Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harifin A.Tumpa.*
Majalah Tempo edisi Mei lalu mengangkat tulisan menarik dengan judul "Lempar Bola Sengketa Pilkada". Ibarat orang main tenis meja, artikel ini berbicara tentang nasib sengketa pemilihan umum kepala daerah yang menjadi tidak menentu. Putusan Majelis Konstitusi ini tentu akan membawa dampak hukum yang cukup luas karena telah menimbulkan kekosongan hukum.
Putusan Mahkamah Konstitusi, yang menghilangkan sendiri kewenangannya mengadili sengketa pilkada, menimbulkan kontroversi. Secara etika, putusan ini dianggap tidak wajar karena menimbulkan kesan bahwa Mahkamah Konstitusi bisa memilih sendiri tugas yang akan dikerjakan. Di sisi lain, ini menunjukkan tidak adanya semangat Mahkamah Konstitusi memperbaiki diri.
Pada 2008, ada dua alasan mengapa orang mendesak Mahkamah Agung menyerahkan sengketa pilkada ke tangan Mahkamah Konstitusi. Pertama, penanganan sengketa di Mahkamah Agung banyak menimbulkan masalah. Kedua, sengketa pilkada masuk rezim pemilu.
Dalam sengketa pilkada Depok dan Sulawesi Selatan, keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah dibatalkan pengadilan dengan alasan terjadi kecurangan dan penggelembungan suara, sehingga kemenangan pun jatuh ke kubu lawan. Putusan ini menuai kecaman publik. Menurut Mahkamah Agung, satu-satunya cara memperbaiki putusan tersebut dengan peninjauan kembali. Walaupun dalam undang-undang ditentukan bahwa putusan pengadilan tinggi bersifat final dan mengikat, menurut Mahkamah Agung, final dan mengikat di sini diartikan berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat diajukan upaya hukum peninjauan kembali.
Langkah ini adalah suatu terobosan hukum melalui rechts vinding (penemuan hukum) yang dimiliki hakim. Putusan pengadilan itu kemudian dibatalkan majelis peninjauan kembali dengan menolak gugatan penggugat.
Ada lagi kasus sengketa pilkada Maluku Utara, tapi ini bukanlah kasus sengketa pilkadanya, melainkan tuduhan suap kepada majelis hakim Mahkamah Agung. Tapi hal ini tidak dapat dibuktikan secara hukum.
Bukannya berkurang, sorotan publik ketika sengketa ditangani Mahkamah Konstitusi malah bertambah. Kita dengar, misalnya, kasus pilkada di Sumatera Utara yang menimbulkan polemik berkepanjangan antara Ketua Mahkamah Konstitusi pada waktu itu, Mahfud Md., dan Refly Harun, yang kemudian tidak kedengaran lagi beritanya, bak ditelan bumi. Dalam persidangan perkara korupsi Akil Mochtar, terungkap pada dakwaan jaksa betapa banyak sengketa pilkada yang "dimainkan". Ada pilkada Gunung Mas dan Kabupaten Lebak, yang menyeretnya ke pengadilan. Juga ada pilkada Kabupaten Empat Lawang, Lampung Selatan, Pulau Morotai, Tapanuli Tengah, Kota Palembang, Provinsi Jawa Timur, dan Provinsi Banten.
Dari beberapa sengketa yang bermasalah di atas, baik yang ditangani Mahkamah Agung maupun yang ditangani Mahkamah Konstitusi, saya melihat sebab-musabab terjadinya kontroversi: majelis hakim melampaui batas kewenangannya dan memasuki wilayah politik. Kewenangan hakim dalam sengketa pilkada, menurut undang-undang, hanya terbatas pada sengketa hasil penghitungan suara. Tapi, kenyataannya, hakim terseret arus pada dalil para pihak dan akhirnya ia terseret ke arah politik. Kalau ada pihak yang mendalilkan, dia kalah karena telah dicurangi. Ada penggelembungan suara dan kecurangan-kecurangan lain, majelis melayaninya padahal sesungguhnya ada instansi lain yang berwenang memeriksa persoalan itu, misalnya Badan Pengawas Pemilu dan polisi.
Apabila persoalan-persoalan tersebut diajukan ke majelis hakim, majelis harus berani menyatakan tidak berwenang memeriksanya. Yang harus dipersoalkan: adakah kekeliruan dalam menentukan jumlah suara tersebut. Sangat simpel sesungguhnya. Bukan teori yang muluk-muluk, yang diperlukan terutama adalah kejujuran, integritas, dan kecermatan.
Sengketa pilkada sesungguhnya sengketa perorangan atau keperdataan karena yang paling berkepentingan atas putusan sengketa itu adalah pasangan yang memperoleh kemenangan atau yang kalah, menurut hasil penghitungan suara KPUD. Suatu sengketa perdata apa pun hanya dapat diselesaikan oleh pihak ketiga yang tidak memihak.
Dalam praktek, pihak ketiga yang dapat menyelesaikan suatu sengketa adalah lembaga yudikatif yang merupakan organ negara dan lembaga perwasitan atau arbitrase yang merupakan badan swasta. Biasanya persetujuan menggunakan wasit atau arbiter lebih dulu dibuat dalam suatu perjanjian. Tapi hal ini tidak menghalangi apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu pilkada bersepakat (sebelum pilkada dilaksanakan atau sesudah terjadinya sengketa), apabila terjadi sengketa, mereka akan memilih wasit atau arbiter yang mereka setujui bersama-bisa satu, tiga orang, atau lebih asalkan jumlahnya ganjil.
Namun memang yang lebih baik apabila perwasitan atau arbitrase di bidang sengketa pilkada itu diatur di dalam undang-undang. Arbitrase ketenagakerjaan, misalnya, sampai saat ini belum ada walaupun payung hukumnya sudah ada. Saya kira model ini bisa dicoba oleh KPU pelaksana pilkada. Apabila landasan hukum pembentukan lembaga arbitrase di bidang sengketa politik telah ada, otomatis lembaga arbitrase di bidang sengketa politik akan menyusun organisasi dan hukum acara serta mengatur rumah tangganya sendiri.
Maka, sewaktu peserta pilkada akan "bertempur" memperebutkan kursi kepala daerah, mereka dikumpulkan dan ditanyakan atau ditawarkan model penyelesaian sengketa dengan memilih wasit atau arbiter yang akan menentukan siapa pemenangnya apabila terjadi sengketa.
Cara ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, lebih singkat, lebih sederhana, dan lebih dapat diterima oleh para pihak. Sistem ini tidak memerlukan prosedur yang berbelit-belit dan putusannya bersifat final dan mengikat serta dapat diterima oleh para pihak. Sebab, yang menentukan wasit atau arbiter adalah mereka sendiri dari orang-orang yang mereka percayai kredibilitas dan akuntabilitasnya. Kedua, biayanya pasti lebih murah karena paling-paling yang harus disediakan adalah biaya wasit atau arbiter serta biaya saksi, ahli, dan lain-lain. Saya kira biaya yang harus ditanggung pihak yang bersengketa akan jauh lebih murah bila dibandingkan dengan biaya siluman yang harus disiapkan untuk memenangi suatu perkara di lembaga lain. Ketiga, sekali memilih arbitrase, tidak ada lagi institusi yang bisa menyelesaikan sengketa itu selain arbitrase atau wasit yang mereka pilih. Ini adalah penghormatan atas kebebasan berkontrak di bidang hukum.
Arbitrase atau perwasitan merupakan suatu pilihan hukum dari pihak-pihak. Artinya para pihak tidak dapat dipaksa menerima cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase, sehingga secara umum harus pula dibuka alternatif yang bersifat memaksa menyelesaikan sengketa mereka melalui lembaga yudikatif-dalam hal ini Mahkamah Agung.
Sewaktu sengketa ditangani Mahkamah Agung, perselisihan hasil suara pada pemilihan kepala daerah tingkat II/bupati ditangani peradilan umum, yakni pengadilan tinggi wilayah daerah pemilihan yang bersangkutan. Saat ini mungkin yang lebih tepat adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara-yang hanya ada di empat kota, yaitu Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar-karena yang dipersoalkan dalam sengketa pilkada adalah surat keputusan KPU.
Dengan terbatasnya tempat mengadili sengketa pilkada, terjadinya tekanan kepada hakim dapat diminimalkan. Namun harus diingat, dalam suatu sengketa, orang berusaha menggunakan cara apa saja. Apalagi dalam politik, orang ikut pemilihan hanya siap menang, tapi tidak siap kalah. Tekanan itu tidak dapat dihindari, di mana pun hal itu dilakukan. Sedangkan sengketa pemilihan gubernur ditangani Mahkamah Agung Kamar Tata Usaha Negara.
Jakarta, 2 Juni 2014.
Mantan Ketua Mahkamah Agung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo