Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Indonesia disarankan mengabaikan protes Cina atas kegiatan pengeboran di Laut Natuna Utara.
Pakar hukum menganjurkan Indonesia memprotes balik ke pemerinttah Cina.
Indonesia perlu menggalang dukungan dari negara-negara yang menjadi korban Cina atas klaim sembilan garis putus.
JAKARTA – Akademikus hukum internasional dan hubungan internasional berbeda pendapat soal sengketa terbaru di Laut Cina Selatan. Ada yang menyarankan agar pemerintah melayangkan protes kembali ke Cina, setelah pemerintah Negeri Tirai Bambu itu memprotes pengeboran sumur minyak Indonesia di Laut Natuna Utara. Namun ada juga yang meminta pemerintah mengabaikan keberatan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan beda pendapat di antara kedua negara mengenai wilayah perairan di bagian Utara Indonesia—dulu disebut Laut Cina Selatan—itu tak akan pernah sejalan. Maka, pemerintah tak perlu menanggapi protes Beijing. “Kita tidak mengakui sembilan garis putus (nine-dash line) Cina dan Cina tidak mengakui zona ekonomi eksklusif (ZEE) serta landas kontinen kita,” kata Hikmahanto kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rektor Universitas Ahmad Yani, Cimahi, itu mengatakan terdapat empat alasan penguat pengabaian protes Cina ini. Pertama, Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus yang diklaim pemerintah Cina, sementara Cina memprotes Indonesia atas dasar klaim sembilan garis putus tersebut. Sebagian wilayah sembilan garis putus yang diklaim Cina itu berada di ZEE Indonesia.
Kedua, Cina mengklaim bahwa sembilan garis putus itu merupakan traditional fishing ground atau daerah penangkapan ikan tradisional bagi penduduknya. Namun Hikmahanto mempertanyakan klaim ini karena Cina justru memprotes aktivitas pengeboran sumber daya alam yang berada di bawah dasar laut. “Apakah Cina dengan sembilan garis putus akan ikut mengklaim sumber daya alam di dasar laut?” kata dia.
Pengamat hukum internasional, Hikmahanto Juwana. TEMPO/Subekti
Alasan ketiga, sikap tegas pemerintah yang mengabaikan protes Cina menunjukkan bahwa Indonesia tetap konsisten tidak mengakui klaim sembilan garis putus tersebut. Keempat, langkah pemerintah Indonesia mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di dasar Laut Natuna Utara sudah tepat. Kegiatan pengeboran ini sesungguhnya menegaskan bahwa Indonesia melaksanakan hak berdaulat atas landas kontinen Indonesia di Natuna Utara sesuai dengan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Justru pemerintah Indonesia melalui Badan Keamanan Laut perlu melakukan pengamanan agar terlaksananya pengeboran di rig lepas pantai oleh perusahaan,” ujarnya.
Sebelumnya, tersiar kabar bahwa pemerintah Cina memprotes pemerintah Indonesia atas kegiatan pengeboran minyak dan gas alam di Laut Cina Selatan. Cina meminta Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran itu karena berada di wilayah sembilan garis putus.
Bukan kali ini saja Cina memprotes Indonesia atas berbagai aktivitas di perairan Natuna Utara. Pada Agustus lalu, Beijing memprotes Garuda Shield, latihan militer bersama antara tentara Indonesia dan Amerika Serikat. Latihan militer yang melibatkan 4.500-an tentara kedua negara itu rutin digelar sejak 2009.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, enggan mengomentari protes pemerintah Cina tersebut. “Komunikasi diplomatik bersifat tertutup,” kata dia, kemarin.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menyarankan agar pemerintah Indonesia mengikuti hukum internasional dalam menghadapi protes Cina tersebut. “Kirim surat lagi dengan memberi penekanan pada urusan hukum internasional. Kedua negara sudah sama-sama menandatangani Konvensi Hukum Laut PBB,” kata Rezasyah.
Dia mengatakan kegiatan pengeboran minyak di Laut Natuna Utara merupakan kewenangan Indonesia karena lokasi berada di ZEE. Selain itu, tidak ada pembenaran mengenai klaim sembilan garis putus tersebut, baik secara sejarah maupun hukum internasional. “Indonesia jalan terus saja dengan apa yang sudah dilakukan selama ini,” katanya.
Menurut Rezasyah, pemerintah Indonesia dapat proaktif mempelajari nota protes Cina tersebut, lalu menjawabnya dengan dalil hukum internasional yang berlaku. Langkah berikutnya, Indonesia perlu membangun solidaritas antarnegara yang bermasalah dengan Cina.
Rezasyah berharap pemerintah meningkatkan pengawasan di wilayah ZEE. Kemudian, Badan Keamanan Laut meningkatkan frekuensi latihan bersama dengan mitra strategis. “Yang paling siap bekerja sama dengan kita urusan ini adalah Jepang, Australia, dan India,” katanya.
Ahli hubungan internasional dan pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja. Twitter.com/dinna_pr
Ahli hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menguatkan pendapat Rezasyah. Pendiri Synergy Policies itu mengatakan negara-negara di Asia Tenggara mengalami sengketa serupa, yang mengindikasikan bahwa Cina berkukuh dengan klaim nine-dash line. “Apa pun kata-kata manis Cina di ASEAN dan kepada Indonesia tentang penghormatan kedaulatan teritori negara lain berarti omong kosong saja,” kata Dinna.
Ia berharap pemerintah Indonesia membuka persoalan ini dengan memprotes balik komitmen Cina kepada negara-negara Asia Tenggara. Dinna meminta protes Cina ini tidak ditutupi agar segenap unsur masyarakat, termasuk di wilayah terdepan, bersiaga.
Menurut dia, Indonesia dapat melakukan tiga pendekatan dalam menyelesaikan persoalan ini. Pertama, dalam tataran bilateral, Indonesia sudah tepat jika menentang klaim Cina tersebut. Bahkan, Indonesia harus menegaskan bahwa protes Cina itu tak berdasar dan melukai kerja sama kedua negara. Kedua, dalam tataran regional, Indonesia perlu menggelar pertemuan darurat dengan negara-negara yang dilanggar kedaulatannya oleh Cina. Tujuannya untuk mencegah meluasnya langkah-langkah sepihak Cina di kawasan perairan strategis tersebut.
Ketiga, dalam tataran multilateral, Indonesia perlu mengadu ke Sekretaris Jenderal PBB ataupun ke Dewan Keamanan PBB. “Supaya ada komunikasi perkembangan situasi terkini dan diantisipasi secara luas perburukan situasi di Laut Cina Selatan,” kata Dinna.
DIKO OKTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo