PULUHAN pakar dukun dari berbagai daerah datang menyerbu Jakarta, dan berkumpul di Manggala Wanabhakti -- tidak persis di gedung itu tapi di sekitarnya. Mereka adalah petinggi dukun di daerahnya. Ada dari Tangerang, Sukabumi, Cianjur, Banten, Serang. Itu kontingen dukun Jawa Barat. Yang dari Jawa Tengah, sepanjang yang terdengar baru datang dukun dari Bumiayu. Jawa Timur diwakili dukun asal Pacitan. Entahlah kalau satu sama lain saling kontak -- maklum, dukun. Yang jelas, Senin pekan lalu itu mereka sudah berkumpul di dekat Gedung Manggala Wanabhakti. Adakah mereka mengadakan kongres? Bukan. Sekitar 30 dukun ini mau memperebutkan rezeki Rp 2 juta, untuk pekerjaan menumbangkan kedua lontar yang tumbuh di lingkungan proyek jalan tembus Pejompongan-Lapangan Tembak itu. Mereka yakin, bisa memotong pohon itu, walau mereka tak tahu jika pohon ini punya nama Latin yang rada mirip mantra: Borrasus sundaica, Becc. atau Borrasus flabellifera, Lin. Singkat kata, sepasang lontar itu ada "penghuninya" dan mereka adalah pasangan suami-istri. Begitu cerita yang beredar. Dan berita ini tak bisa dibuat singkat. Dari mana para dukun mendapat informasi imbalan Rp 2 juta untuk memotong Sang Lontar, tak jelas perkaranya. Informasi nonformal begini, yang kemudian dibantah secara formal, memang khas Indonesia. Mungkin rentetan peristiwa ini bisa jadi sebab. Adalah seorang pekerja asing warga negara Korea Selatan, namanya Yoon. Sabtu dua pekan lalu, Yoon mau menebang pohon jenis palem ini. Gigi gergaji listriknya mendadak rompal. Dicoba berkali-kali, tetap gigi gergaji itu tak mempan. Buntutnya, mesin gergajinya malah macet. "Dia sampai terpental empat kali," tutur seorang penduduk yang menyaksikan kejadian itu. Kegagalan Yoon dikaitkan dengan peristiwa lain. Beberapa waktu sebelumnya upaya untuk merobohkan pohon itu dicoba dengan buldoser. Gagal. Kabarnya, mesin kendaraan berat itu selalu mati setiap kali mendekati kedua pohon tersebut. Jalur berita pun berkembang ke arah mistik. Sebagian orang yakin bahwa pohon itu "berisi". "Seharusnya, sebelum memotong, minta izin dulu sama penunggunya," ujar seorang penduduk sekitar sana. Menurut sumber yang enggan disebutkan namanya ini, ada 41 nama yang menjadi penghuni tetap di pohon itu. Salah satu di antaranya bernama Eyang Raden Sri Ningrat Ratu Agung. Berbau kejawen. Nama lebih modern: Mak Item. Ada satu versi kisah. Lokasi jembatan layang Pejompongan itu dulunya adalah kuburan. Kuburan ini kena proyek pembangunan sekitar tahun 1960, lalu digusur. Nah, tak semua jenazah dipindah. Masih ada dua makam yang diuruk begitu saja. Itu jenazah pengantin baru, yang meninggal secara mendadak. Dari "mantan makam" itulah tumbuh lontar. Kisah itu dibantah oleh Biyono, yang sejak tahun 1950 tinggal di Pejompongan. Kata dia, pohon itu sudah ada sebelum dia lahir. Umurnya sudah ratusan tahun. "Kalau kita mau, asal syarat-syaratnya terpenuhi, kita bisa memperoleh jimat-jimat dari situ," katanya. Sampai akhir pekan lalu, pohon itu tetap tegak. Bahkan ada penjelasan resmi, lontar itu tak mengganggu proyek. "Memang tidak ada rencana untuk menebang pohon itu," kata Samuel Sibarani, pengawas teknik pembangunan jalan bebas hambatan Cawang-Grogol. Lha, kalau begitu, bagaimana dengan kisah buldoser dan orang Korea itu. Penjelasan ini membuat orang makin penasaran. Apalagi ada ditempel pengumuman di pohon itu. Celakanya, orang makin yakin pohon ini ada "penunggunya". "Karena tak mampu saja, bikin alasan tak ada rencana menebang," kata orang. Terjadilah itu. Setiap hari, terutama menjelang sore, ratusan orang kota, yang sesungguhnya banyak hiburan, menghibur diri di sana. Ini menguntungkan mereka yang bergerak di sektor informal, misalnya pedagang makanan, minuman, bahkan ada penjual jasa yang siap mengabadikan Anda di depan pohon itu. Tukang potret keliling. Seorang ibu tua menyeruak kerumunan dan meraba pohon itu pada bekas gergajian Yoon. Lalu diikuti seorang ibu hamil. Mereka kemudian tersenyum, dan no comment. Menyusul seorang lelaki tua berkopiah memeluk pohon itu. Ia mau dikutip: "Benar ada penghuninya. Dia kuat sekali." Rabu pekan lalu, seorang pemuda yang tak jelas asal-usulnya memanjat pohon lontar itu. Di atas pohon ia berteriak-teriak, tak jelas ucapannya. Tapi karena tak keruan itu, malah menarik perhatian orang. Ada yang menunggu, kalau-kalau pemuda itu "berkenan" menyebut nomor KSOB. Pohon lontar, pemuda, dan KSOB bisa jadi tak ada benang merah. Namun, lihatlah akibatnya, jalanan macet. Mobil dan motor pada berhenti. Polisi akhirnya datang. Petugas itu bukan melihat lontar -- dalam arti terkagum-kagum -- mereka meminta dengan sangat agar kerumunan bubar. Pak polisi inilah yang membujuk agar pemuda misterius itu turun dari pohon. Belum ada dalam sejarah sebuah pohon di tengah kota metropolitan menjadi begitu berarti. Puluhan pohon sudah ditebang, nbuan orang bungkam. Tapl dua lontar mi menyebabkan Tripika (Tri Pimpinan Kecamatan -- Camat, Kapolsek, Koramil) Tanang Abang mengundang pihak Bina Marga untuk berembuk. Ada usul agar pohon itu dimusnahkan saja, agar tak bikin masalah. Ditebang malam hari agar tak mengundang perhatian masyarakat. Masalah "penunggu" dikesampingkan. Tapi ada usul pohon itu dibiarkan saja dan di sekitarnya dijadikan taman. Jika proyek jalan itu selesai, pemandangan lebih asri, bagai pot di sela beton-beton. Bahwa sekarang orang berjubel, itu "mode". Belum jelas bagaimana nasib lontar yang daunnya bagi masyarakat Bali memang dianggap suci: karena di situlah sejumlah ajaran menyangkut kebenaran ditulis para tetua. Mungkin baik ditanya para ahli lingkungan, tata kota, pertamanan, fisiologi tumbuhan, dan ahli gergaji. Diadakan seminar dulu, misalnya. He ... he ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini