Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Adu Kuat Lokasi Data

Pemerintah berencana membuka izin penempatan pusat data elektronik di luar negeri.

16 November 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kantor Amazon di Lauwin-Planque, Prancis, Februari 2017.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perdebatan kembali ter-jadi di ruang rapat utama lantai tiga gedung Kementerian Sekretariat Negara, Kamis siang pekan lalu. Rapat harmonisasi revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik ini sebetulnya bukan pertama kali diadakan oleh Sekretariat Negara. Dua pekan lalu, Sekretariat menggelar pertemuan serupa.

Dihadiri sejumlah pejabat Kementerian Komunikasi dan Informatika; Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Badan Siber dan Sandi Negara; Kementerian Koordinator Perekonomian; Bank Indonesia; serta Otoritas Jasa Keuangan, rapat Kamis itu tak berbuah kesepakatan. “Rancangan revisi perlu banyak perbaikan karena masih pro-kontra,” kata Staf Ahli Menteri Bidang Ketahanan Nasional Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Rus Nurhadi kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Ia hadir dalam pertemuan tersebut.

Kementerian Koordinator Politik berulang kali menolak pengesahan rancangan peraturan pemerintah tentang perubahan atas PP 82 dilakukan dalam waktu dekat. Sebab, perubahan itu, menurut Rus, berpotensi mengancam keamanan data elektronik nasional.

Revisi Peraturan Pemerintah tentang Transaksi Elektronik memuat beberapa aturan baru. Kementerian Komunikasi dan Informatika merancang tiga klasifikasi data elektronik, yaitu strategis, berisiko tinggi, dan berisiko rendah. Data strategis adalah data yang ketetapannya disusun berdasarkan persetujuan presiden. Informasi ini tak dapat dikirim, dipertukarkan, atau disalin ke luar negeri. Lokasi penyimpanan atau pusat data strategis wajib berada di Indonesia. Kementerian dan lembaga dapat mengusulkan data yang menyangkut pertahanan dan keamanan negara dalam kategori ini.

Data disebut berisiko tinggi apabila gangguannya hanya mengancam sektor khusus. Penetapannya dilakukan oleh menteri. Dalam Pasal 83 L Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan PP 82 Tahun 2012 disebutkan bahwa pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan data elektronik tinggi dapat dilakukan di wilayah Indonesia dan/atau di luar negeri.

Pasal itulah yang memicu perdebatan. “Selama ada klausul dapat ditaruh di luar negeri, akan sulit menarik kembali saat kita butuh,” kata Rus. Kementerian Koordinator Politik merekomendasikan penundaan revisi hingga Undang-Undang Data Pribadi dan Undang-Undang Keamanan Siber disahkan. Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Rus menambahkan, juga khawatir soal kedaulatan data, terutama jika terjadi gugatan hukum.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menerima kunjungan delegasi Amazon.com di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, September lalu.

Seorang pejabat tinggi bank sentral menduga desakan relaksasi penempatan pusat data elektronik di luar negeri dilatarbelakangi protes operator sistem pembayaran asal Amerika Serikat terkait dengan program Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang diluncurkan Bank Indonesia akhir tahun lalu. Program tersebut mewajibkan semua pengolahan transaksi kartu debit dilakukan di dalam negeri. Dengan demikian, lembaga atau bank asing wajib bekerja sama dengan operator pengalihan dalam negeri. “Mereka keberatan, dari yang tadinya tidak diatur jadi diatur,” tuturnya.

Ditemui seusai salat Jumat pekan lalu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo enggan menjelaskan rekomendasi bank sentral ihwal revisi penempatan data center dan nasib program GPN nantinya. “Dalam kesempatan lain kami jelaskan,” ujarnya.

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan, dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Kementerian Koordinator Perekonomian Mohammad Rudy Salahuddin mengatakan peserta rapat Kamis pekan lalu akhirnya menyepakati usul tambahan dari Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia. “Rekomendasi mereka: klausul ancaman yang mengganggu stabilitas sistem keuangan negara masuk syarat data strategis,” ucapnya.

Dalam rapat tiga jam di Kementerian Koordinator Perekonomian, akhir September lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mendesak agar revisi peraturan transaksi elektronik segera disahkan. Tujuannya adalah perkembangan investasi bidang digital tak terhambat. “Kalau pusat data start-up di Indonesia, tak bisa jalan optimal,” katanya. Dengan teknologi komputasi awan, operator tak harus memiliki pusat data sendiri di Tanah Air. Rudiantara menjamin keamanan data terkait dengan intelijen tetap akan terkunci rapi di dalam negeri.

Direktur Jenderal Aplikasi Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengaku menerima keluhan salah satu operator pembayaran asal Amerika soal mahalnya ongkos pengolahan data keuangan di dalam negeri. “Sekitar US$ 200 juta. Ini kan tidak mungkin,” tutur Semuel, akhir Oktober lalu. Namun ia membantah kabar bahwa revisi aturan penempatan pusat data dilakukan lantaran protes itu. “Rancangan ini sejak 2016.”

Kementerian Komunikasi menilai peraturan lawas tak relevan dengan ekosistem digital. Sebab, aturan yang diluncurkan enam tahun lalu itu tak mengatur sanksi bagi para pelanggar. Pusat penyimpanan data yang tak terkategori pun dianggap tak efisien.

Dalam proses revisi, salah satu pejabat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang membidangi telematika menyebutkan tim Amazon Web Service- (AWS) yang dipimpin Kepala Arsitek Keamanan AWS Asia-Pasifik Myles Hosford datang menemui. Ia menyarankan agar Kementerian Koordinator Politik mendukung revisi Peraturan Pemerintah Nomor 82. “Kami bilang tidak bisa, karena yang terpenting bagi kami adalah otoritas pemegang terakhir data,” katanya.

Pertemuan itu berlangsung pada 13 Maret 2018. Pada hari yang sama, tim AWS bertemu dengan Presiden Joko Widodo dalam rangkaian kunjungan perwakilan Dewan Bisnis Amerika Serikat-ASEAN ke Istana Presiden. AWS berencana menaruh investasi di Indonesia senilai Rp 14 triliun.

Saat dimintai konfirmasi, tim AWS enggan menjelaskan pertemuan dan rencana investasi tersebut. “Kami tidak akan mengomentari rumor atau spekulasi,” tulis Trecia Tan, konsultan komunikasi untuk AWS Asia. Semuel pun mengatakan AWS bertemu dengan Kementerian Komunikasi tidak untuk membahas revisi PP 82. “Lho, justru dia mau investasi, kan?”

Dari perputaran investasi Google, Amazon, Microsoft, dan Alibaba, laporan riset konsultan Jones Lang LaSalle menyebutkan potensi transaksi layanan komputasi awan di Asia-Pasifik mencapai US$ 15 miliar tahun ini. Hasil sigi yang sama menyatakan Indonesia menjadi salah satu lokasi incaran operator.

Dengan potensi itu, Presiden Direktur PT Indonet Djarot Subiantoro mengatakan, sejumlah negara justru berlomba menjadi tujuan penempatan pusat data. “Satu pusat data akan menggerakkan ekonomi secara besar,” ujarnya. Pusat data Google di Singapura, misalnya, mempekerjakan sekitar 5.000 orang.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyebutkan rencana relaksasi penempatan pusat data juga mempengaruhi lobi dagang Indonesia untuk kembali mendapatkan keringanan bea masuk dari Amerika Serikat, yang disebut Generalized System of Preferences. “Kami hanya ada satu soal tentang itu, yakni mengenai data dan perubahan PP 82,” kata Enggar di Kementerian Sekretariat Negara, akhir Oktober lalu.

Maret lalu, tim Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) menyatakan Indonesia memiliki tiga kebijakan yang menghambat perdagangan. Pertama, peraturan lokalisasi pusat data serta kewajiban penyimpanan dan pengolahan data pribadi dan keuangan di dalam negeri. Kedua mengenai kewajiban registrasi bagi perusahaan informasi teknologi asing (over-the-top). Yang terakhir soal penarikan bea masuk untuk perdagangan produk digital.

Enggar mengakui, dalam beberapa kali pertemuan dengan USTR, staf Amerika menyinggung hambatan regulasi. Mereka, kata Enggar, juga membahas program Gerbang Pembayaran Nasional yang menyusahkan operator Amerika. Kepada USTR, Enggar menyatakan amendemen PP Nomor 82 tinggal menunggu pengesahan. “Anda tidak perlu khawatir. You boleh cek konsepnya,” ucapnya. Dia menargetkan kesepakatan lobi dagang dengan Amerika selesai pada akhir Desember mendatang.

PUTRI ADITYOWATI, ANDI IBNU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus