MALAPETAKA tanpa "hallo" itu datang mengguncang Armenia. Itu tiga pekan lalu, ketika kegiatan sehari-hari mulai. Para buruh dan pegawai baru saja masuk kerja. Ibu-ibu belanja di pasar untuk menyiapkan makan siang keluarga. Pagi itu, murid-murid juga sedang tekun belajar di sekolah mereka. Genjotan itu tak sampai lima menit, tapi menghancurkan kawasan luas Republik Sosialis Armenia, di Pegunungan Kaukasus. Gempa tektonik di negara bagian ke-13 (terkecil) di selatan Soviet itu menelan korban jiwa hampir 100 ribu, sementara angka resmi dari pemerintah adalah 60.000 jiwa. Di Kota Spitak, Leninakan, Kirovakan, gedung bertingkat menjadi puing dan kuburan masal. Sebagian besar rumah sakit hancur, 8 taman kanak-kanak berubah jadi bongkahan batu dan kerangka baja. Hampir setengah juta keluarga kehilangan rumah, tetapi 18.000 orang segera dirawat di rumah sakit. Dan karena tidak tersedia sarana, lalu mereka terpaksa dikirim ke Yerevan dan kota yang jauh di utara, ke Moskow, Kiev, Leningrad. Kiranya, bencana Armenia itu timpa-bertimpa. Gempa 6,9 skala Richter itu terjadi di saat sengketa etnis dan kawasan dengan negara bagian setetangga, Azerbeijan, semakin merebak. Dan kini, di tengah duka itu masih ada orang yang tega menjarah sisa harta para korban yang sedang diselamatkan. Belum lagi usaha penyelamatan yang lamban. "Koordinasinya kacau dan brengsek," kata Paul Newton, sukarelawan dari Inggris. Para penolong juga diraih bencana. Pesawat AN-12 Yugoslavia dan Ilyushin-79 Soviet yang mengangkut 78 pasukan penolong, obat-obatan, dan bahan bantuan lainnya hancur berkeping pada saat turun mendarat di lapangan terbang Yerevan yang berkabut. "Apa yang saya lihat selama dua hari ini suatu malapetaka dahsyat, dan itu di luar kemampuan manusia menanggungkannya," kata Mikhail Gorbachev. Dia buru-buru pulang dari lawatannya ke Amerika dan membatalkan kunjungannya ke Kuba dan Inggris. Penderitaan di Soviet itu ternyata menyentuh hati banyak orang di seluruh dunia. Bantuan berdatangan, bahkan dari negara yang selama ini bersengketa karena masalah perbatasan dan perbedaan ideologi. Misalnya Cina, yang bertikai sejak 3 dasawarsa lalu itu, menawarkan berbagai bentuk bantuan. Seorang milyuner Amerika Serikat menyumbang 1 juta dolar, plus bantuan 3,2 juta dolar dari pemerintah, dan swasta. Seluruh sumbangan yang mencapai 26,1 juta dolar, termasuk 100.000 dolar AS dari Indonesia. Tapi uluran simpati dari kawan maupun lawan itu sebagai hikmah pula. Sengketa lama kiranya perlu segera dibenam. Bahwa planet ini semakin kecil, dan umat manusia sebenarnya memang saling membutuhkan. Burhan Piliang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini