Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Tren baru seni rupa kontemporer membuka ruang untuk mencatat ingatan dan suara dari orang-orang biasa.
Praktik seni kriya sekarang menjadi medium resistansi yang populer.
Perlu sebuah ruang publik yang juga bisa berfungsi membangun arah pasar seni yang lebih sehat.
BAGAIMANA membayangkan rute jalan seni rupa kontemporer memasuki 2025 ini? Akhir 2024 dan awal 2025 sudah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan di tingkat global. Namun perubahan itu masih berskala lebih kecil di Indonesia. Artinya, masyarakat seni Indonesia tidak selalu menyerap tren-tren global atau membutuhkan waktu yang lama dalam mengadopsi perubahan, baik dalam bentuk dan praktik artistik maupun ideologinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cukup panjang untuk mengulas alasan buat perubahan yang berjalan cukup lambat ini. Tapi tentu saja hal tersebut masih berkait dengan struktur sosial masyarakat dan perkara birokrasi institusi yang tampak berjarak dari praktik kesenian sehari-hari masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Titik penting dalam lini masa pergeseran fenomena seni rupa adalah bencana pandemi dan gerakan Black Lives Matter yang kemudian diperluas sebagai momentum dekolonisasi. Dengan advokasi yang luas melalui Internet, gerakan dekolonisasi setidaknya membuka sumbatan birokrasi dari berbagai institusi seni baik pemerintah maupun yang dikelola masyarakat/privat. Sementara sebelumnya semua institusi ini beroperasi dari sistem yang sangat berbasis perspektif kulit putih dan patriark, gerakan Black Lives Matter berhasil mendobrak dan membuka peluang perubahan dalam institusi tersebut, meskipun dalam tahap yang masih permukaan.
Posisi kuratorial serta program pameran dan komisi penting secara signifikan melibatkan para seniman atau kurator kulit hitam dan kulit berwarna, dengan penekanan terhadap perempuan dan gender nonbiner lain sebagai kelompok prioritas. Institusi yang dianggap berpengaruh, misalnya MoMA dan Guggenheim, mulai membuka ruang besar bagi kurator seperti Naomi Beckwith yang berkulit hitam (yang pada 2027 akan menjadi Direktur Artistik Documenta), meskipun sistem lain masih harus dibuka dan didekonstruksi. Wacana dekolonisasi juga memunculkan gerakan penting dari kelompok orang Indian Amerika, misalnya dengan kemunculan figur seperti Candice Hopkins dan seniman Jeffrey Gibson.
Perubahan ini kemudian juga berdampak pada wacana dan bentuk karya yang diusung dalam pameran-pameran seni kontemporer. Ketika ruangrupa menjadi Direktur Artistik Documenta Fifteen 2022, kita melihat bagaimana seni-seni berbasis aktivisme menjadi sesuatu yang dimunculkan dalam wacana seni arus utama. Sydney Biennale dan Venice Biennale 2024 menunjukkan kecenderungan yang tampak serupa: pentingnya memberi ruang pada praktik-praktik kesenian masyarakat indigenous dan terpinggir, termasuk meningkatnya partisipasi seniman Global Selatan.
Di awal 2025 ini, kerja saya bersama teman-teman dalam Sharjah Biennale 16 “to carry” membawa kecenderungan yang berada dalam jalur serupa: suara seniman perempuan dan gender nonbiner, seniman dari kelompok indigenous dan first nation, seniman yang bekerja dengan komunitas, serta seniman yang berada dalam wilayah konflik. Seni dalam ruang seperti biennale dan platform sejenisnya menjadi manifestasi situasi sosial hari ini; membuka ruang untuk mencatat ingatan dan suara dari orang-orang biasa dan membawa mereka sebagai subyek utama proses penulisan ulang sejarah.
Secara bentuk, pendekatan kuratorial seperti ini memberi peluang bagi medium seperti tekstil, arsip, buku, dan penerbitan untuk menjadi bahasa visual yang setara dengan lukisan, patung, atau video. Bahkan banyak sekali prediksi yang mengatakan bahwa tekstil akan menjadi medium seni yang paling populer tiga-lima tahun mendatang. Praktik menenun, menjahit, dan menyulam, yang dalam arus sejarah seni beberapa dekade lalu dilihat sebagai aktivitas domestik atau hasilnya lebih dikategorikan sebagai kriya, sekarang menjadi medium resistansi yang populer.
Dalam konteks Indonesia, wacana tentang seni kelompok terpinggir dan kelompok masyarakat dari wilayah nonpusat tampaknya masih butuh perjuangan besar untuk bisa dianggap ada dan setara. Minimnya institusi publik yang terbuka (dengan cara kerja kuratorial yang transparan dan terkait langsung dengan dinamika sehari-hari) membuat isu ini tidak diperjuangkan dalam wilayah garda depan.
Pelukis Yos Suprapto saat menurunkan karya lukisannya yang batal dipamerkan di Galeri Nasional, Jakarta, Senin 23 Desember 2024. Tempo/Subekti
Perubahan birokrasi dalam Museum Nasional, yang tampaknya memberi angin segar, sejauh ini masih berlandaskan pendekatan populis dan pameran-pameran artefak yang dipajang seperti standar museum luar negeri—tampaknya visinya begitu—sehingga terasa berjarak dengan realitas, ketimbang menyejajarkan dengan praktik kontemporer. Tapi perubahan ini patut diapresiasi ketimbang situasi lama yang seperti hidup segan mati tak mau.
Pameran-pameran di ruang privat seperti galeri komersial tentu saja berat membawa wacana-wacana seniman pinggiran semacam ini. Kecenderungan untuk terus melihat lukisan sebagai medium paling mapan, yang belum bisa didekonstruksi, menjadikan wacana dan arah artistik seni rupa kita terasa “gitu-gitu aja”. Memang akan ada pula kecenderungan seni yang menjadi ruang protes dan proses politik bakal muncul sebagai tren baru, terutama mengikuti kontroversi pembredelan pameran Yos Suprapto dan gelagat pemerintahan baru yang membekukan demokrasi.
***
DALAM dua dekade terakhir, seni rupa kontemporer didefinisikan tidak hanya berdasarkan wacana dan arah estetika, tapi juga dengan narasi dominan tentang ekonomi atau pasar. Keberhasilan perdagangan seni sebagai obyek komoditas dianggap sebagai tolok ukur bagaimana seni bisa tumbuh sebagai industri kreatif. Pasar ekonomi global ditandai oleh riuh rendahnya bursa-bursa seni mengikuti jejak Art Basel di Swiss; termasuk jenama lokal Asia seperti Taipei Dangdai, SEA Focus, dan Frieze Asia, yang membuka peluang bertemunya pasar seni Barat dengan seni Asia.
Di Indonesia, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan galeri baru yang dikelola pebisnis muda dengan merangkul kolektor muda membuat dinamika pasar terasa bergerak. Dalam hal ini, Indonesia lebih unggul ketimbang negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Padahal prediksi global justru menunjukkan adanya penurunan perputaran uang dalam market seni rupa. Artinya, sebagai wahana transaksi ekonomi, bisa jadi seni rupa Indonesia telah membangun sistemnya sendiri yang menggunakan kapitalisme sebagai cara beroperasi yang utama atau bahkan nyaris satu-satunya.
Di tengah gejolak inflasi global dan resesi ekonomi akibat berbagai perang, peningkatan jumlah galeri dan kolektor baru tampaknya menjadi angin segar terjaminnya sektor kehidupan seniman. Jika memang pasar sedang lungkrah, bukankah ini waktu yang tepat untuk bisa membentuk selera baru yang berpihak pada kondisi sosial hari ini? Apakah kita bisa melangkah lebih jauh ketimbang melihat pameran sebagai ruang tamu dengan dekorasi gambar indah atau lucu? Apakah pasar seni kita juga siap menjadi bagian dari pergerakan sipil dan perubahan sosial? Apakah gagasan semacam ini terasa terlalu utopis?
Kenyataan bahwa dalam lima tahun belakangan semenjak 2019 ada peningkatan dukungan pemerintah bagi pemajuan kebudayaan—termasuk dalam aspek pendidikan, penciptaan, apresiasi, dan pendokumentasian pengetahuan seni dan budaya—menjadi elemen penting yang menggerakkan sektor yang dianggap kurang seksi bagi kaum kapitalis ini. Artinya, ada dua kutub besar yang bekerja: seni yang terkait dengan pasar bebas dan seni yang masih berupaya menjadi wahana sosial atau penciptaan pengetahuan. Tentu ini merupakan fenomena normal di seluruh dunia. Tapi bukannya kita juga perlu memberi peluang pada jalan tengah?
Saya percaya bahwa jalan tengah dalam konteks praksis seni bukanlah kompromi. Jalan ini adalah bagian dari upaya membawa seni yang dekat dengan keseharian warga, yang menjadi manifestasi dari pengetahuan orang biasa, bisa punya peluang ekonominya sendiri. Tampaknya kita perlu memperjuangkan sebuah ruang (publik) yang dikerjakan dengan proses kuratorial dan edukasi yang terakses yang juga bisa berfungsi membangun arah pasar seni yang lebih sehat dan bermartabat. Artinya, ruang seperti ini juga memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mendorong pemikiran kritis, bukan membungkamnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo