Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejauh mata memandang, daun-daun di perkebunan kopi Fatubesi tak lagi hijau. Warnanya keputihan akibat dihujani debu jalanan yang bergelombang dan rusak. Jarak antar-tanaman pun tak sampai satu meter. Batang-batang kopi tumbuh tak teratur. "Ini bukan perkebunan kopi, melainkan hutan kopi," kata Alberto Martins Guterres, Wakil Ketua Serikat Petani di Ermera, Timor Leste, menyebut perkebunan kopi di pinggir jalan di Fatubesi, Ermera, Timor Leste, yang kini diurus ala kadarnya oleh para petani setempat.
Padahal perkebunan tersebut pernah menjadi pemasok utama kopi Timor ke pasar dunia. "Ini perkebunan yang dulu dimiliki PT Salazar," ujar Zulmiro da Silva Madeira, pegiat Kdadalak Sulimutuk Institute-lembaga swadaya masyarakat yang aktif mendampingi petani di Timor Leste.
PT Salazar Coffee Plantation merupakan perusahaan yang mengelola perkebunan kopi di Fatubesi dan sekitarnya. Saat Indonesia mulai masuk ke Timor Portugal, bukan hanya tentara yang dikirim besar-besaran. Pengusaha juga mengirim modal. Robby Sumampowlah orang yang diminta Brigadir Jenderal Benny Moerdani, Ketua G-1/Intelijen Hankam, menggalang pengusaha untuk berbisnis di provinsi ke-27 ini, termasuk mendirikan PT Salazar. "Ada perjanjian dengan pemerintah," kata Robby Sumampow.
Perkebunan sekitar 11 ribu hektare yang ditinggalkan perusahaan Portugal, Sociedade Agricola Patria e Trabalho (SAPT), saat perang saudara, kemudian dikelola Salazar. "Mereka (Salazar) perusahaan terbesar. Hasil mereka merupakan 60 persen dari total kopi Timor Timur waktu itu," ujar Mario Viegas Carrascalao, mantan tokoh Uni Demokratik Timor (UDT) yang kemudian menjadi Gubernur Timor Timur periode 1982-1992.
Salazar bukan satu-satunya perusahaan Robby. Bersama adiknya, Hendro Sumampow, serta adik angkatnya, Alex Matindas Sumampow, Robby mendirikan PT Denok Hernandez International, yang menjadi pengelola tunggal perdagangan kopi dari seluruh Timor Timur. "Semua orang dipaksa menjual kopi ke Denok," kata Mario. Kopi Timor Timur kemudian dijual ke Singapura dan uangnya digunakan buat membeli beras serta barang-barang lain untuk kembali dibawa ke Timor Timur.
Aparat keamanan kerap terlibat memperkuat monopoli kopi oleh Denok. Tentara yang berjaga di pos-pos jalan raya lintas kota kerap menyita kopi. "Saya sendiri tidak bisa membawa kopi ke Dili. Harus ada surat dari mereka," ujar Mario, kini 77 tahun, yang keluarganya memiliki sekitar 360 hektare kebun kopi di Liquica. "Tentara menjaga perkebunan supaya tidak kacau," kata petani kopi di Ermera yang dulu bekerja di PT Salazar, Armando da Silva.
Menurut Kolonel Purnawirawan Aloysius Sugiyanto, yang ditugasi Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Letnan Jenderal Ali Moertopo ke Timor Timur sebelum Operasi Seroja, Robby memang ditarik Benny untuk menangani kopi di Timor Timur. "Setelah bisa dikuasai, rakyat tidak didiamkan saja. Ekonomi harus hidup," ujarnya.
Mantan Asisten Perencanaan Umum Panglima Angkatan Bersenjata Marsekal Muda Purnawirawan Teddy Rusdy mengatakan pihaknya pernah menawari pengusaha nasional berusaha di Timor Timur. "Tidak pada berani," kata Teddy, yang saat itu Kepala Biro Perwira Pembantu VI/Militer Pertahanan di Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan. Robbylah yang akhirnya bersedia.
Teddy dan Sugiyanto membenarkan soal tentara yang ikut menjaga bisnis Robby. "Karena jangan sampai dirampas oleh gerombolan," ujar Teddy. "Kan, situasi saat itu perang."
Namun Robby tak sekadar berbisnis di Timor Timur. "Yang namanya Robby jadi pendukung dananya," kata Sugiyanto mengisahkan pengusaha yang sudah dikenal Benny sejak sering nongkrong di kantor Operasi Khusus di Jalan Raden Saleh itu.
Jumat sore dua pekan lalu, di restoran Rise di lobi Marina Bay Sands Hotel, Singapura, Robby Sumampow atau dikenal sebagai Robby Kethek membuka kisah "persekutuan"-nya dengan Benny Moerdani. Tak ingat pasti kapan percakapan berlangsung, pria kelahiran Solo 70 tahun silam ini mengingat isi obrolan dia dengan Benny. "Suatu ketika, Pak Benny memanggil saya," katanya.
Benny berkata kepada Robby: "Nek kowe arep dadi pengusaha, dadi pengusaha yang ikut berjuang. Ojo dagang tok (Kalau kamu mau jadi pengusaha, jadilah pengusaha yang ikut berjuang. Jangan hanya dagang)."
Benny bercerita tentang usahanya mengumpulkan pengusaha agar masuk ke Timor Timur. "Banyak yang tidak bersedia. Ada yang bersedia, tapi minta referensi kredit. Tidak mungkin begitu. Akhirnya aku buntu. Kamu bersedia enggak?" Benny menantang Robby.
Robby menjawab: "Kalau Timtim, harus gede, Pak. Saya kan pengusaha kecil."
Benny berkata: "Kamu datangkan barang saja ke sana."
Robby: "Kalau cuman datengin, oke. Tapi bagaimana? Dalam keadaan perang…."
Benny: "Yang nomor satu, kamu bersedia dulu masuk Timtim. Kamu tak usah khawatir apa pun. Pokoke kamu di sana di-back up, tidak akan diganggu tentara. Tentara akan jaga. Di sana ada hasil bumi kopi. Kamu barter saja."
"Misi ini akhirnya diserahkan ke saya, untuk buka toko-toko," ujar Robby. Maka dibukalah Toko Marina di daerah Colmera, Dili. Bennylah yang menentukan Robby untuk membeli jaring, pacul, dan sepeda, yang semuanya berguna untuk bekerja.
Setelah bisnis Robby dan orang-orangnya makin berkembang, selain kopi, berdiri belasan perusahaan lain di bawah payung Batara Indra Group. Di antaranya ada PT Watu Besi Raya, yang bergerak di bidang pembangunan jalan, jembatan, dan infrastruktur, serta PT Scent Indonesia, yang memonopoli perdagangan kayu cendana hingga hotel, yakni Hotel Mahkota (sekarang Hotel Timor) dan New Resende Inn, juga bioskop-Bioskop Seroja.
Keuntungan tak hanya masuk ke kantong Robby tapi banyak juga ke ABRI. Menurut Benny kepada Sydney Morning Herald pada Maret 1995, Indonesia tidak merencanakan invasi Timor Timur ketika masa pembahasan Rencana Pembangunan Lima Tahun II, 1974-1979, sehingga tidak ada dana militer untuk kegiatan di Timor Timur. Departemen Pertahanan dan Keamanan pun harus mencari sendiri dana operasinya. "This was a bloody expensive operation," kata Benny.
Menurut Robby, awalnya uang penjualan kopi langsung masuk ke kantong ABRI lewat Kolonel Dading Kalbuadi, orang dekat Benny yang memimpin Operasi Flamboyan. Hasil ekspor pertama dipinjam separuh, dan yang kedua dipinjam seluruhnya. "Karena yang pinjam Pak Dading, saya bilang, Pak Benny harus tahu," ujar Robby.
Ia pun melapor ke Benny. "Ora opo-opo. Pinjemin saja," kata Benny seperti ditirukan Robby. Setelah pinjaman kedua, Benny mengatakan, "Bulan depan kita bisa dapat duit. Semua akan dibayar."
Tapi ternyata tidak dibayar juga. Robby pun kehabisan "peluru". Beruntung, harga kopi naik. "Saya kayak dikasih angin lagi. Kalau harga kopi tidak naik, saya jadi gembel." Robby pun masih banyak membantu untuk hal lain, seperti sumbangan buat para janda tentara yang meninggal di Timor Timur. Balasannya, seperti Benny janjikan, tentara menjaga keamanannya.
Belakangan, bisnisnya di Timor Timur memudar. Setelah rakyat Timor Timur memilih merdeka dari Indonesia, ia tak lagi peduli terhadap aset-asetnya. "Mau dipulangin atau tidak, saya enggak ngurusi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo