HIDUP Richard Martin Long, 35 tahun, ini selalu ditandai dengan kerja. Ketika kanak-kanak ia bekerja sebagai petani, di sebuah dusun di Maryland, Amerika Serikat. Berangkat dewasa, ia membelok menuju seni lukis. "Masa remaja saya isinya menggambar melulu," tuturnya. Tapi sambil menggambar ia mencoba meminati pekerjaan lain. Itu diwujudkan dalam pilihan sekolahnya. Awal 1970-an, ia memilih fakultas ilmu jiwa. Pada 1976, Long memperoleh gelar sarjana dan menjadi penasihat bidang kejiwaan di rumah sakit jiwa Baltimore, ia lepas dari seni lukis. Tapi pengalaman itu kemudian justru melahirkan lukisan-lukisan Long yang khas, dengan pendaran jiwa seni yang agak aneh. Kelahiran ciptaan-ciptaannya itu membuat ia terkagum-kagum sendiri. Sampai-sampai dalam pikirannya mencuat niat: biar bagaimanapun, seni lukis harus menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Visi seni visual Long bertambah kaya oleh pengembaraan ke seantero dunia. Ia mengunjungi Maroko, Karibia, Kepulauan Cook Tahiti, Fiji, Hawaii, Samoa, dan beberapa negeri eksotik lainnya. Semua untuk seni lukis. Di tengah perjalanan itu, ia terus menghasilkan karya. Sampai akhirnya, Long terdampar di Bali, dan mengambil "gubuk" di Padang Tegal, Ubud, sebagai lokasi kreasi. "Bali sudah menjerat saya," ujarnya. Di Bali, Long memang kerasan. Di sini ia merasa sangat produktif, bahkan bisa lebih kreatif. Awal Agustus ini, karya-karya yang dibuatnya sejak sekitar dua tahun lampau itu dipamerkan di gedung Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Amerika, Jakarta. Sekitar 100 karyanya, yang digarap pada 1987 dan 1988, menjadi tontonan yang memikat disimak. Panorama indah alam Bali dan secuil kebudayaan Bali yang eksotik menjadi subyek yang dimanifestasikan unik di kanvas-kanvas Long. Meski yang tampak dalam ruang pergelaran bukan ketunggalan gaya lukis Long, toh semuanya tersatukan oleh sebuah tekanan ekspresinya yang kental dan mendalam. Long, di luar kesadarannya, menjelmakan tiga gaya bentuk Pertama, yang tergubah dalam manifestasi realistik. Kedua, Impresionistik. Ketiga, berwujud dalam seni lukis abstrak. Proses perpindahan perlahan-lahan ini akhirnya disadari sebagai perjalanan kreatif yang wajar dan menghenyakkan. Upaya pengenalan Long pada alam Bali yang mengagetkannya ditandai dengan karya-karya yang masih jelas kasat mata. Lukisan realistiknya ini dicipta lewat pulasan warna penuh nuansa. Segala anasir artistik itu ia tumbuhkan secara berani, spontan bahkan naif, di kanvasnya. Untuk itu, simak lukisannya yang tiba-tiba terasa mistik, Gulang Blan, dalam pijaran warna hijau kehitaman. Setelah alam lingkungan terespon baik, teradaptasi, bahkan terkuasai, ia pun mengolahnya dalam ekspresi yang "lebih". Lukisan-lukisan yang berasap impresionistk pun muncul. Karya-karya ini tampak didominasi garisgaris tebal yang ekspresif beraun membentuk sosok, dengan warna-warna yang lebih cerah, bahkan primer. Ini ditandai dengan lukisan Pitra Yadnya, yang bicara soal pengabenan, dan Penari Legong, yang semakin mengukuhkan greget naif getaran tangan Long. Setelah itu, ia berangkat ke daerah pengembaraan yang lebih leluasa. Bentuk abstrak yang dirancang dari wujud nyata, hadir. Yang awal ialah pemunculan pohon-pohon kelapa dalam susunan garis-garis yang nyaris geometrik, dengan imbuhan noktah-noktah warna yang tersusun rapi. Di sini kanvas-kanvas Long terasa sangat dekoratif. Catat lukisan-lukisannya yang berjudul Pohon Kelapa. Hal yang sama semakin terlihat ketika ia menawarkan empat lukisannya terbaru, seri Pohon Abstrak. Kesukacitaan, yang tampil lewat komposisi garis dan warna, menjadi isi pokok kanvas-kanvasnya. Walaupun pada bidang-bidang lukis itu kuat terimpresi pohon bambu yang jadi obyeknya. Citra "suasana hati" menjadi inti kualitas karya-karyanya yang gres itu. Lukisan-lukisan inilah yang konon menggetarkan seniman-seniman Bali. Perubahan yang terjadi secara transitif, yang ditandai dengan perjalanan bentuknya dari realistik sampai menuju ke penderan abstraksi, menggugah perasaan kreatif sejumlah pelukis Bali. Setelah mereka itu merasakan genggaman pola tradisonal, yang tak hendak dikutati. Tapi karya-karya Long memberikan alternatif. Tak sedikit dari mereka yang lalu mengharap Long mengalirkan gaya dan gagasannya ke kanvas-kanvas Balinya. Ini bisa melanjutkan upaya Rudolf Bonnet dan Walter Spies, lebih dari 50 tahun lalu, ketika memasukkan pengaruh pikiran Barat pada taferil seni tradisional Bali. Hal itu juga mengingatkan kita kepada progresivitas Arie Smit yang mendidik seniman-seniman muda Bali dalam "aliran pop" yang disebut Young Artist, tahun 1961. Tapi Long ternyata agak keder. "Saya suka menyendiri. Bekerja bersama orang lain saja sulit, apalagi mengajar," katanya. Namun, tanggapan masyarakat sekitarnya lain. Long, yang akan gelar di Solo, kemudian Hong Kong dan negara Asia lain, dianggap ramah, supel, dan menyenangkan. Bahkan meski baru sekitar dua tahun di sana, ia telah menguasai bahasa Bali halus. Karena itu, ia lalu ditabalkan jadi orang Bali, dengan nama Made Darsana. "Tapi nama Made Darsana hanya akan saya pakai kalau saya di Amerika. Di Indonesia, saya tetap Richard Martin Long," katanya. A.D.T.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini