Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI ulang tahun Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) harusnya telah lewat dua minggu. Tetapi, Jumat pagi pekan lalu sekitar 200 pinisepuh berpakaian batik berkumpul di Panti Perwira, Balai Sudirman, Jakarta Selatan. Mereka menghadiri acara silaturahmi dengan Presiden dalam rangka ulang tahun organisasi alumni tentara itu yang ke-46.
Awalnya acara berlangsung terbuka. Menjelang Presiden memberi sambutan, tiba-tiba acara dinyatakan tertutup. Wartawan diminta keluar. Entah apa yang dikhawatirkan panitia sehingga takut isi pidato yang dilanjutkan dialog itu tersebar luas. Seusai acara, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal (Purn.) R. Hartono kepada Tempo mengatakan, ”Presiden menyampaikan alasan pemerintah menaikkan harga bahan bakar dan kondisi perekonomian global.” Biasa saja.
Yang bikin seru sebetulnya memang bukan isu pidato Susilo. Banyak yang bertanyatanya mengapa beberapa senior militer yang akhir-akhir ini rajin mengkritik pemerintah tak tampak dalam acara itu. Mereka di antaranya adalah Letjen Kiki Syahnakri (mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat), Letjen Bibit Waluyo (mantan Panglima Kostrad), Jenderal Try Sutrisno (mantan wakil presiden), dan Jenderal Wiranto (mantan Panglima ABRI). Ketua Umum Pepabri, I.G.M. Putra Astaman, mengaku sudah mengundang mereka. ”Kita sudah undang. Mungkin ada kesibukan lain,” katanya.
Kiki Syahnakri kepada Tempo mengaku tidak diundang. ”Kalau diundang, saya pasti datang,” tuturnya. Dia tak tahu mengapa namanya hilang dari daftar. Kiki mengaku tidak pernah berseberangan dengan Presiden. ”Kita hanya mengkritik beberapa kebijakan yang dibuat pemerintah,” ujarnya.
Entah mana yang benar. Yang pasti, para senior yang hari itu absen ternyata merencanakan menggelar acara kumpul-kumpul di Gedung Persada di kawasan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, sehari kemudian. ”Kita akan mengingatkan pemerintah dan tentara agar hati-hati dalam mengambil keputusan,” kata Indra Bambang Utoyo, Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri ABRI (FKPPI), yang mengkoordinasi acara. Termasuk di dalamnya adalah keputusan Presiden menaikkan harga bahan bakar.
Gedung telah dipesan sepekan sebelumnya, undangan juga sudah dikirim. Tiba-tiba Direksi Persada membatalkan pemesanan tempat, Jumat sore lalu. Alasan pembatalan mendadak itu adalah, Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Djoko Soeyanto akan memakainya untuk acara pengarahan kepada penerbang TNI Angkatan Udara menjelang peringatan hari jadi TNI, Rabu pekan ini.
Indra Bambang kelabakan. Ia memindahkan acara ke Gedung Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), persis di depan Gedung Persada. Indra mengaku heran. Pertemuan para purnawirawan yang dirancangnya bukan untuk menentang pemerintah. ”Mereka sudah tua semua, enggak ada yang bisa berbuat apa-apa, hanya moral,” kata Indra.
Anehnya, Kepala Dinas Penerangan TNI-AU Marsekal Pertama Sagom Tamboen mengaku TNI-AU tidak ada rencana memakai Gedung Persada. Yang ada hanya acara briefing rutin kepada penerbang sebelum bertugas. ”Acaranya di pangkalan, bukan di Gedung Persada,” kata Sagom.
Acara di Gedung BKKBN akhirnya digelar dalam bentuk diskusi. Di antara 40 tamu yang datang, tampak Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, Letjen (Purn.) Bibit Waluyo, Marsdya (Purn.) Ian Santoso Perdanakusumah, dan Surjadi Soedirdja. Hadir pula anggota Barisan Nasional, di antaranya Kharis Suhud, Kemal Idris, dan Subroto. Politisi Kwik Kian Gie, Hasyim Wahid, dan Permadi datang sebagai pembicara.
KETEGANGAN antara para jenderal sepuh dan Presiden menyembul pertama kali ketika para senior datang ke gedung DPR RI, tiga pekan lalu. Jenderal (Purn.) Syaiful Sulun bersama 50-an veteran Angkatan 45 meminta anggota Dewan membatalkan perjanjian damai Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Menurut dia, Presiden telah melanggar konstitusi. Syaiful menyatakan kemungkinan akan melakukan impeachment terhadap Presiden—tak jelas bagaimana caranya.
Tekanan lain datang dari para tokoh politik. Para aktivis senior partai politik yang sebelumnya saling bersaing tiba-tiba jalan beriringan. Mereka di antaranya Akbar Tandjung (mantan Ketua Umum Partai Golkar) dan dua mantan presiden—Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. Bergabung pula bekas Panglima TNI Wiranto, dan bekas Wakil Presiden Try Sutrisno. Mantan aktivis Hariman Siregar berperan mengatur acara.
Mereka telah empat kali melakukan pertemuan sejak Juni lalu. Pertemuan terakhir berlangsung di rumah Akbar, Kamis pekan lalu. Tiga pertemuan sebelumnya dilakukan di rumah Try Sutrisno, Wiranto, lalu Abdurrahman. Awal September lalu, para tokoh ini mendeklarasikan Gerakan Nusantara Bangkit. Rencananya, pertemuan akan berlanjut sehabis Lebaran di rumah Megawati.
Para tokoh ini sepakat menolak perundingan Helsinki. Perjanjian itu mereka nilai kebablasan dan berbahaya bagi kesatuan bangsa. Pembicaraan berlanjut ke arah kenaikan harga bahan bakar. ”Kami bicara soal krisis pemimpin dan masa depan bangsa ini,” kata Hariman. Sedangkan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Emir Moeis, menyebut pertemuan itu lebih sebagai reuni. Para undangan lebih banyak bercanda dan bernostalgia. Kalaupun acara dibuat berpindah-pindah, ”Agar bisa saling mencicipi masakan khas masing-masing tuan rumah,” kata Emir.
Menurut sumber Tempo yang ikut dalam rentetan pertemuan itu, para tokoh politik ini juga membahas soal skenario terburuk jika pemerintah gagal mengatasi krisis. Sumber itu tidak mengelak bahwa para tokoh itu masih berharap bisa kembali menjadi pemimpin bangsa. ”Tetapi pembicaraan itu belum terbuka, meski semuanya kepingin (menjadi presiden lagi),” kata sumber itu.
SATU lagi yang harus dihadapi pemerintah adalah aksi jalanan dari mahasiswa. Unjuk rasa yang telah dimulai dua pekan terakhir dipastikan makin besar setelah kenaikan harga bahan bakar minyak diumumkan. Mahasiswa di Makassar memblokir jalan dan membakar ban di ruas jalan utama ibu kota Sulawesi Selatan, beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan harga baru BBM. Esok harinya, angkutan umum di berbagai kota besar di Indonesia memilih mogok dan menaikkan tarif angkutan secara sepihak.
Menanggapi memanasnya situasi, juru bicara presiden, Andi Mallarangeng, menganggapnya persoalan biasa. ”Ini kan demokrasi, Bung! ” katanya. Kenaikan harga bahan bakar merupakan keputusan sulit yang harus dibuat pemerintah. Menurut dia, pemerintah yakin memanasnya suhu politik ini hanya akan berlangsung beberapa hari.
SBY tampaknya percaya diri dengan sokongan yang diberikan DPR, Senin pekan lalu. Dalam voting, sebagian besar anggota Dewan sepakat atas kenaikan harga bahan bakar. Dari 387 anggota yang hadir, hanya 83 suara yang menolak, dan 31 abstain.
Tetapi Wakil Presiden Jusuf Kalla tak ingin membiarkan bola api ini menjadi liar. Saat kunjungannya ke Afrika Selatan, Wakil Presiden mengajak serta belasan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan ketua organisasi kemahasiswaan. Di Hotel Table Bay Cape Town, Afrika Selatan, dia mengatakan bahwa ajakan terhadap mahasiswa dan pemuda ke Afrika Selatan itu bukan upaya meredam aksi unjuk rasa. ”Jadi, kalau sampai di Tanah Air mau terus demo, silakan,” katanya, Rabu pekan lalu.
Tak perlu menanti Ketua BEM pulang. Aksi unjuk rasa mahasiswa Makassar bahkan langsung mengarah ke rumah Jusuf Kalla. Sekitar seribuan mahasiswa berusaha menyegel rumah kediaman Kalla di Makassar. Mereka kecewa dengan cara JK menggandeng para pentolan mahasiswa. Polisi berhasil mencegah aksi, meski sempat terjadi kericuhan.
Pendekatan terhadap kelompok purnawirawan dilakukan Jusuf Kalla dengan bertandang ke rumah Try Sutrisno, Sabtu dua pekan lalu (lihat, Hikayat Dua Wakil). Sedangkan untuk mendekati para mantan tokoh politik, Jusuf Kalla mengundang Hariman Siregar. Undangan bertemu disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan HAM Hamid Awaludin. Hamid mengaku memang pernah makan bersama bekas aktivis Malari itu di sebuah hotel. ”Tapi itu makan biasa saja, tidak ada pembicaraan politik,” katanya. Soal pertemuan Hariman dengan JK, Hamid mengaku tak tahu. Adapun Hariman membenarkan pertemuannya dengan Kalla yang berlangsung Ahad pekan lalu selama satu jam. ”Wapres menjelaskan alasan pemerintah melakukan perjanjian Helsinki dan kenaikan harga BBM,” katanya.
Upaya lobi Wakil Presiden memang belum bisa dilihat hasilnya. Menurut sumber Tempo di Badan Intelijen Negara (BIN), badan intelijen itu sudah memberi masukan kepada Presiden bahwa memanasnya suhu politik hanya berlangsung sesaat. Tetapi saat itu BIN memperkirakan pemerintah hanya akan menaikkan harga bahan bakar di bawah 50 persen. Masalahnya, kini pemerintah mengambil keputusan menaikkan harga BBM hampir dua kali lipat. Api sudah membara. Susilo Bambang dan Jusuf Kalla kini menjadi pemadam kebakaran yang berdiri paling depan.
Agung Rulianto, Widiarsi Agustina, Erwin Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo