Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setan ada di mana-mana. Mereka bukan hanya berada di rumah-rumah besar yang perlu diburu atau dalam gedung-gedung kosong yang ditunggu penampakannya buat konsumsi pemirsa televisi. Setan bahkan ada dalam ritual yang semestinya sangat sakral seperti ibadah haji.
Tanda-tanda keberadaan setan dalam penyelenggaraan haji telah lama tertengarai. Dari tahun ke tahun bau ketidakberesan yang bersangkut-paut dengan uang selalu tercium. Persoalan penerbangan dan pengadaan pemondokan bagi jemaah haji menjadi titik rawannya. Pada dua aspek itulah dana jemaah haji paling banyak dibelanjakan. Pada dua aspek itulah suara miring sering terdengar.
Banyak suara menyebut biaya sewa pemondokan haji sebenarnya lebih rendah dibanding nilai yang disebut pemerintah. Kalkulasi itu didasarkan atas kondisi rumah pemondokan serta jaraknya dari Masjidil Haram. Untuk penerbangan, semua pengamat netral meyakini bahwa ongkos sebenarnya akan jauh lebih murah bila penerbangan jemaah haji ditenderkan secara terbuka. Tetapi tender demikian tak akan dilakukan. Selain tak didukung Saudia, banyak pihak berkepentingan dengan Garuda. Tujuannya bukan untuk mengangkat maskapai penerbangan itu, melainkan buat mengambil bagian dari jatah Garuda. Para penjarah itu diyakini bukan hanya berasal dari lingkungan Departemen Agama, tapi bahkan dari lingkungan kekuasaan yang lebih besar.
Selama beberapa tahun, permainan demikian tak lebih dari sekadar ada dalam percakapan di setiap musim haji. Tak pernah ada fakta terbuka mengenai penyelewengan itu, sampai sebuah ”peristiwa kecil” terjadi pada 2003. Seseorang yang menyebut dirinya sebagai adik Menteri Agama menelepon pengusaha katering di Saudi. Mengatasnamakan Menteri, ia minta uang jatah Menteri untuk tunjangan hari raya. Percakapan telepon itu ternyata direkam, dan hasil rekamannya disiarkan lewat media.
Tahun itu pula terjadi kekacauan menyangkut kuota. Mula-mula Departemen Agama membiarkan biro swasta mencari jemaah dengan mengasumsikan kuota mereka 22 ribu seperti realisasi tahun sebelumnya. Beberapa bulan kemudian, departemen ini baru mengumumkan kuota ONH plus hanya 10 ribu. Kasak-kusuk pun terjadi buat mentransaksikan kuota. Calo bermunculan dengan janji mampu mengusahakan kuota, baik lewat Departemen Agama maupun langsung ke Saudi. Menteri Agama bukan menjernihkan persoalan, melainkan malah menjanjikan tambahan kuota 30 ribu. Hasilnya adalah kebohongan besar. Puluhan ribu jemaah gagal berangkat hingga menimbulkan banyak perkara. Kuota seperti menjadi barang dagangan baru setelah pemondokan dan penerbangan.
Delapan LSM yang tergabung dalam Koalisi Reformasi untuk Penyelenggaraan Haji (Korup Haji) pun menjadikan kebohongan kepada publik dan kasus katering itu untuk membongkar dugaan korupsi selama ini. Korup Haji mendesak Mabes Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengusut kasus itu. Namun upaya tersebut tak kunjung menampakkan hasil. Baru setelah hampir dua tahun berlalu serta ganti presiden, kasus korupsi dalam penyelenggaraan haji serius diusut hingga bermuara pada penetapan mantan Menteri Agama dan dirjennya, Said Agil Husin al-Munawar dan Taufiq Kamil, sebagai tersangka. Penetapan tersangka kedua nama itu tak mengejutkan. Merekalah yang paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan haji bagi jemaah Indonesia.
Penetapan tersangka itu juga mencoreng muka Departemen Agama. Selama ini departemen tersebut sering dituding sebagai departemen paling korup. Sebuah tudingan yang hampir pasti keliru. Dana yang dikelola Departemen Agama tidak sebesar yang dikelola departemen lain. Kehidupan rata-rata karyawannya juga masih di bawah tingkat kehidupan rata-rata karyawan banyak departemen lain. Namun korupsi seberapa pun nilainya tetap korupsi. Sebagai departemen simbol moral, Departemen Agama semestinya memang bersih sebersih-bersihnya dari setan korupsi.
Kasus korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji mulai ditangani. Penanganan yang diharapkan akan dapat membebaskan penyelenggaraan haji dari setan-setannya. Tetapi akan selalu ada setan yang terus bergentayangan di sana sepanjang haji masih dipahami seperti sekarang. Saat ini, haji tidak dipandang sebagai ibadah puncak yang hanya layak dijalani oleh umat yang benar-benar telah menuntaskan seluruh ibadah lain, termasuk ibadah sosial. Ibadah haji telah bergeser menjadi sekadar sebagai wisata rohani atau rihlah ruhiyah yang boleh dijalani siapa pun dengan perilaku apa pun, sepanjang ia muslim dan bisa membiayai diri ke Tanah Suci. Haji telah menjadi semacam pesta yang menempel pada ritual.
Ibadah haji dengan pemahaman seperti inilah yang digemari semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun sebagian besar ulamanya di Indonesia serta Arab Saudi. Tanpa dikembalikan ke posisi sebenarnya, haji akan terus menjadi ajang pesta para ”pelayan tamu Allah”. Dan setan akan selalu menari-nari dan tertawa-tawa dalam setiap pesta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo