Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deretan sepeda itu tak hanya tampak mencolok karena warnanya yang ngejreng. Secara dimensi dan bentuk, kelima sepeda itu juga terlihat berbeda dengan kereta angin kebanyakan. Semuanya punya panjang yang tak normal, satu setengah sampai dua kali lipat sepeda biasa. Roda depannya lebih kecil dibanding roda belakang. Ada yang dipasangi peti kayu di bagian tengahnya, kotak aluminium, atau dek kosong seperti pada mobil pick-up. Inilah sepeda kargo atau sepeda multiguna yang belakangan ngetren di kalangan pehobi bersepeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepeda-sepeda ini punya bentuk yang berlainan satu sama lain, karena punya fungsi berbeda-beda pula. Sepeda berkelir jingga menyala dengan peti kayu di depannya, misalnya. Ini bukan alat gowes biasa, melainkan sebuah perpustakaan berjalan. Ketika tutup peti dibuka, terdapat dua ambalan kayu yang bisa dijadikan rak. Bagian peti yang cukup lega itu juga dijejali aneka bacaan, dari majalah, komik, sampai buku-buku tebal. Sepeda ini adalah maskot dari taman bacaan masyarakat bernama Kampung Buku, yang berlokasi di Cibubur, Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggagas Kampung Buku, Edi Dimyati, 42 tahun, awalnya tak punya rencana memiliki sebuah sepeda untuk dijadikan perpustakaan. Pertemuan Edi dengan sepeda ini terjadi ketika ia hendak menghadiri peringatan Hari Aksara Internasional di Kuningan, Jawa Barat, September 2017. Salah satu rekan Edi, Ana Mulyana, kebetulan punya hobi bersepeda dan mengajak Edi mendatangi acara itu dengan cara gowes. Sebelum berangkat, Ana mendatangi bengkel las salah satu rekannya, Badrul Alam, di daerah Tangerang Selatan. Rupanya, saat itu Badrul Alam baru selesai membuat sepeda kargo. “Waktu itu Alam--panggilan Badrul Alam—meminjamkan sepeda kargo itu untuk mengangkut buku-buku yang mau kami bawa ke Kuningan,” ujar Ana kepada Tempo, Senin lalu.
Mereka pun berangkat dengan tiga sepeda biasa plus sepeda kargo yang belakangan diberi nama “Kabaca”. Kata Kabaca, kata Edi, adalah singkatan dari “Kampung Baca”, “Kargo Baca”, dan juga berarti “terbaca” dalam bahasa Sunda. Selama 11 hari, Ana, Edi, dan rekan-rekan mereka gowes dengan jarak total 500 kilometer. Dari Jakarta menuju Kuningan lewat jalur Pantura Jawa Barat, dan pulang kembali ke Jakarta lewat jalur selatan. Di sepanjang perjalanan, mereka berhenti di titik keramaian dan sekolah-sekolah untuk menggelar buku bacaan. “Karena bentuknya unik dan menarik, banyak anak dan orang dewasa tertarik mendatangi kami, mereka pun akhirnya ikut membaca buku.”
Setelah melakukan perjalanan epik tersebut, sepeda kargo buatan Alam itu dibeli oleh Edi dan difungsikan menjadi perpustakaan keliling. Sebelum pandemi Covid-19, baik Edi maupun Ana kerap membawa sepeda ini berkeliling ke kampung-kampung di Jabodetabek, “mangkal” di taman-taman kota setiap akhir pekan atau di masjid-masjid setiap hari Jumat. “Ini upaya kami untuk menularkan minat baca kepada banyak orang, dan dilakukan dengan cara ramah lingkungan,” kata Edi.
Lain lagi Arip Maulana. Pemilik sepeda kargo itu memfungsikan tunggangannya untuk berjualan kopi. Arip sebetulnya memiliki kedai kopi bernama “Ngopi Di Gejogan”, yang berlokasi di Rempoa, Tangerang Selatan. Tapi karena ia juga punya hobi bersepeda, Arip ingin memiliki sepeda multifungsi untuk membawa peralatan kopinya. “Karena selain jualan, saya juga sering bikin acara nyeduh kopi gratisan.” Arip pun memesan sepeda kargo mirip sepeda perpustakaan Kabaca kepada Badrul Alam, dan selesai pada 2018.
Bentuk sepeda kopi milik Arip mirip sepeda Kabaca. Tapi bagian petinya dibuat lebih panjang dan menggunakan kayu mahoni dan pelat aluminium. Di dalam peti itu Arip biasa membawa biji kopi yang disimpan dalam sejumlah stoples kaca, alat penggiling kopi, kompor dan panci untuk menjerang air, teko, serta aneka alat seduh kopi manual. “Paling jauh sepeda ini sudah sampai ke Puncak, Bogor, dan Bandung,” kata Arip.
Tapi, secara rutin, ia biasa menggowes sepedanya itu ke tempat-tempat pesepeda kerap mengadakan acara kopi darat, seperti Terowongan Kendal di Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Sebelum pandemi, setiap Kamis malam ia juga kerap nongkrong bersama komunitas sepeda mini di daerah Situ Gintung, Tangerang Selatan, Banten.
Uniknya, berkat sepeda kopinya itu, Arip sering ditanggap orang untuk mengisi acara hajatan pernikahan hingga tahlilan orang meninggal. “Kalau lagi acara begitu, bisa habis 2 kilo biji kopi.”
Bersama sepeda kopinya, Arip juga pernah mengalami kejadian lucu. Suatu ketika ia diundang oleh komunitas Bike2Work untuk mengisi acara gowes bareng yang diinisiasi bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dalam acara itu, sepeda Arip langsung menjadi pusat perhatian, apalagi ia membagi-bagikan kopi gratis buat peserta. “Tapi, karena disangka berjualan, saya sempat akan diusir oleh petugas Polisi Pamong Praja, padahal sudah ada izin dari gubernur langsung,” seloroh pria 46 tahun itu.
Sepeda untuk aneka keperluan seperti milik Edi dan Arip belakangan makin banyak diminati, namun belum diproduksi secara massal di Tanah Air. Jika ingin mempunyai sepeda kargo, seseorang harus memesan dari negara lain dengan harga dan ongkos kirim yang mahal. “Bisa kena puluhan juta,” kata Asep Kamaludin, pegiat sepeda yang juga pemilik sepeda kargo. Jalan keluarnya, ya, dengan memesan lewat builder atau pembuat yang biasa memproduksi aksesori sepeda. Pria berusia 50 tahun ini adalah salah satu pemilik sepeda kargo yang juga memesan sepedanya ke Badrul Alam.
Sepeda kargo milik Asep punya bentuk yang unik. Dek atau bagian bak untuk mengangkut barangnya berada di atas roda depan. Ukurannya cukup panjang dan lebar untuk memuat empat-lima peti kayu seukuran krat minuman. Desain ini ia tiru dari sepeda kargo buatan produsen sepeda kargo Omnium asal Denmark. “Tidak meniru 100 persen, hanya diambil sebagiannya.” Dibanding sepeda kargo dengan dek rendah dan peti kayu seperti milik Edi atau Arip, sepeda Asep ini lebih mudah dikendarai bahkan oleh pemula. “Karena sistem pengendalian rodanya lebih dekat dengan setang, jadi tidak kagok.”
Asep memesan sepeda custom ini untuk keperluan usahanya. Kebetulan Asep adalah pengusaha tanaman hias dan produsen madu merek Zidane. “Sepeda ini saya pakai buat mengantar pesanan tanaman dan madu ke konsumen,” ujarnya. Sejauh yang pernah ia coba, kata Asep, sepedanya bisa mengangkut barang dengan bobot hingga 50 kilogram. “Tetap stabil, tidak berat, dan enak untuk bermanuver di jalanan sempit atau ketika macet.”
Alasan ini membuat Asep memilih memesan sepeda custom ketimbang membeli sepeda motor. Padahal, untuk membangun sepeda ini, Asep keluar uang hingga Rp 15 jutaan, sama dengan harga sepeda motor bebek keluaran baru.
Biaya pembuatan sepeda kargo yang lumayan mahal itu, menurut sang builder, Badrul Alam, sebetulnya ditentukan oleh komponen yang ingin digunakan pemesan. “Seperti group set (sistem transmisi), rem, dan komponen lainnya, kalau pakai yang premium, ya, lebih mahal.”
Harga juga bergantung pada jenis rangka sepeda yang dijadikan basis sepeda kargonya. Sedangkan untuk biaya pembelian bahan pipa besi dan pembuatannya, Alam mematok harga Rp 3-8 jutaan. Di kalangan pencinta sepeda custom di sekitar Jabodetabek, nama Alam adalah jaminan mutu. Sebelum rutin memproduksi sepeda kargo, Alam dikenal sebagai pembuat aksesori berupa rak untuk sepeda kayuh maupun sepeda motor.
Sepeda kargo yang dipakai Edi, Arip, dan Asep hanyalah sebagian kecil sepeda kargo karya Alam yang terbukti tangguh dipakai jarak jauh dan membawa beban berat. Di luar itu, Alam sudah memproduksi sejumlah sepeda kargo lain dengan bentuk beraneka ragam. Saat Tempo mendatangi bengkel kerjanya di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, ia tengah mengerjakan sebuah sepeda kargo jenis low deck. “Setelah ini, sudah ada antrean lima pemesan lagi,” ujarnya. Menurut dia, semua hasil karyanya itu dibuat berdasarkan improvisasi dan referensi dari Internet. Semua sepeda itu diberi merek “Alam Project”.
Sebetulnya, kata Alam, permintaan untuk membuat sepeda kargo sudah ada sejak tiga tahun lalu, waktu ia baru selesai membuat sepeda yang kini dijadikan perpustakaan keliling Kampung Baca. Tapi waktu itu pria 29 tahun ini belum berani menerima pesanan, karena belum memiliki alat bantu produksi berupa jig. “Jig ini penting dalam proses pengelasan supaya hasilnya presisi,” tuturnya.
Barulah pada 2018 Alam membuat jig untuk produksi rangka sepeda. Meski begitu, ia masih mengkombinasikan penggunaan rangka sepeda bekas untuk dijadikan basis sepeda kargo. “Biasanya saya pakai rangka bekas sepeda gunung, sepeda mini, atau sepeda lipat, untuk bagian belakang sepeda kargonya.”
Tingginya permintaan untuk membuat sepeda kargo juga dirasakan builder sepeda custom Ruly Widyosulistyo. Pemilik bengkel sepeda Pit Stop yang berlokasi di Ciledug, Tangerang, ini mulanya juga hanya rutin memproduksi rak sepeda berbahan besi. Pada 2018, Ruly iseng membuat sepeda kargo karena punya rangka sepeda menganggur di bengkelnya. “Saya potong-potong, lalu bagian depannya dibuatkan rangka model low deck,” kata dia. Rupanya, sepeda hasil “iseng” itu malah ditaksir orang. Sejak saat itu, permintaan sepeda kargo terus berdatangan. Sejauh ini, Ruly sudah memproduksi 7 unit sepeda kargo dengan model low deck.
Uniknya, Ruly tak cuma membuat rangka sepeda kargo. Beberapa kali pemesannya juga meminta dibuatkan gandengan (trailer) untuk sepeda kargonya. Dengan demikian, kapasitas angkut sepedanya pun jadi semakin besar. “Rata-rata orang beli untuk dipakai mengantar barang, berdagang, atau jualan kopi.” Tapi, Ruly menambahkan, ada juga pemesan sepeda kargo yang membeli sekadar untuk iseng memboncengkan anak-anaknya berkeliling kompleks. Pemesan sepeda Ruly berasal dari berbagai daerah. Rabu lalu, ia baru saja mengirim satu unit sepeda kargo plus trailer-nya ke Madiun, Jawa Timur. “Sebelumnya, pernah juga mengirim ke Yogyakarta.”
Untuk harga rangka sepeda buatannya, Ruly rata-rata mematok Rp 4,5 jutaan. Untuk satu unit sepeda, Ruly bisa menghabiskan waktu produksi selama satu setengah bulan. Tapi belakangan pemesanan sepeda kargo di bengkelnya ia hentikan dulu. Soalnya, Ruly kewalahan memenuhi permintaan pesanan rak sepeda yang juga membeludak. Apalagi, kata Ruly, belakangan tren gowes semakin tinggi, sehingga setiap hari ia sibuk menerima servis sepeda di bengkelnya. “Kasihan orang-orang yang sudah pesan rak sejak lama.”
PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo