Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pertunjukan Tari Didik Nini Thowok: Pertemuan Bedhaya Kakung dan Noh

Didik Nini Thowok mengawinkan tari klasik Yogyakarta dan Jepang dalam Bedhaya Hagoromo. Hasil studi panjang sejak 2000.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Didik Nini Thowok dengan kostum tari Bedhaya Hagoromo di rumahnya di Yogyakarta, 8 Januari 2025. Foto: Berto Wedhatama

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Didik Nini Thowok menyajikan pertunjukan tari yang memadukan budaya Jawa dengan Jepang.

  • Tari bedaya dari Keraton Yogyakarta dipadukan dengan tari noh asal Jepang dalam Bedhaya Hagoromo.

  • Tempo memilihnya sebagai seni pertunjukan terpilih 2024.

PERTEMUAN itu berlangsung halus. Dua tari klasik, bedaya dari Keraton Yogyakarta dan tari tua noh asal Jepang, melebur satu sama lain. Keduanya seolah-olah saling menyerap. Energinya utuh. Sebuah osmosis yang menemukan esensi tunggal. Para penari menampilkan gerakan bedaya tapi mengenakan topeng putih noh dan memainkan kipas noh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu musik gamelan bercampur dengan intonasi suara vokal noh yang lambat, parau, dan terkontrol dari tenggorokan serta tetabuhan khas noh yang auranya getir menimbulkan suasana hibrida “aneh”. Dari awal, intro musik gamelan yang diwarnai tiupan brass menciptakan atmosfer anggun tapi misterius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Didik Nini Thowok selama ini identik dengan tari komedi. Ia dengan keahliannya memainkan aneka topeng dengan berbagai kostum unik menciptakan kreasi-kreasi tari transgender yang jenaka. Tapi, pada malam pembukaan Indonesian Dance Festival di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 2 November 2024, dia menyajikan sesuatu yang lain. Tidak ada sama sekali nuansa hiburan yang sengaja memancing tawa penonton dari koreografi Didik.

Malam itu ia menyajikan suatu jenis bedaya baru yang disebutnya Bedhaya Hagoromo. Bedaya dengan topeng noh. Kata hagoromo selintas seperti istilah dalam bahasa Jawa krama atau alusan. Ternyata bukan. Hagoromo adalah kosakata Jepang. Ini jenis tarian klasik Jepang yang Didik pelajari di negeri asalnya. Orang Jepang mengenal hagoromo sebagai tarian legendaris yang berhubungan dengan cerita jubah terbang. Kisah itu mirip legenda Jaka Tarub di Indonesia. Menurut kami, ini upaya Didik menampilkan eksperimen interkultural yang serius.

Dia memadukan Bedhaya Lanang—tarian klasik Jawa yang dibawakan sembilan laki-laki alih-alih perempuan—dengan penari noh dan topeng-topeng noh. Didik mensimbiosiskan gamelan Jawa dengan musik dan vokal noh. Hasilnya, sebuah repertoar yang menyatu.

Unsur kultural yang berbeda tersebut bisa diintegralkan karena Didik berhasil menangkap inti tiap tarian. Malam itu dia menyajikan kepada kita bagaimana seharusnya sebuah kolaborasi terjadi. Kolaborasi yang tercipta dari “dunia” dalam jiwa, bukan sekadar perjumpaan tempelan-tempelan atau persenyawaan aksesori-aksesori.

Didik Nini Thowok menari Bedhaya Hagoromo di rumahnya di Yogyakarta, 8 Januari 2025. Berto Wedhatama

Banyak penari Indonesia yang mendapat dana hibah ke luar negeri mempelajari tarian atau metode tari sebuah grup tari dengan singkat. Begitu kembali, para penari itu langsung memunculkan sebuah kolaborasi atau memasukkan khazanah tari yang dipelajari secara verbal ke garapan mereka. Praktik demikian seperti hanya menyentuh kulit permukaannya, tidak tercerna sampai ke sumsumnya.

Itu tidak terjadi pada Didik. Ia secara matang mempelajari noh dan bedaya sampai unsur-unsur filsafatnya. Bukan satu-dua bulan, Didik mempelajari noh dan bedaya selama bertahun-tahun.

Didik pertama kali mempelajari teater tradisional noh di Tokyo pada 2000 setelah melewati serangkaian seleksi dari Japan Foundation—lembaga nirlaba yang berfokus pada pertukaran budaya Jepang dan negara-negara sahabatnya. Lembaga ini menyebutkan bahwa saat itu Didik adalah seniman pertama asal Indonesia yang mempelajari seni tradisi Jepang.

Selama tiga bulan pada pengujung tahun itu, Didik mendalami noh dengan berguru kepada master noh asal Amerika Serikat, Richard Emmert. Didik juga mempelajari nihon buyo atau seni tari dan kabuki atau drama dari para seniman ternama di sana. Gojo Masanosuke menjadi guru nihon buyo dan Sadamu Omura mengajarkan kabuki. “Ketiganya seni tradisi lintas gender yang lestari sampai kini,” ujar Didik.

Hagoromo sendiri mengisahkan cerita bidadari yang meminta jubahnya dikembalikan oleh seorang pemancing. Si pemancing memberi syarat bidadari itu menarikan tarian langit karena khawatir dia berbohong. Bidadari menjawab bahwa langit tidak mengenal kata-kata bohong. Untuk Bedhaya Hagoromo, Didik secara khusus meminta para penari Bedhaya Lanang-nya mengenakan topeng ko-omote atau topeng noh yang menggambarkan karakter bidadari atau perempuan cantik. Karakter topeng itu sesuai dengan permintaan Richard Emmert. Didik memesan topeng noh bukan dari Jepang, melainkan kepada pembuat topeng klasik di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Pono Wiguno.

Menurut Didik, Bedhaya Hagoromo bertolak dari pertunjukannya pada 1995 yang menampilkan tari klasik Keraton Yogyakarta, Bedhaya Sinom. Tarian itu bercerita tentang putri Cina. Didik kemudian terinspirasi menciptakan tarian yang menggabungkan keanggunan bedaya klasik Yogyakarta dengan noh klasik Jepang. Perlu waktu satu tahun bagi dia untuk mengkreasikan Bedhaya Hagoromo.

Sebelumnya, Didik berkonsultasi dengan pakar tari klasik Yogyakarta, Bendara Raden Ayu Yudonegoro. BRAy Yudonegoro mendukung rencana Didik membuat tarian yang menggabungkan bedaya dengan tari Jepang. Tapi dia berpesan agar tari kreasi itu tetap mempertahankan pakem karena bedaya merupakan tarian yang sakral di Keraton Yogyakarta. Didik mendengarkan pesan itu dan mementaskan Bedhaya Hagoromo sesuai dengan pakem atau ketentuan bedaya, misalnya mengikuti susunan gending. Lalu Didik mengembangkan cerita tentang legenda Jaka Tarub.

Dalam pementasan Bedhaya Hagoromo, Didik menjalani serangkaian ritual. Dia menghindari berbagai pantangan, memasang dupa, dan bersembahyang. Dalam pentas-pentas tari sebelumnya, Didik kerap berpuasa sebagai bagian dari ritual. Tapi kali ini ia tak menjalankannya. Didik baru menjalani operasi pengangkatan batu empedu dan dia juga memiliki penyakit asam lambung sehingga dokter menyarankannya tak berpuasa. “Ritual itu tujuannya spiritual dan memberikan energi,” ucap Didik.

Bedhaya Lanang, juga disebut Bedhaya Kakung atau Bedhaya Jaler, mempunyai keunikan. Sejarah tari di Keraton Yogya memiliki beberapa tari ciptaan yang berkaitan dengan Bedhaya Kakung—para penari remaja laki-laki menari dengan kostum dan riasan perempuan. Pada masa Sultan Hamengku Buwono V (1823-1855), misalnya, Bedhaya Durma ciptaan Sri Sultan Hamengku Buwono III (1810-1814) ditarikan para abdi dalem laki-laki.

Kisah penari laki-laki yang berpentas dalam busana dan riasan perempuan, menurut Didik, juga dapat diamati pada foto-foto kuno pementasan tari zaman Sultan Hamengku Buwono VII (1977-1921) yang sekarang dipajang di Hotel Phoenix, Yogyakarta. Pemilik hotel mempunyai buku berbahasa Belanda yang memuat kesenian tari di keraton, termasuk tarian perempuan yang disajikan oleh penari laki-laki. Buku itu, kata Didik, kini juga disimpan di Universiteit Leiden, Belanda. 

Didik mempelajari Bedhaya Lanang pertama kali saat kuliah di Jurusan Seni Tari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI)—kini Institut Seni Indonesia Yogyakarta—pada 1970-an. Dia mendalami bedaya tingkat dasar hingga bedaya gaya Yogyakarta ataupun Surakarta. Didik kerap bersinggungan dengan para penari keraton yang juga dosen ASTI. Kebanyakan pengajar itu adalah abdi dalem yang juga penari di keraton.

Didik Nini Thowok di meja kerjanya, Yogyakarta, 8 Januari 2025. Berto Wedhatama

Didik belajar kepada tokoh tari klasik gaya Yogyakarta, Kanjeng Pangeran Pujaningrat atau Raden Mas Dinusatomo. Juga seniman tari klasik Raden Wedono Sasminto Mardowo atau dikenal sebagai Romo Sas. Didik sering terlibat dalam pementasan tari di keraton. Dia menarikan Edan-edanan di Pagelaran Keraton pada 1974.

Dari Theresia Suharti alias KRT Pujaningsih, maestro tari klasik dan guru tari di Keraton Yogyakarta, Didik mengenal tari Golek Lambangsari. Tarian ini tertera dalam Babad Mangkunegaran yang ditulis pada zaman Hamengku Buwono VII. Saat itu Keraton Yogyakarta mengirim putra mahkota untuk menari di Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, dalam peringatan jumenengan atau kenaikan takhta. Tariannya adalah Golek Lambangsari, yang menggambarkan seorang gadis remaja yang mulai beranjak dewasa dan pandai bersolek.

Kepada Didik, Theresia bercerita bahwa penampilan putra mahkota itu sangat cantik dan gerakannya bak bidadari sehingga membuat banyak penonton kepincut. Sejumlah laki-laki bahkan mengikuti putra mahkota itu hingga ruangan rias. “Mereka kecewa saat tahu bahwa penari itu laki-laki. Cerita itu muncul dalam tembang Kinanthi,” tutur Didik.

Pada 2004, Didik ikut dalam riset dan penulisan buku tentang tari cross gender yang salah satu materinya adalah pendataan mengenai seniman dan tokoh Bedhaya Kakung di keraton. Dari hasil penelitiannya, ia memperkirakan Bedhaya Kakung ada sejak zaman Sultan Hamengku Buwono I, 1755-1792. Saat itu, dalam satu kali pentas, Bedhaya Kakung memakan waktu tiga jam. Penari laki-laki dianggap lebih bertenaga menari dalam durasi waktu yang sedemikian panjang. Selain Bedhaya Kakung, menurut Didik, di Keraton Yogya ada beberapa tarian yang menampilkan penari laki-laki dengan kostum dan riasan putri. Misalnya Langen Mondro Wanoro. “Tarian ini jarang ditampilkan,” ujarnya.

Pada saat kecil, Didik sering menonton tari golek yang dimainkan laki-laki. Dia mengatakan tari golek dulu disajikan sebagai penutup pertunjukan wayang kulit. Dalam bahasa Jawa, golek berarti mencari sesuatu. Jadi tari golek secara harfiah berarti mencari makna dari pertunjukan wayang kulit sepanjang malam.

Di Keraton Yogyakarta, menurut Didik, tidak ada hal yang tabu mengenai Bedhaya Lanang. Bedaya yang ditarikan laki-laki tidak merusak kesakralan bedaya yang dibawakan sembilan perempuan. Syarat menari bedaya, dia melanjutkan, adalah memahami pakem dan berbagai aturannya. Penari Bedhaya Lanang menjalani berbagai ritual sebelum pentas, misalnya berpuasa dan membuat tumpengan. Saat mementaskan karyanya, Didik juga menjalani serangkaian ritual. “Sebagai koreografer, saya bertanggung jawab atas keselamatan penari,” katanya.

Pertunjukan Bedhaya Hagoromo di Taman Ismail Marzuki pada malam itu melibatkan para guru noh Didik, yakni Richard Emmert, Sadamu Omura, dan Akira Matsui. Didik menyerahkan penggarapan komposisi musik sepenuhnya kepada Alex Dea, komposer yang berguru kepada empu gamelan dari Yogyakarta, Ki Tjokrowasito. Walhasil, kolaborasi ini cukup membekas. Detik-detik tatkala para penari Bedhaya Kakung itu mengenakan topeng ko-omote noh begitu mengesankan. Tak terduga.

Kostum dan gerak lambat bedaya terlihat klop dengan raut muka topeng noh. Mengkristal menjadi satu. Pada malam itu, Didik seolah-olah menuntaskan pergumulan studi panjangnya mengenai Bedhaya Kakung dan noh. Itulah sebabnya, atas segala ikhtiar Didik mencari titik pertemuan antara Bedhaya Lanang dan noh, Tempo memilih pertunjukan ini sebagai pertunjukan terkuat sepanjang tahun lalu.

Shinta Maharani berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pertemuan Bedhaya Kakung dan Noh

Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus