GAIRAH baru di Sumatera Barat: koran masuk sekolah. Tiap Selasa, sejumlah siswa dari 450-an SMTP dan SMTA di provinsi itu asyik menkaji selembar koran empat halaman dengan kop merah: KMS, koran Masuk Sekolah. Ada yang kemudian ditempel di dinding sekolah sebagai bacaan umum, ada yang dibawa pulang oleh beberapa siswa yang memang jadi pelanggan tetap. KMS, yang Selasa pekan ini muncul dengan edisi ke-29, hampir sepenuhnya berisi berita dan artikel seputar sekolah. Dalam nomor ke-26, misalnya, headline koran yang belum ada iklannya ini menyajikan pendapat siswa-siswa Padangpanjang mengenai Ebtanas. Materi Ebtanas tak lebih sulit dari ujian sekolah, kata siswa SMA Negeri di kota itu. Lalu, masih di halaman pertama, muncul berita-berita ini. Pembangunan SD Inpres di Padangjaring dihentikan. SDN II Bidar Alam hanya punya dua guru untuk 150 murid. Diskusi tentang Konperensi Asia Afrika di SMAN I, Padang. Dan di bagian bawah tampil cerita pendek karya siswi kelas II SMPN Balai Baru. Di halaman dalam ada rubrik Agama dan Etika, Apresiasi Budaya, Olah Raga dan Pramuka, Dari Sekolah ke Sekolah. Pada mulanya adalah angket harian Singgalang dua tahun lalu. Angket ini Ingin mengetahui pembaca koran ini dari kalangan mana saja. Kesimpulannya, ternyata kalangan remaja dan pelajar tidak tertarik isi Singgalang. Mereka tak merasa terlibat, dan karenanya tak Ingin membacanya. Tapi sebenarnya perhatian kalangan pelajar terhadap surat kabar bukannya tiada. Banyak surat pembaca dari para remaja menyarankan agar Singgalang membuka rubrik khusus buat mereka. Para pelajar SMTP dan SMTA sendiri, dengan atau tanpa gurunya, banyak yang meninjau dapur satu dari tiga harian di Padang ini. Mereka ingin tahu proses sebuah koran dibikin. Akhirnya, Basril Djabar, pemimpin redaksi Singgalang, menyimpulkan bahwa perlu ada sebuah koran yang menampung dan melayani minat dan kegiatan sekolah dan remaja. Sebuah diskusi, 18 Oktober 1984, dibuka untuk menyusun konsep koran pelajar ini. Kalangan perguruan tinggi, Kanwil P & K, Kanwil Departemen Agama, dan sejumlah tokoh pendidikan di Sumatera Barat ambil bagian. Maka, 30 Oktober 1984 muncullah edisi pertama. Diasuh oleh redaktur Singgalang, antara lain Chairul Harun, serta dibantu beberapa tenaga pendidik. Dan, koran yang muncul sekali seminggu ini, karena tak ada izin khusus untuk koran semacam ini, memakai izin koran masuk desa, yang memang sudah dimiliki Singgalang pada 1981. Itu sebabnya di atas kop KMS tertera tulisan "Edisi Koran Masuk Desa Singgalang Khusus". Dan ternyata lancar. Hingga edisi ke-27, akhir April lalu, oplah KMS 46.000 - yang 26.000 diedarkan bersama harian induknya sisanya dilanggani khusus oleh OSIS (Organisasi Siswa Intra-Sekolah). Menurut Basril Djabar, ia masih optimistis oplah koran sekolah ini akan naik. "Jumlah pelajar dari SD hingga perguruan tinggi di Sumatera Barat kini sekitar sejuta," katanya. Memang, sementara ini yang terjangkau oleh KMS baru SMTP dan SMTA. Naskah-naskah - dari berita-berita sekolah sampai cerita pendek dan puisi - sebagian besar memang datang dari remaja belasan tahun itu. Membaca KMS, kita akan memperoleh kesan bahwa pelajar kita ternyata cukup terampil menguraikan pendapat dan ekspresidalam tulisan. Itu bukan sekadar dalam hal menulis berita-berita sekolah - misalnya tentang perayaan Isra' Mikraj, perpisahan sekolah, serah terima kepala sekolah, dan piknik sekolah - tapi juga esei yang merupakan penjabaran pemikiran siswa tentang suatu topik. Bahkan, muncul polemik tentang disiplin sekolah. Erizal, mahasiswa IKIP Padang, menulis tentang kesadaran disiplin siswa yang rendah. Dan itu, katanya, disebabkan kesalahan siswa sendiri. Tulisan itu dimuat dalam KMS edisi ke-25. Bantahan muncul di edisi berikutnya, dari Afdhal, siswa kelas III Madrasah Aliyah Negeri, Padangpanjang. Tidak benar, hanya siswa penyebab disiplin sekolah rendah. Guru yang pilih kasih, orangtua yang kurang perhatian, dan lingkungan yang jelek adalah penyumbang ketakdisiplinan sekolah pula, tulis Afdhal. Memang, semua tulisan yang masuk, tak dilepas begitu saja oleh para redaktur. Hampir semua mengalami penyuntingan oleh staf redaksi, kata Indra Nara Persada, salah seorang staf redaksi. Ada kebanggaan para pelajar terhadap koran sekolah ini. "Kami sekarang punya media untuk berkomunikasi," kata Nurlaili, kelas II SMA II Mai Padang, yang mengaku selalu membuat kliping artikel ilmu pengetahuan dan riwayat hidup para tokoh dunia. "Bakat kami kini tersalurkan," kata Ruswan Rusli, ketua OSIS SMA II Mai Padang, yang telah menulis beberapa puisi dan artikel. Lebih-lebih para guru. Mereka menyambut dengan gembira. Bagi dr. Azhar, guru kimia SMAN I, Padang, dampak KMS dia rasakan benar. "Kini siswa bisa lebih terampil memberikan argumentasi dalam diskusi," katanya. "Kesan saya, mereka memperoleh kelengkapan pengetahuan dari koran itu." Dan tentu saja pihak Singgalang pun ikutberuntung. Menurut pemimpin redaksinya, ongkos penyelenggaraan KMS kini Rp 50 per eksemplar. Koran itu dijual dengan harga Rp 75 per eksemplar, atau langganan sebulan Rp 300. Pihak OSIS, yang menjadi semacam agen di sekolah mereka, setiap bulan mendapat potongan Rp 50 per pelanggan. Yang menggembirakan orang Singgalang, kini pihak perusahaan periklanan pun tertarik memasang iklan dalam koran khusus itu. "Kami melihat prospek iklan di koran sekolah itu baik, karena siapa pembacanya jelas," kata Bati Subakty dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Di tengah kecemasan akan rendahnya hasil Ebtanas SMA tahun ini, sebuah media membuktikan bahwa penularan ilmu pengetahuan tak selalu harus lewat kelas. Bambang Bujono Laporan Facrul Rasyid (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini