bukan hanya ketika menari tapi juga di dalam hidupnya. Ia menciptakan tari -- bukan sekadar untuk mencengangkan penonton. Tari adalah gerak, dan berbeda dengan musik dan puisi, semua orang bergerak setiap hari, bahkan setiap saat. Di ADF, Sardono membuat Sanctum, memanfaatkan kemampuan para penari dan suasana lingkungannya. Ia menyediakan sebuah tempat bagi para penari -- untuk menyendiri dan meneliti dirinya sendiri. Mereka yang mengikuti workshop Sardono datang ke tempat latihan setelah mengikuti 4-5 jenis latihan teknik gerak yang berbeda. Ia membiarkan muridnya membaringkan diri, dan bahkan tertidur di dalam latihan-latihan yang dipimpinnya. Namun, sementara mereka melepas lelah, Sardono membunyikan musik dan merangsang yang berniat untuk bergerak. Dalam kesadaran jiwa semacam ini, maka gerakan yang sekecil-kecilnya -- apakah teriakan ataukah kediaman -- akan tampil jujur dan berisi. Dengan kesadaran-murni semacam ini, penari tampil utuh, bukan sebagai pribadi panggung yang palsu. Benarkah pendapat sementara orang bahwa diam itu adalah puncak segala gerak? "Bukan," jawabnya tegas. "Penghayatan terhadap kediaman adalah penghayatan terhadap substansi gerak. Kediaman bukan berarti mandek. Tampak diam, tapi sebenarnya merupakan penghayatan yang intensif, yang kuat, karena tak dibatasi oleh asosiasi apa pun." Menarikan Bedoyo dan alusan dengan baik adalah sebuah latihan untuk mencapai kesadaran akan manifestasi ritme yang intensif. Bukan kemandekan. "Dunia ini tak pernah diam. Jawa yang mandek akan menjadi klenik, yang sangat saya benci," katanya. Sal Murgiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini