Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumat malam pekan lalu menjadi malam istimewa bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Banyak orang ramai menyimak acara televisi untuk menunggu sebuah pengumuman yang bisa jadi akan mempengaruhi perubahan nasibnya: kenaikan harga bahan bakar minyak!
Pengumuman yang semula dijadwalkan pukul 10 malam sempat molor hingga lebih dari dua jam. Lima menit menjelang tanggal 1, baru rombongan para menteri tiba di Departemen Keuangan dari sidang kabinet di Istana Presiden.
Keterlambatan ini menyulut adanya isu pertarungan di sidang kabinet hingga detik-detik terakhir. Pada Jumat pagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang sempat mengisyaratkan bahwa kenaikan harga BBM tak bisa ditawar. ”Apabila tidak kita lakukan penyesuaian atau pengurangan subsidi itu, niscaya bujet kita, kondisi fiskal kita, akan tidak sehat,” ujar Yudhoyono di Cikarang.
Kenaikan harga minyak di pasar internasional telah memusingkan tim ekonomi di kabinet sejak awal tahun. Defisit anggaran BBM diperkirakan akan mencapai Rp 46 triliun, sementara tekor pembiayaan mencapai Rp 23,4 triliun. ”Ekonomi kita bisa tak bergerak,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Sejak rupiah kembali terempas sekitar sebulan lalu, suara untuk menaikkan harga BBM di pemerintah sudah bulat. Yang masih lonjong adalah kapan dan berapa besar kenaikannya. Berbagai skenario, baik tentang besaran maupun waktunya, terlontar dari para petinggi kabinet. Gagasan pertama yang muncul adalah menaikkan harga BBM sekitar 50 persen. ”Itu angka minimal, jadi bisa hingga 100 persen,” ujar Kalla.
Seorang sumber Tempo yang ada di tim ekonomi mengingat lebih dari seratus skenario yang pernah dibuat. ”Karena Presiden meminta agar disiapkan skenario kenaikan harga BBM antara 10 persen dan 100 persen,” ujar sumber Tempo. Dalam tiap opsi tentu dihitung berapa besar dampak kenaikan harga terhadap defisit dan pembiayaan anggaran.
Sedari awal, tim ekonomi mengelus-elus skenario yang menghasilkan defisit di bawah 1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Konsekuensinya, harga BBM harus disetel naik di atas 60 persen. Untuk merampingkan defisit, skenario itu juga harus sesegera mungkin dipentaskan.
Ongkos untuk menggelar skenario tersebut tentu tak murah. Biaya terbesar adalah popularitas pemerintah akan melorot. Lihat saja dalam sepekan terakhir. Unjuk rasa, yang dimotori para mahasiswa, merebak di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
Beberapa menteri yang tak mengurus ekonomi serta orang-orang di lingkar pertama Presiden dikabarkan ragu menanggung ongkos semacam itu. Mereka meminta Presiden menaikkan harga BBM sekecil mungkin. Bahkan, bila mungkin, kenaikan harga BBM ditunda tahun depan.
Kedua gagasan itu terlihat dalam dua opsi perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) tahun 2005 yang diajukan pemerintah ke DPR. Dalam opsi pertama APBN-P, subsidi dibiarkan besar hingga Rp 113,7 triliun dengan defisit 1,7 persen dari PDB. Model kedua adalah menekan subsidi BBM sampai Rp 89,2 triliun, sehingga defisit bisa terpangkas sampai 0,9 persen dari PDB. Saat ini subsidi yang telah terpakai sekitar Rp 80 triliun.
DPR, yang menjadi juri, akhirnya memilih opsi kedua. Hampir tak ada perlawanan yang berarti dari para wakil rakyat terhadap perjuangan pemerintah untuk mengegolkan opsi kedua. Hanya Fraksi PDIP yang tak mendukung opsi kedua disahkan menjadi APBN-P 2005.
Emir Moeis dari Fraksi PDIP menyebut rendahnya realisasi anggaran tahun ini sebagai alasan menolak opsi pembatasan defisit. Hingga September, realisasi anggaran tak sampai 20 persen. Artinya, sampai akhir tahun nanti, realisasi anggaran bisa jadi tak sampai separuh. Dalam hitungan kasar, pengeluaran anggaran selama tiga bulan yang tersisa pada 2005 tak akan melampaui 30 persen.
Itu berarti uang yang masih tersedia di brankas pemerintah masih cukup untuk menomboki subsidi BBM. Pemerintah sendiri berencana menggunakan sisa uang itu sebagai penambah anggaran belanja tambahan tahun 2006.
Menang di partai tandang tak berarti tim ekonomi melenggang. Tawar-menawar tentang besaran kenaikan harga masih alot, seusai rapat paripurna DPR. Bahkan pihak intelijen juga telah mengingatkan ”Kenaikan seharusnya tak lebih dari 50 persen, untuk menghindari gejolak sosial yang berlebihan,” ujar seorang sumber Tempo di intelijen. Kekhawatiran tiu bisa dipahami mengingat pelaksanaan pemberian kompensasi di masyarakat dinilai kurang berjalan dengan mulus
Desas-desus tentang tak satu suaranya para pejabat pemerintah juga dibenarkan oleh sumber Tempo yang ada di tim ekonomi. Tetapi perdebatan itu disebutnya sudah lama usai. ”Kalau Presiden belum yakin, masak rapatnya diagendakan pukul 7 malam,” ujar sumber tersebut.
Rapat yang berlangsung hingga pukul 11 malam lebih itu terpotong satu jam untuk acara makan malam. Sisanya, selama tiga jam, diisi oleh paparan dari tiga menteri koordinator. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan kebagian jatah untuk bicara tentang situasi keamanan menjelang kenaikan harga BBM.
Berikutnya giliran Menteri Koordinator Perekonomian, yang membeberkan beragam opsi kenaikan harga BBM serta konsekuensinya ke anggaran. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat mendapat giliran terakhir untuk bicara tentang persiapan pembagian subsidi tunai langsung.
Terlepas dari ada-tidaknya pertarungan sengit di rapat kabinet, Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang penyesuaian harga BBM jelas mengadopsi apa yang diusulkan oleh tim ekonomi. Kenaikan harga BBM digenjot sebesar ruang yang ”direstui” oleh DPR. ”Besar rata-rata kenaikan, jika dibobotkan dengan konsumsi, adalah 108 persen,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Jika dibandingkan dengan harga terdahulu, bensin premium mencatat persentase kenaikan terkecil, yaitu 87,5 persen. Para pemilik kendaraan bermotor sekarang harus menebus premium seharga Rp 4.500 per liter.
Minyak tanah mengalami kenaikan terbesar, yaitu 185,71 persen. Penentuan harga minyak tanah menjadi Rp 2.000 disebut-sebut yang paling banyak mengundang debat. Di dalam negeri, selain industri, minyak tanah juga dipakai untuk penerangan dan memasak oleh masyarakat berpendapatan rendah. Yang ironis, di luar negeri, harga minyak tanah justru lebih tinggi ketimbang premium.
Harga minyak tanah yang kelewat rendah juga ditakutkan akan membuka celah bagi para pengeduk laba haram. Maklumlah, minyak tanah mudah dijadikan bahan pengoplos, terutama dengan solar. ”Struktur harga yang baik seharusnya harga minyak tanah tak berbeda jauh dengan solar,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro.
Masalahnya, harga minyak tanah yang lama tak sampai separuh harga solar. Harga solar sendiri mengalami kenaikan 104,76 persen menjadi Rp 4.300 per liter.
Usul tim ekonomi untuk menaikkan harga BBM sekaligus pada 1 Oktober juga diadopsi. Tanggal itu dipilih karena pemerintah ingin dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi tak menular ke tahun depan. ”Biasanya dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi hanya bertahan selama tiga bulan,” ujar M. Chatib Basri, staf ahli Menteri Koordinator Perekonomian.
Saat kenaikan harga BBM bulan awal Maret lalu, kenaikan laju inflasi bulanan bahkan bertahan hanya satu bulan. Pada bulan berikutnya, indeks harga konsumen kembali turun. Tahun ini, tim ekonomi memperkirakan dampak kenaikan harga BBM terhadap inflasi akan lebih lama. ”Saya rasa sekitar dua bulan, karena kenaikan harga BBM bertepatan dengan puasa dan Lebaran,” kata Menteri Perdagangan Mari Pangestu.
Dalam kalkulasi para ekonom pemerintah, kenaikan harga BBM 10 persen akan mempercepat laju inflasi 0,3 persen. Artinya, tahun ini laju inflasi akan mendapat tambahan kecepatan sedikitnya 3 persen. Jika angka inflasi yang dimuat dalam APBN-P I 2005 (8 persen) sebagai basis, laju inflasi pada akhir tahun ini dipastikan akan tembus hingga dua digit.
Jika tak diimbangi dengan kenaikan suku bunga, percepatan inflasi itu bisa dipastikan akan menggerogoti nilai tukar rupiah. Andai inflasi berlari hingga dua digit, katakanlah hingga 11 persen, suku bunga SBI mau tak mau harus dikerek di atas 12 persen. Bunga kredit yang disalurkan ke sektor riil bisa jadi harus lebih tinggi dari 15 persen.
Melonjaknya harga BBM yang dibarengi dengan kenaikan suku bunga tentu bukan berita bagus. Di atas kertas, sektor riil berpotensi kembali macet. M.S. Hidayat, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sempat melontarkan kekhawatirannya. ”Industri, terutama yang labor intensive, terancam tutup tiga bulan setelah kenaikan harga BBM.” Buntut yang paling mengerikan adalah membengkaknya angka pengangguran.
Pemerintah memang telah mempersiapkan sejumlah insentif untuk menangkal efek samping dari kenaikan harga BBM. Perpres Nomor 55 diterbitkan berbarengan dengan paket insentif di bidang fiskal, perhubungan, dan perdagangan. Tujuan berbagai insentif itu adalah memangkas biaya siluman yang selama ini ada. Aburizal menyebut kontribusi biaya siluman itu terhadap biaya produksi dua kali lebih besar dibandingkan biaya energi.
Beberapa insentif, seperti percepatan pembatalan perda tentang retribusi yang menghambat dunia usaha ataupun pemberantasan penyelundupan, memang terdengar merdu. Namun janji di atas kertas kadang jauh meleset.
Ambil contoh kebijakan pemberian subsidi tunai langsung. Pemberian uang pengganti kenaikan harga BBM sebesar Rp 300 ribu itu sudah dibayarkan sejak akhir pekan lalu. Namun, saat Wakil Presiden mengunjungi Kelurahan Kali Baru di Tanjung Priok, beberapa warga mengeluh. Mereka merasa layak dikategorikan miskin, namun tak mendapat jatah.
Agenda menyelamatkan anggaran tahun ini telah tuntas pekan lalu. Kini, tugas yang dipikul pemerintah jauh lebih berat. Membuktikan bahwa kenaikan harga BBM itu manjur untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Thomas Hadiwinata, Widiarsi Agustina, A. Manan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo