Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Imaji-imaji Liar Natasha Tontey dari Bokong Kera Berjambul

Refleksi kera yaki Natasha Tontey menjadi obyek pameran yang cerdas dan jenaka. Seni rupa pilihan Tempo 2024.

26 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perupa Natasha Tontey saat berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta, 11 Januari 2025. TEMPO/Fardi Bestari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Karya Natasha Tontey dengan refleksi kera yaki menjadi Karya Seni Rupa Pilihan Tempo 2024.

  • Natasha Tontey menawarkan sudut pandang dan tafsir baru, menantang kerangka tradisional pemahaman evolusi dan sejarah.

  • Primatologi, dalam tafsir jenaka Natasha Tontey, menjadi ruang penjelajahan yang sarat penyimpangan, pintar, janggal, kocak, liar, dan memancing imaji.

PAMERAN Natasha Tontey merefleksikan yaki, kera berjambul di Minahasa, Sulawesi Utara. Ia menempatkan yaki dalam cabang rumit evolusi dan mengimajinasikan kera itu dalam sebuah film eksperimen. Serangkaian properti pembuatan film (pakaian yaki, kerangkeng, jubah lemak, bulu, ekor yaki, dan lain-lain) menjadi obyek pamerannya. Sebuah pameran cerdas yang menautkan secara jenaka seni rupa dengan studi primata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengantar terbaik untuk pameran Natasha, “Primate Visions: Macaque Macabre”, di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara atau Museum MACAN, Jakarta, 16 November 2024-6 April 2025, kiranya bukanlah kata-kata, melainkan imaji: sebuah gerbang melengkung seperti tampang raksasa berponi lebar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerbang itu terdiri atas dua pintu tebal kemerahan berbentuk sepasang bokong besar kera jambul hitam yang disebut yaki di Minahasa. Dari celah pintu atau lubang “anus” yang keriput, kita memandang obyek dingklik kecil di kejauhan menyerupai bayi primata, berkepala bundar berdaging merah muda. Obyek itu seperti makhluk mini, merangkak, melempar senyum jenaka ke arah kita. Dua karya ini segera menghubungkan kita dengan pertanyaan atau tema pokok yang menggoda inspirasi Natasha: “Biasanya, kesadaran dianggap berasal dari otak. Tetapi, bagaimana jika kita membayangkan bahwa dunia bermula dari bokong?”.

Bokong bulat berponi rimbun bulu-bulu artifisial itu diberi judul Set 1-Deep Time: Alter-Destiny (2024), sedangkan hewan mini berkaki empat yang dibikin dari piring dan dingklik plastik murahan dijuduli Sylvester (2024). Gagasan “Primate Visions”, menurut Natasha, berasal dari bacaannya, buku penting karangan Donna Haraway, Primate Visions: Gender, Race, and Nature in the World of Modern Science (1989). Gagasan pokok Haraway, filsuf sains asal Amerika Serikat yang terkenal antara lain dengan “A Cyborg Manifesto”, di buku itu adalah sebuah ordo biologis yang menempatkan manusia, kera, dan monyet bersama-sama sebagai Ordo Primata.

Karya Natasha Tontey yang diberi nama Set 1-Deep Time: Alter-Destiny (2024) saat dipamerkan dalam pameran bertajuk “Primate Visions: Macaque Macabre” di Museum Macan di Jakarta. Dok. Pribadi

Secara kreatif dan kocak Natasha seakan-akan melanjutkan premis itu dengan menawarkan sudut pandang dan tafsir baru: bagaimana kalau sejarah tentang makhluk primata ini dipahami melalui “bagian bawah”? “Gestur jenaka sekaligus menyimpang ini,” tulis tim kurator pameran pada teks yang bisa kita baca di museum, “menantang kerangka tradisional pemahaman evolusi dan sejarah, mengajak kita membayangkan kembali bagaimana pengetahuan diakses dan ditafsirkan di sepanjang pameran.”

Teks standar mengenai evolusi primata biasanya memang menempatkan sejarah manusia terpisah dari sejarah satwa. Ada sesuatu yang tak terjelaskan dari keterpisahan itu: tampilnya percik kesadaran. Jutaan tahun silam, populasi besar kera di Afrika terpecah menjadi beberapa. Sederhananya, yang satu berkembang menjadi gorila modern, yang kedua simpanse modern, dan yang ketiga manusia. Yang terakhir kita kenal sebagai Homo erectus, makhluk berjalan tegak dengan ukuran tubuh dan otaknya yang bertambah besar, mulai menyebar keluar dari Afrika. Nama Homo erectus bahkan sering dikaitkan dengan fosil-fosil yang ditemukan di Jawa—umum disebut Manusia Jawa—muncul sekitar 1,8 juta tahun silam.

“Gestur jenaka” Natasha—lahir di Jakarta pada 1989—yang kedua adalah imajinasinya yang membayangkan bahwa ada semacam materi psikoaktif yang dikonsumsi oleh leluhur primata, seperti diujarkan oleh Xenomorphia, salah satu karakter di dalam filmnya yang menjadi bagian dari pameran di Museum MACAN itu.

Nama ini berasosiasi dengan sosok makhluk asing, ditampilkan dengan busana seperti cyborg, berbuntut waruga, yakni bentuk kuburan batu kuno yang masih bisa kita lihat di Minahasa. Judul film berdurasi 32 menit 47 detik ini—sekaligus menjadi judul pameran—mengisahkan eksperimen riset biologi yang dipimpin oleh Imago Organella tentang dua ekor yaki, kera berjambul mirip rambut gaya punk yang kecerdasannya melampaui manusia.

Karakter Imago dalam film ini adalah sosok cendekia penderita akondroplasia, bertubuh kecil karena gangguan pertumbuhan tulang. Kata-kata semua karakter dalam film yang kocak dan terkesan futurisik ini sarat renungan. Primate Visions adalah gado-gado seni rupa, horor teatrikal, dan komedi surealis diimbuhi musik lokal yang pernah populer dengan nama “disko tanah”, irama untuk mengiringi orang membajak tanah. Natasha Tontey menulis naskah filmnya, yang ia juluki “larik sungsang kaum primata”; mengoperasikan kamera genggam; sekaligus mengerjakan desain untuk properti film. Semua set filmnya kaya akan asosiasi dan imaji sureal yang ganjil ditampilkan sebagai obyek-obyek seni rupa yang asyik dan mampu berbicara sendiri.

Bagi Natasha, sangat penting untuk menyalakan imajinasi di antara “cecabang rumit dari pohon evolusi […] untuk merasakan persaudaraan yang melampaui batasan daging dan darah”. Ia menyebutkan semua karyanya dalam pameran ini—obyek, instalasi multimedia, video, film, dan wallpaper—sebagai “koreografi kehidupan”, yakni tarian rumit mengenai asal-usul purba yang pada ujung sejarah menghadirkan manusia rasional, tersusun oleh sel-sel menari dan berputar, melepaskan bentuk lama untuk memberi jalan bagi yang baru.

Perupa Natasha Tontey saat berkunjung ke kantor Tempo, Jakarta, 11 Januari 2025. Tempo/Fardi Bestari

Seperti diujarkan salah satu karakter yaki di dalam film: “Pertimbangkanlah sejenak, seekor yaki tak berekor yang sederhana. Makhluk liar ini hidupnya terkait erat dengan ritme alam. Namun di balik bulu dan ototnya tersembunyi biologi yang tidak begitu berbeda dari milik kita. Kode genetik yang sama, blok bangunan dasar kehidupan yang sama.”

Film dan karya seni rupa ini didedikasikan sebagai kampanye artistik untuk penyelamatan dan pelestarian yaki. Makaka (Macaca nigra) atau yaki, kera berjambul, berbulu hitam mengkilat dengan pantat merah muda, adalah satwa endemis terbesar yang hanya terdapat di Sulawesi Utara dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Kini populasinya terus berkurang karena perburuan dan perubahan lingkungan. Dalam 40 tahun terakhir, jumlah yaki di pulau itu terus berkurang sampai 80 persen. “Sampai kita belajar menghormati semua kehidupan, manusia dan hewan, kita tidak akan pernah menemukan perdamaian (di alam),” ucap Natasha.

Selewat gerbang “gua” berbentuk bokong merah muda dan dingklik yaki mini yang cerah di atas, kita bersua dengan gumpalan lemak sewarna daging “dijemur” pada rangka-rangka pipa. Pipa-pipa dengan cantelan jepit rambut yang rapat memanjang sekilas mengingatkan pada struktur tulang manusia atau mamalia. Tafsir kocak dan terasa hidup inilah kebisaan Natasha menyulap bahan-bahan yang terkesan murahan (sofa lama, piring plastik, kursi plastik, bulu artifisial, slang fleksibel, pipa, kabel telepon, spons, penggaruk punggung, rol pembersih bulu, gunting, bra, stoking, jam dinding, lampu, sendok, garpu, dan lain-lain) menjadi obyek-obyek krisis keberadaan yaki.

Karya Natasha Tontey dalam pameran bertajuk “Primate Visions: Macaque Macabre” di Museum Macan di Jakarta. Dok. Pribadi

Barang-barang pabrikan itu cemantel dan bertimbun menjadi “the state of the art” seperti tampak pada jubah lemak (Set Number 3-Cellular Being), perangkat “laboratorium” (Set Number 4: Imago’s Working Desk), dan “desain” kostum atau kerangkeng yaki yang terkesan antik, magis, tapi futuristik. Obyek seperti sofa (Set Number 7-Yaki Armchair), dingklik plastik, atau timbunan lemak adalah set untuk filmnya. Tapi beberapa karya lain diubah-ubah dengan improvisasi di ruang pameran, misalnya Set Number 5-Xenomorphia. Semua karya itu bikinan tahun 2024.

Lalu sebuah karya video berjudul Epilogue: Conversation with the Veteran of Battalion Jin Kasuang (21 menit 22 detik, 2024) menampilkan sepasang yaki yang mewawancarai seorang tokoh veteran perang Minahasa dalam gerakan Perjuangan Rakyat Semesta atau Permesta (1957-1961). Simpati yaki yang mendalam pada situasi buruk peperangan ditampilkan dengan gaya wawancara yang kocak: menghadapkan pantat merah muda ke muka kita. Adegan ini seakan-akan menggambarkan dilema sesungguhnya yang dirasakan Natasha Tontey: di dunia internasional yaki atau makaka dianggap spesies yang terancam punah (macabre), tapi di lingkungan terdekatnya dipandang sebagai hama.

Primatologi, dalam tafsir jenaka Natasha, menjadi ruang penjelajahan yang sarat penyimpangan, pintar, janggal, kocak, liar, dan memancing imaji. Seni rupa Natasha dalam pameran ini adalah obyek sehari-hari yang disulap menjadi serangkaian properti untuk pembuatan film (pakaian yaki, kerangkeng, jubah lemak, bulu, “peralatan” laboratorium, kamera endoskopi, topi, busana, ekor yaki, dan macam-macam aksesori lain). Keliaran dan kejenakaan yang bertolak dari gagasan dunia primata tidak pernah disentuh di jagat seni rupa kita. Karena itulah Tempo melihat pameran Natasha Tontey cukup memberi warna dan terobosan pada 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hendro Wiyanto

Hendro Wiyanto

Penulis seri rupa

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus