Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah DKI Jakarta melarang ondel-ondel digunakan untuk mengamen.
Perajin ondel-ondel terancam kehilangan pendapatan akibat larangan pemerintah tersebut.
Ondel-ondel dalam sejarahnya lahir sebagai bagian dari perayaan panen petani-petani di pinggiran Kota Jakarta.
JAKARTA – Tembang Ondel-ondel yang berasal dari speaker itu terdengar nyaring di Jalan Rawa Belong, Palmerah, Jakarta Barat, kemarin. Seorang remaja mendorong pengeras suara itu menggunakan gerobak kecil. Satu temannya terlihat menyodorkan ember kecil bekas cat kepada setiap orang yang ditemui. Sedangkan seorang lagi bertugas “mengendalikan” boneka ondel-ondel untuk bergoyang mengikuti irama musik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga remaja itu bernama Reivan, Rio, dan Dio. Mereka kerap berjalan beriring untuk mengamen menggunakan ondel-ondel. Rute yang biasa mereka lalui ialah dari Tanah Abang, Palmerah, Rawa Belong, hingga Kebon Jeruk. Dalam sehari mereka bisa mengantongi uang Rp 75-100 ribu. "Itu setelah dipotong sewa ondel-ondel dan speaker," ujar Reivan. Adapun ongkos menyewa perlengkapan mengamen ondel-ondel tersebut adalah Rp 50 ribu. Mereka menyewanya dari perajin ondel-ondel di Kramat Pulo, Senen, Jakarta Pusat.
Pemerintah DKI Jakarta saat ini melarang ondel-ondel digunakan untuk mengamen. Sebab, kehadiran ondel-ondel di jalanan dinilai mengganggu lalu lintas. Selain itu, para pengamen ini justru merusak “kehormatan” ondel-ondel sebagai warisan budaya Betawi. Atas dasar itu, sejak Kamis lalu, pemerintah mulai merazia para pengamen ondel-ondel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reivan dan kawan-kawannya menyatakan kecewa dengan kebijakan pemerintah itu. Pelarangan tersebut sudah pasti merugikan para pengamen dan seniman ondel-ondel. "Padahal dengan cara ini kami juga bisa ambil bagian dalam melestarikan kebudayaan secara tidak langsung,” katanya.
Reivan tidak menyangkal bahwa kehadiran mereka memang tidak sepenuhnya disukai masyarakat. Ada masyarakat yang merasa terganggu. “Kalau soal mengganggu, kami sama saja seperti pengamen lain sebenarnya," kata dia. Namun dia menolak jika disebut mengemis. "Kalau mengemis kan minta-minta tanpa usaha, ini kan kami ada usaha."
Suasana Kampung Ondel-Ondel di Kramat Pulo, Jakarta, 25 Maret 2021. TEMPO/Subekti
Sebelumnya, pemerintah DKI Jakarta resmi melarang pengamen ondel-ondel melalui Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Ondel-ondel juga ditetapkan sebagai ikon kebudayaan masyarakat Betawi dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2017. Berlandaskan perda inilah ondel-ondel dinilai tak pantas dibawa keliling kampung untuk memberikan hiburan dan disebut sebagai aktivitas mengamen.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menjanjikan tempat yang layak bagi kesenian ondel-ondel agar tidak digunakan untuk mengamen. Apalagi, menurut Riza, banyak laporan masyarakat yang merasa terganggu dengan kehadiran para pengamen ondel-ondel. Mereka juga dituding kerap menghambat lalu lintas.
Agus, perajin ondel-ondel di Kramat Pulo, mengatakan sudah membuat ondel-ondel sejak 2009 yang kemudian ia sewakan. Saat ini, ada enam kelompok pengamen yang menyewa ondel-ondel darinya. Tarif sewa per hari ditentukan berdasarkan kesepakatan masing-masing. "Kalau pas mereka pendapatannya enggak bagus juga saya enggak narik uang sewa," ujarnya.
Karena itu, kata Agus, jika pemerintah melarang ondel-ondel digunakan untuk mengamen, ia terancam kehilangan pendapatan. Ia setuju jika pemerintah memang menyiapkan wadah untuk menampung seluruh seniman ondel-ondel, dari perajin hingga pemainnya. "Tapi, kalau wadah masih nanti-nanti (dibentuknya), ya, kami juga berhentinya nanti-nanti," kata dia.
Menurut Agus, Pemprov DKI Jakarta harus memiliki solusi konkret lebih dulu sebelum melarang ondel-ondel digunakan untuk mengamen. Sebab, para pengamen ondel-ondel sebelumnya adalah penganggur. Mereka terpaksa mengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. "Kasih wadahlah, biar mereka tidak menganggur,” kata Agus. “Nanti (kalau tidak diberi wadah), bisa masuk ke dunia kriminal untuk cari duit."
Perajin ondel-ondel sekaligus pembina di Sanggar Seni Betawi Mamit Cs, Kramat Pulo, Firli, juga menilai larangan oleh pemerintah DKI bisa diterapkan jika dibarengi dengan solusi. "Kalau wadahnya belum ada, sama aja keputusan (melarang pengamen ondel-ondel) itu sepihak," ujar Firli.
Warga membawa ondel-ondel di Kramat, Jakarta, 16 Maret 2016. Dok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
Namun, berbeda dengan Agus, Firli mengatakan ondel-ondelnya tidak disewakan kepada semua orang, hanya untuk mereka yang berasal dari Sanggar Mamit Cs. Perbedaan lain, kesenian ondel-ondelnya dimainkan oleh satu grup, sekitar 13 orang, dengan alat musik yang lengkap. Dalam satu hari, kata dia, sekitar tiga grup beraksi di jalanan. "Kalau dapatnya Rp 400 ribu, ya, itu dibagi sama 13 orang."
Firli mengatakan anak binaannya di Sanggar memainkan ondel-ondel di jalanan karena tidak setiap hari mendapat tawaran dari acara-acara seperti yang diselenggarakan hotel. Jika dilarang mengamen, kata dia, mereka akan kehilangan sumber mata pencarian. "Ini semua cuma masalah perut," kata pria berusia 41 tahun itu.
Adapun ondel-ondel dalam sejarahnya lahir sebagai bagian dari perayaan panen petani-petani di pinggiran Kota Jakarta. Budayawan Betawi Ridwan Saidi menjelaskan bahwa ondel-ondel dibuat saat pertanian modern dan irigasi mulai ditemukan untuk mengairi sawah-sawah di sekitar Jakarta. "Sejak itu orang menyambut panen dengan ondel-ondel. Ondel-ondel itu artinya menakjubkan," kata Ridwan.
Dengan perkembangan zaman, fungsi ondel-ondel kemudian juga berkembang sebagai sarana hiburan dan pengiring acara-acara besar, seperti pernikahan dan acara adat lainnya. Penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen pun dimulai saat krisis ekonomi pada 1998. Perihal wacana melarang ondel-ondel untuk mengamen, Ridwan menyayangkan hal tersebut. Sebab, fungsi ondel-ondel memang untuk diarak. Namun ia berharap DKI juga memberikan solusi pekerjaan lain bagi para pengamen ondel-ondel. "Kalau sudah enggak boleh ngarak ondel-ondel, cariin alternatif kerjaan lain dulu," ujar Ridwan.Selain itu, ia berkali-kali menegaskan bahwa ondel-ondel sebagai bagian budaya Betawi, yang memang biasa diperkenalkan dengan konsep arak-arakan, bukan hanya untuk pajangan di kantor. Kalaupun pemerintah ingin mengatur, Ridwan lebih menitikberatkan pengaturan supaya mereka tidak mengganggu lalu lintas karena mereka kerap mengarak di jalanan.
INGE KLARA | M. YUSUF MANURUNG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo