Rinjani dan Ahuru bukanlah titik penting dalam peta geografis Ambon. Kalaupun terasa unik, lantaran dua kawasan bertetangga itu memang punya ciri khas; yang satu boleh dikata kampung muslim, lainnya banyak ditempati umat kristiani. Tapi dua komunitas ini menjadi sorotan nasional, bahkan juga dunia, ketika mereka bertemu dalam satu titik perseteruan dahsyat pada Senin subuh, 1 Maret lalu. Tragedi yang lantas populer dengan sebutan "subuh berdarah" ini menewaskan lima jiwa dan rusaknya puluhan rumah.
Tak jelas, siapa yang memulai "pertempuran". Menurut keterangan saksi mata di Ahuru, mereka sempat dikejutkan oleh "serangan fajar" warga Rinjani yang umumnya berasal dari Buton dan Bugis. Sejumlah peronda yang tengah asyik sarapan di sekitar Gereja Petra, di Ahuru, langsung pasang kuda-kuda. Kentongan ditabuh, tiang listrik diketuk bertalu-talu, tanda siap tempur. Bentrokan pun tak bisa dibendung. Panah, tombak, bom molotov, dan kelewang beradu tajam menusuk kedua kubu.
Sepuluh personel polisi dan militer mencoba melerai. Tapi gagal. Massa yang kesetanan tak bisa diredam. Mereka terus merangsek maju. Petugas yang kebetulan dalam posisi membelakangi warga Ahuru terpaksa melepaskan tembakan berlawanan. Dor, dor, dor.... Beberapa orang roboh seketika. Di antara mereka, saat tubuhnya berdarah-darah, lalu dievakuasi ke dalam Masjid Al-Huda di Rinjani, yang baru saja menggelar salat subuh. Pertikaian mulai reda ketika beberapa polisi dari Ambon dikerahkan, sebagaimana direportasekan Fiets Kerlely, koresponden TEMPO di Ambon.
Ironis, memang. Sebab, sehari sebelumnya, sejumlah pemuka adat, kepala desa dan agama telah meneken "piagam kerukunan" di markas Komando Resor Militer 174 Pattimura, Ambon. Tapi, yang lebih mencengangkan, bara Ambon susah dipadamkan, meski sudah hampir tiga bulan berlalu. Barangkali, di Provinsi Malukulah kemelut interen yang mematikan sendi perekonomian lokal tak habis-habisnya. Hari demi hari, sejak Desember tahun lalu, hampir tiada sunyi dari desing peluru, sabetan kelewang, hunjaman tombak, panah, dan serentetan kemarahan. Problemnya mungkin tak kalah menyeramkan ketimbang yang pernah terjadi di Lebanon, atau bahkan Bosnia. Korban tercatat 160-an orang meninggal, ratusan lainnya luka berat dan ringan, tiga ribuan rumah diratakan dengan tanah, termasuk becak, toko, bioskop, kantor pemerintah, dan sekolah (lihat tabel).
Yang makin bikin runyam, tragedi itu seakan menjadi tonggak absahnya perlawanan segala bentuk penyelesaian dari "pusat". Ketika muncul isu Presiden Habibie bakal menginjakkan kakinya ke Ambon, tanggapan masyarakat setempat kurang bersemangat. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, yang sempat diusulkan menuju kawasan seribu pulau itu, tak juga ditanggapi positif. Habibie, bagaimanapun, akan dianggap mewakili Islam. "Padahal, terus terang, di sana Kristen juga lagi marah," kata Thamrin Amal Tomagola, sosiolog asal Ambon. Megawati? Bisa-bisa dianggap menggunakan bencana sosial sebagai komoditas politik. Gerakan massa pun kian brutal melawan aparat yang cenderung dianggap memihak salah satu golongan. Ketua Umum PAN, Amien Rais, sampai menyatakan perlunya pemerintah Amerika Serikat ikut cawe-cawe menangani krisis di sana.
Repot, memang. Apalagi konflik di antara pemeluk Islam dan Kristen juga kian meruncing di sana. Buntutnya ternyata menjulur panjang dari Ambon di Kepulauan Maluku, sampai ke Jakarta, di Pulau Jawa. "Perang informasi" pun tak terelakkan; masing-masing, terutama dari kelompok garis keras, mengklaim kebenaran berita versi pihaknya, tentang korban yang mereka derita, terutama menyangkut insiden subuh itu. Presiden Habibie, sebagaimana diungkapkan Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, Rabu pekan lalu, menyebut peristiwa di Ambon "bukankah perang agama" karena yang ada ialah sekelompok radikal Islam dan Kristen."
Begitulah. Di bumi emas hijau, bara kemarahan terus menggelinding sampai Sabtu pekan lalu. Saat itu, ratusan massa yang berada di depan Gereja Silo (Tugu Trikora) dan Masjid Al-Fatah—keduanya hanya berjarak sekitar 300 meter di Kota Ambon—tampak berhadap-hadapan. Batas demarkasi yang sengaja dibikin petugas tampaknya bakal dilanggar. Aparat memuntahkan pelor setelah melihat massa tak mau mundur. Lonceng gereja berdentang berulang kali. Itulah tanda kepedihan yang menghunjam sampai ke dada: 13 orang tewas, 9 luka berat, dan 4 luka ringan.
Di Jakarta? Baranya terasa panas di pelbagai gerakan Islam. Mereka bersikukuh menyebut tragedi subuh itu terjadi "di dalam" masjid. Bahkan, tak sedikit yang percaya bahwa penembakan aparat terjadi ketika salat subuh masih berlangsung di Masjid Al-Huda. "Itu tidak benar," kata Komandan POM Maluku, Mayor CPM Juhendi S., kepada TEMPO. Menurut Juhendi, pihaknya tengah memeriksa Serma Rubben Tutualima, alias Benny, dari Satpol Air Ambon, yang diduga kuat menembak korban. Tapi, "Tak ditemukan materiil yang cukup kuat membuktikan penembakan (terjadi di) dalam masjid." Ia sama sekali tak menyangkal jika tembakan aparat diarahkan ke atas dan bawah, di antara amukan massa yang kelewatan.
Tapi reaksi kaum muslimin di Ibu Kota tetap saja mengeras. Ribuan mahasiswa muslim dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) berunjuk keprihatinan di depan kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Kelompok lainnya mendatangi markas besar Kepolisian RI di Pattimura. Surat-surat pernyataan bersama antar pemuka umat yang mengutuk kejadian itu diteken dan dikirimkan ke semua media massa. Sejumlah Partai Islam menuntut agar insiden itu diusut tuntas. Ahad siang pekan lalu, sekitar dua ribu massa tumplek dalam tablig akbar di Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru. Mereka mendengarkan khotbah K.H. Abdurrasyid Syafi'ie, dari pesantren As-Syafi'iyah, yang meyerukan "hentikan pembantaian umat Islam". Ribuan "laskar jihad", dengan ikat kepala putih bertuliskan "Allaahu Akbar", menyatakan tekadnya menerima komando: berjuang di tanah Ambon.
Pemerintah tak kalah sibuk mengatasi problem rumit ini. Tragedi subuh dibahas khusus dalam rapat kabinet terbatas bidang politik dan keamanan. Penglima ABRI Jenderal Wiranto telah memerintahkan Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Roesmanhadi untuk mencopot Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Ambon, Kolonel Karyono Sm. Ia kemudian digantikan putra daerah, Kolonel Bugis Muhamad Saman—pria kelahiran Maluku Utara, yang mengaku "tahu persis karakter orang Ambon." Pangab Wiranto juga memasang taktik baru: satu batalyon dari Ujungpandang langsung ditarik, digantikan tiga batalyon marinir dari Surabaya, Purworejo, dan Situbondo, juga pemukul reaksi cepat dari Kostrad Singosari, Malang. Ini merupakan bagian dari 4.000 tentara yang akan diterjunkan ke Ambon. Mengapa tentara dari Jawa? "Saya ingin menghindari kesan ada keberpihakan secara etnis batalyon dari Ujungpandang," kata Jenderal Wiranto.
Tentu saja keampuhan bala bantuan tentara ini harus dibuktikan. Sebab, diterjunkannya 7 satuan setingkat kompi (SSK, yang setara dengan 100 prajurit) dari Ujungpandang dan Bali, beberapa hari setelah insiden Idul Fitri lalu, masih saja gagal mengatasi keadaan. Kerusuhan masih saja merebak. Malah, salah seorang anggota Kostrad jadi bulan-bulanan kekejaman massa. Sampai akhirnya Pangdam Trikora Mayjen Amir Sembiring, 23 Januari lalu, resmi menginstruksikan perintah tembak di tempat bagi perusuh yang nekat. Toh, itu dianggap angin lalu. Di sisi lain, pemulihan keadaan di Ambon terasa mendesak.
Di luar semua kepelikan tadi, banyak persoalan lokal yang mesti segera diatasi: persaingan politik merebut kursi birokrasi antar suku dan golongan, kecemburuan terhadap etnis pendatang, problem ekonomi yang kian mencekik, dan sentimen agama yang makin menyala. Munculnya ratusan provokator dari Jakarta—yang susah dibuktikan dan susah dideteksi intelijen BIA—bisa pula makin memanaskan situasi. Tangan terampil ikut bermain dari Jakarta? Mungkin saja. "Sepertinya ada jaringan di tingkat nasional yang mengacaukan keadaan, di samping masalah lokal," kata Kepala Staf Teritorial ABRI, Letjen Susilo Bambang Yudhoyono.
Untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak, Jenderal Wiranto mengusulkan membangun buffer zone antarkampung yang diisi aparat keamanan. Repotnya, sebaran kerusuhan sudah melebar sampai ke Kepulauan Haruku, Saparua, dan sekitarnya. Pula, emosi "umat" sudah telanjur menggumpal. "Semua rumah saya dibakar ludes, dan saya keluar hanya dengan baju di badan," kata Muhammad Yusuf Ely, pengusaha pelayaran dan biro perjalanan, yang kini mengetuai satuan tugas Idul Fitri Berdarah MUI yang bersekretariat di Masjid Al-Fatah, Ambon. "Kini, situasinya menuntut kami ini ibaratnya membunuh atau dibunuh."
Wahyu Muryadi, Ahmad Taufik, Setiyardi, Dewi R. Cahyani, Nurur R. Bintari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini