Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPINTAS tak ada yang mencurigakan pada pompa bensin di Jalan Lenteng Agung 44, Jagakarsa, Jakarta Selatan, itu. Mungkin karena baru saja diserbu pembeli, pemiliknya memasang plang bertulisan ”Premium Habis”. Tindakan serupa juga dilakukan oleh pengelola pompa bensin di Jalan Kafi di kawasan yang sama.
Lama-kelamaan, warga setempat heran. Dua stasiun pengisian bahan bakar umum itu selalu kehabisan bensin beberapa hari menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 1 Oktober lalu. Apalagi, mereka melihat mobil tangki pembawa premium setiap hari singgah di dua pompa bensin itu. Keanehan ini sampai ke telinga polisi yang akhirnya mendatangi dua stasiun bahan bakar itu, Jumat pekan lalu. ”Ternyata mereka menimbun bahan bakar,” kata Komisaris Roma Huta Julu, Kepala Polsek Jagakarsa.
Di Lenteng Agung, polisi menemukan premium 14.083 liter di dalam tangki bawah tanah berkapasitas 32 ton. Polisi lalu menetapkan dua tersangka, yaitu pengelolanya, Iwan Ashari, dan Efendi. Begitu juga di Jalan Kafi I, Cipedak. Di SPBU yang sudah tutup sejak Kamis pekan lalu ini, polisi menemukan 25.800 liter premium dan 15.275 liter solar. Pengelolanya, Abdul Rauf dan Juniati Ningsih, dijadikan tersangka.
Itulah upaya mengeruk keuntungan di tengah kesusahan orang menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak. Menyimpan saat harga masih murah, para penimbun berharap bisa menjual dengan harga baru. Praktek semacam ini terjadi menjelang kenaikan harga BBM. Pelakunya bukan hanya kalangan juragan minyak biasa. Seorang wakil rakyat di Jambi juga dituduh menimbun bahan bakar di pangkalan minyak tanah miliknya di Rantau Rasau II, Tanjungjabung Timur. Polisi menyita 26 drum solar pada 13 September lalu. Namun, si politisi belum ditetapkan sebagai tersangka.
”Kami sudah mengirim surat ke gubernur untuk meminta izin memanggil anggota Dewan itu,” kata Ajun Komisaris Besar Yatim Suyatmo, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jambi, kepada Syaipul Bakhori dari Tempo.
Diduga penimbunan BBM juga terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah. Di sini, yang namanya solar, minyak tanah, dan premium sudah menghilang dari pasar sejak Kamis pekan lalu. ”Agen mengurangi pasokan untuk kami sehingga tak mencukupi,” kata Johan, seorang pemilik pangkalan bahan bakar minyak.
Biasanya, dia mendapatkan pasokan 10-15 drum minyak tanah sehari, tapi sejak sepekan lalu hanya memperoleh separuhnya saja. Johan menduga minyak sengaja ditimbun oleh agen besar.
”Mestinya mereka tak boleh melakukan penimbunan. Selama ada stok, mereka harus menjualnya,” kata Mochammad Harun, juru bicara PT Pertamina. Dia merujuk kepada Undang-Undang tentang Minyak dan Gas. Di sini, si penimbun diancam hukuman enam tahun penjara atau denda Rp 60 miliar.
Tergiur oleh keuntungan melimpah, ancaman hukuman itu tak membikin ngeri para penimbun. Buktinya, menjelang kenaikan harga, volume permintaan BBM meningkat tajam. Menurut data Pertamina, konsumsi bahan bakar pada Agustus lalu rata-rata 170 ribu kiloliter per hari. Angka ini mulai melonjak pada pertengahan September menjadi 184 ribu kiloliter, dan meningkat tajam pada Kamis dan Jumat pekan lalu, mencapai 222 ribu kiloliter.
Lonjakan permintaan paling tinggi terjadi pada jenis premium, dari rata-rata 50 ribu kiloliter per hari menjadi 77.300 kiloliter sejak Kamis pekan lalu. Artinya, ada penambahan 27.300 kiloliter. Sedangkan solar dari 65 ribu kiloliter naik menjadi 84.300 kiloliter, dan minyak tanah dari 32 ribu kiloliter menjadi 37.800 kiloliter. ”Dari lonjakan volume ini sudah terlihat indikasi adanya penimbunan,” kata Ari Sumarno, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina.
Keuntungan para penimbun cukup besar. Ambil contoh premium. Mereka mengeruk kelebihan pasokan sebanyak 27.300 kiloliter per hari saat harga pasaran masih Rp 2.400 per liter. Stok ini kemudian dijual setelah harga naik menjadi Rp 4.500. Keuntungannya mencapai Rp 57,3 miliar per hari. Jadi, selama dua hari mereka meraup Rp 114,6 miliar. Ini belum termasuk laba yang diraup dari solar dan minyak tanah.
Menghadapi ulah penimbun, Pertamina berada dalam posisi yang sulit. ”Kalau tak memasok, Pertamina pasti disalahkan,” kata Ari. Sebab, masyarakat akan protes jika kesulitan bahan bakar. ”Sebaliknya, bila digelontorkan terus, konsumsi semakin tak terkendali. Kami jadi serba salah.”
Nurlis E. Meuko, Thomas Hadiwinata, Retno Sulistyowati, dan Ramidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo