Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GADIS-gadis sintal berkulit pualam itu duduk berderet di bangku plastik. Kebanyakan mengenakan jins, sebagian bermodel hipster—dipasang melorot di pinggang, gaya anak muda di mal Jakarta. Ada yang rambutnya dicat blonda, memakai kaus hitam bertulisan ”NY Juicy Girls”. T-shirt ngepres, kacamata gagang lebar, atasan tank top: mereka bukan anggota kelas bawah.
Tangan dan kaki mereka sedang dirawat oleh pekerja salon ”Ut”. Untuk layanan se long mat dan ve mong mat bo, atau manikur dan pedikur, salon yang lebih padan disebut kios sekitar 4 x 8 meter itu memungut 25 ribu dan 35 ribu dong (dua dong sama dengan satu rupiah). Kios itu menyelip di tengah Pasar Ben Thanh, pasar tertua di jantung Saigon, kini Kota Ho Chi Minh, Vietnam bagian Selatan. Pasar Ben Thanh dibangun 88 tahun silam, pada masa penjajahan Prancis.
Beras melimpah di pasar ini. Sebuah kios menjual 19 jenis beras, mulai yang termurah, jenis gao thai berharga 7.000 dong sekilo, sampai nep than yang 18 ribu sekilo. Entah kenapa dijual bersama santapan anjing, Pedigree, dan ”umpan” kucing, Whiskas. Warung makan di mana-mana. Dengan 8.000 dong sudah bisa makan siang dengan com suan cha trung atau nasi dengan sepotong daging babi bakar plus telur.
Kopi berjenis-jenis: Vietnam produsen besar nomor dua dunia. Baju dan tekstil melewah. Tas, selop, dan aksesori wanita tinggal pilih. Di pasar ini seorang pelayan di kios kopi Tuyet Van mengaku bergaji 350 ribu dong sebulan, cukup untuk kontrak rumah 100 ribu dong dan makan sebulan. Turis Barat dan pelaut India bagaikan berlomba membeli aneka rupa barang.
Vietnam bukan lagi negeri ancur-ancuran didera perang 16 tahun—sampai 1975—melawan Amerika dan sekutunya. Negeri dengan 85 juta penduduk itu—sebanyak 3-5 juta tewas akibat perang—sekarang sudah jauh dari ”album” 1996, ketika banyak penduduk memakai baju dan sepeda yang sama. Negeri dengan penduduk ”termuda” di dunia ini—60 persen penduduknya berusia kurang dari 35 tahun—menyimpan potensi besar. Republik Sosialis Vietnam, begitulah namanya setelah reunifikasi Utara-Selatan, sejak 1986 melancarkan perombakan besar-besaran melalui program renovasi ekonomi ”doi moi”.
Perekonomian ala sosialis berpaling menjadi ekonomi pasar. Pemerintah mengagendakan dua program besar: perampingan postur militer dan kebijakan ”pintu terbuka” untuk menjadi teman semua negara. Pada 1995, mereka mencatat sejarah besar: membuka hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat. Enam tahun kemudian, hubungan dagang Vietnam-Amerika dimulai. Hubungan dagang dengan Cina bahkan sudah pulih pada 1990, ketika perbatasan kedua negara dibuka. Pada 1997, Vietnam masuk ASEAN.
Hasil ”keterbukaan” ini segera terlihat. Pada 1990-1997, ekonomi Vietnam tumbuh rata-rata 8 persen setahun. Tapi krisis ekonomi di kawasan Asia Tenggara, 1997-1998, menggerogoti sukses ini. Negeri dengan 59 provinsi dan lima kota madya itu bahkan mengalami empat ”badai taifun” sekaligus di masa itu.
Akibat sistem perbankan dan finansial yang lemah, sistem anggaran tertutup, inefisiensi birokrasi, pembajakan, dan korupsi, kinerja ekonominya melemah. Parahnya, terjadi kerusuhan sosial besar di Provinsi Thai Binh, di utara negeri itu. Pada akhir 1997, alam menambahkan azab: badai tropis terburuk dalam 50 tahun terakhir. Akibat dampak krisis regional, investasi dan perdagangan rontok.
Investasi asing menukik dari US$ 8,5 miliar pada 1996 menjadi tinggal separuh pada tahun berikutnya. Pada 1999, investasi asing tinggal US$ 1,5 miliar—ini titik terendah. Pertumbuhan pun terjun bebas. Pada 1999, Kongres Partai Komunis Vietnam (VCP) merespons situasi ini dengan mengarahkan pemerintah memperkuat sektor pertanian dan membangun pedesaan. Kongres menugasi pemerintah melancarkan program ”kritik dan otokritik”, yang intinya memberantas korupsi. Disiapkanlah rencana kebangkitan ekonomi pada era 2000-an.
Anggota pemerintah yang tak sejalan dengan renovasi ekonomi harus minggir. Le Kha Phieu, Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis, dalam pertemuan tertutup dengan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, yang berkunjung ke Vietnam pada November 2000, berbicara tentang sejarah kelam perang Vietnam. Ucapan Phieu dikutip media massa, lalu sekelompok orang mendemo Clinton. Ini kesalahan fatal di tengah usaha pemerintah merintis hubungan dagang dengan Amerika. Partai Komunis segera memecat Phieu.
Setelah akses ke dunia internasional terbuka—Vietnam menjadi anggota APEC, AFTA, dan WTO—investasi asing kembali mengalir. Pada 2006, jumlahnya sudah mencapai US$ 10,2 miliar atau hampir tujuh kali dibandingkan dengan masa awal krisis. Dalam lima tahun terakhir ini, ekonomi tumbuh rata-rata 7,7 persen per tahun—terpesat di dunia di luar Cina dan India. Bahkan, dalam dua tahun terakhir, Vietnam mencatat pertumbuhan di atas 8 persen. Modal asing paling banyak datang dari Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang.
Maka, seperti disaksikan Tempo ketika mengikuti program kunjungan editor senior regional yang diselenggarakan Temasek Holdings, Mei lalu, negeri itu terlihat hibuk. Di Cang Hang Khong Quoc Te Tan Son Nhat, bandar udara di Kota Ho Chi Minh yang mirip Lapangan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta, orang berjejal sembari mengacung-acungkan papan bertulisan nama-nama asing. Mereka ramai-ramai menjemput turis.
Jalanan dikuasai sepeda motor buatan Jepang. Di kanan-kiri tampak gedung bertingkat empat atau lima dan perkantoran. Banyak rumah tinggal yang sedang direhab. Satu rumah bertingkat kelihatan megah. Di lantai duanya berkibar dua bendera merah bergambar bintang dan satu lagi palu-arit. Barangkali milik petinggi partai. Di satu pojok kelihatan bangunan dengan dinding bertulisan ”Kumon”, tempat kursus matematika yang terkenal di Indonesia. Semua orang kelihatan bergegas, jarang tampak penduduk ngeriung santai atau nongkrong di tepi jalan.
Kota Ho Chi Minh dan provinsi di bagian selatan dikembangkan pemerintah sebagai wilayah industri. Begitu juga Hanoi dan provinsi di utara. Bagian tengah dirancang untuk industri pariwisata. Satu di antara pengusaha yang masuk Hanoi adalah Ciputra, ”raja” properti Indonesia. Sebelum krisis, Ciputra membangun kota satelit di Hanoi, yang kini sudah bernilai US$ 3 miliar. ”Ini proyek yang sangat berhasil,” ujar Ciputra.
Satu strategi penting pengembangan adalah membangun kawasan industri. Di seluruh negeri itu terdapat 135 kawasan industri. Salah satunya adalah Vietnam Singapore Industrial Park (VSIP), yang 51 persen sahamnya dimiliki konsorsium bisnis Singapura, termasuk Temasek Holdings.
Yang sangat mencolok di VSIP, yang terletak di Provinsi Binh Duong, sekitar dua jam berkendaraan dari Kota Ho Chi Minh, adalah kebersihannya. Tak satu jumput sampah pun terlihat di jalan kompleks pabrik yang lebar atau di halaman pabrik. Kalau tak tertulis nama-nama produsen atau tak ada deretan truk pengangkut barang, kawasan industri yang dibuka pada 1996 itu terasa seperti perumahan belaka. ”Kami menggelar karpet merah untuk investor yang datang,” kata Anthony Tan, Wakil Direktur Umum VSIP.
Di kawasan industri, pabrik baru bebas pajak selama tiga tahun pertama. Tujuh tahun selanjutnya, pabrik mendapat potongan pajak separuh. Insentif istimewa ini bisa diperpanjang sampai 12 tahun atau bahkan 15 tahun untuk jenis industri yang dikembangkan pemerintah atau menyerap banyak tenaga kerja. Setelah masa insentif, pabrik dikenai pajak 28 persen—lebih rendah daripada tarif di Indonesia.
Upah buruh di Provinsi Binh Duong merupakan yang termurah di Asia—dan ini paling menarik bagi investor. Sementara di Bangkok buruh dibayar US$ 158 per bulan, di Shenzhen, Cina, US$ 135, dan di Batam US$ 109, di Binh Duong hanya US$ 69. ”Upah minimum ditentukan pemerintah,” kata Anthony. ”Tak ada buruh yang protes.”
Kawasan industri merupakan ”surga” bagi investor. Dokumen ekspor-impor selesai dalam hitungan jam. Izin pendirian perusahaan beres dalam tiga hari, sedangkan di Batam bisa tiga bulan. Tak aneh jika perusahaan sepatu terkenal, Nike, membuka pabrik di Vietnam dengan 200 ribu buruh.
Insentif luar biasa juga diberikan untuk pemakaian lahan, yaitu 50 tahun, dan dapat diperpanjang. Itu semua membuat perusahaan swasta tumbuh pesat. Sekarang ini tercatat setengah juta perusahaan di sana. Pemerintah juga ikut mendorong penswastaan, dengan melakukan merger, konsolidasi, atau menjual badan usaha milik negara. Dari sekitar 14 ribu badan usaha milik negara, sekarang tinggal 4.000.
Pemerintah juga membenahi bursa saham. Sejak April lalu, transaksi bisa dilakukan online. Inflasi dapat diturunkan, dari 400 persen pada 1989 menjadi hanya 1 persen pada 2006. Birokrasi dibereskan. Sekarang satu dari tiga birokrat sudah berbahasa Inggris. Komunikasi jauh membaik. Walaupun belum ada media massa milik swasta, Vietnam sudah memiliki dua koran berbahasa Inggris, Saigon Times dan Vietnam News. Pendidikan dasar gratis sampai delapan tahun pertama.
Namun tabiat sebagai negara komunis terlihat pada kelakuan aparat keamanan di gedung-gedung. Ketika Tempo memotret kantor Dragon Capital di Kota Ho Chi Minh, petugas berbaju hijau muda dengan tanda pangkat merah langsung melarang. ”No picture... no picture,” katanya sambil melotot. Di setiap pojok kota gampang dijumpai patung-patung pahlawan. Di satu sudut terlihat patung Tran Hung Dao, panglima militer yang menaklukkan tentara Mongol pada abad ke-13. Di sudut-sudut kota kelihatan billboard imbauan pemerintah, dan iklan.
Di balik gemerlap kota, dengan gedung opera dan hotel bintang lima, Vietnam sedang bergelut melawan korupsi. Peringkat korupsi Vietnam seperti ”adu buruk” dengan Indonesia di tingkat Asia. Padahal, pada 1999, korupsi sudah dinyatakan sebagai musuh nomor satu. Dan sejak itu hukuman mati dijatuhkan untuk menteri, wakil menteri, gubernur, anggota geng kriminal, bahkan wartawan.
Sejak 2007, pemerintah mengharuskan pejabatnya melaporkan kekayaan setiap tahun. Pegawai negeri juga diminta hidup sederhana. Le Song Lai, Direktur Eksekutif State Capital Investment Corporation, badan usaha milik negara yang mengurus investasi Vietnam di Singapura, bahkan tidak memiliki mobil pribadi. Pegawai pemerintah itu tak mendapat jatah rumah dinas di Vietnam. Rakyat kecil mendapat prioritas. ”Tugas pemerintah membangun rumah untuk rakyat kecil di desa,” ujar Song Lai.
Tantangan berat adalah membuka 1,5 juta lapangan kerja setahun. Kesulitan kerja membuat mahasiswa tugas belajar Vietnam jarang yang tertarik kembali ke negerinya.
Apa pun, dibandingkan dengan masa setelah perang, negeri itu sudah jauh lebih gemerlap. Wartawan senior Sabam Siagian, yang ikut dalam program ini, tercengang melihat gedung, kantor, pertokoan, restoran, dan jalan bersih licin di Kota Ho Chi Minh. Vietnam sudah sangat ”kapitalistis”.
Sabam pernah berkunjung ke Vietnam di akhir masa perang. ”Apa kata Paman Ho kalau ia bangkit dari kuburnya melihat Vietnam sekarang ini?” tanya Sabam kepada setiap pejabat yang kami temui. Bac Ho alias Paman Ho yang dimaksud adalah Ho Chi Minh, pendiri partai komunis serta bekas perdana menteri dan presiden, yang wafat pada 1969.
Le Song Lai tersenyum mendengar pertanyaan Sabam. ”Kami tidak bisa hidup di masa lalu,” katanya. ”Kami harus melangkah ke masa depan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo