Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siapa Berani, Menang Atau Mati

Pasukan khusus Inggris (SAS) yang siap tempur di belakang musuh. Berdiri di Timur Tengah pada masa PD II untuk menghancurkan pangkalan udara Jerman. Diandalkan untuk berbagai medan tempur. (sel)

20 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA perahu bermotor terdengar mendekat. Dan di darat, Sersan Don 'Lofty' Large memberi isyarat kepada ketiga anak buahnya yang bertiarap tersembunyi. Debar jantung semakin cepat, sementara tangan mereka secara otomatis melepas kunci pengaman senjata masing-masing. Sementara itu, taktik penyerbuan yang telah disusun sang sersan berputar-putar di kepala para anak buah. Sebuah taktik yang sederhana tapi harus dilakukan secara persis untuk menjamin berhasilnya tujuan: kehancuran sasaran dan keselamatan pihak penyerang. Faktor keselamatan itulah yang menyebabkan sang sersan, yang tingginya hampir dua meter ini, memerintahkan mereka hanya menembak setelah perahu sasaran melewati posisi mereka - di tikungan Sungai Koemba, Kalimantan, tak sampai 10 km dari perbatasan dengan Serawak. Dengan demikian, mereka akan menembak bagian belakang perahu - hingga berlubang dan tenggelam - sementara kemungkinan balasan dari awaknya akan menemui jalan buntu. Harap diingat, jumlah mereka cuma empat orang, sementara awak perahu bisa mencapai tiga kali jumlah itu. Belum lagi kemungkinan datangnya bantuan, mengingat mereka berada di wilayah Indonesia yang saat itu, 13 Mei 1965, jadi musuh mereka. Perahu semakin mendekat - dan bentuknya mulai tampak di mata sersan dari Resimen 22 Special Air Service (SAS) ini. Sebuah perahu pesiar warna putih berukuran 15 meter, dengan bendera merah putih di buritan, melaju membelah sungai selebar 40-an meter. Adanya bendera itu benar-benar menambah ketegangan anggota kesatuan elite Inggris ini. Sebab, hasil pengamatan mereka sejak pagi hari menunjukkan, hanya perahu berisi serdadu yang mengibarkan bendera RI. Apalagi di anjungan ternyata terdapat bendera bercorak lain, yang dalam pikiran Sersan Large merupakan tanda adanya pembesar di dalam kendaraan air itu. "Kita sikat perahu ini," bisik sersan veteran Perang Korea ini kepada para anak buahnya. Mereka adalah Prajurit Pete Scholey, Prajurit Paddy Millikin, dan Prajurit Kevin Walsh - masing-masing memegang senapan SLR kaliber 7,62 mm yang cukup ampuh untuk menenggelamkan perahu kayu. Kelelahan berjalan kaki empat hari sebelum tiba di lokasi ini seperti hilang dari ingatan: tekanan pada picu senjata semakin teguh, sementara telinga seperti tak sabar menunggu komando menyerbu. Tapi, komando itu tak pernah datang - sampai perahu menghilang. Beberapa hal membuat Sersan Large ragu. Misalnya saja, awak kapal berpakaian sipil - hingga ada kemungkinan perahu itu berisikan pembesar nonmiliter. Jika terjadi penyerbuan terhadap sasaran sipil, Sersan khawatir akan tumbuh dampak politis yang merugikan negaranya. Apalagi izin langsung menyerbu sebetulnya belum didapat. Di samping itu, lebih penting, ada kejadian lain yang berlangsung di saat perahu itu lewat sekitar 15 meter di depan. Persis saat tangan kiri Sersan akan diangkat untuk memberi perintah menyerang, seorang wanita (ramping, berambut hitam, bergaun putih) keluar dari anjungan! "Seorang wanita! " bisik Sersan. "Tak mungkin kita tembak." la mengibaskan telapak tangannya memerintahkan pembatalan penyerbuan. Ia yakin sudah, perahu itu berisi penumpang sipil. Padahal, menurut Peter Dickens, penulis buku SAS, The Jungle Frontier yang menjadi bahan tulisan ini, perahu itu berisi Kolonel Moerdani - yang ditulisnya sebagai Komandan Pasukan Para Indonesia. Keterangan ini didapat berdasarkan pengakuan Jenderal Moerdani yang bertemu dengan Sersan-Sersan (ketika itu) Walsch dan Scholey, saat berkunjung ke markas SAS di Inggris 12 tahun kemudian. Peter Dickens, cicit pengarang terkenal Charles Dickens, mengaku menulis tentang operasi SAS di Kalimantan pada 1963-1966 ini atas permintaan anggota SAS yang dikenalnya. Rupanya, anggota SAS ini beranggapan, latar belakang Charles Dickens sebagai kapten angkatan laut Inggris - yang mendapat banyak medali - itu dapat membuat tulisan tentang SAS yang bisa menetralisasikan anggapan negatif tentang kesatuannya. * * * Tugas SAS yang banyak diliputi rahasia memang menjadi makanan empuk media massa yang cenderung sensasional. Dari pemberitaan seperti itu muncul gambaran anggota SAS sebagai sekumpulan pembunuh berdarah dingin, terutama setelah ditemukannya mayat-mayat yang diduga anggota IRA di Irlandia sejak 1976. IRA adalah gerakan bersenjata yang menginginkan merdekanya Irlandia Utara dari Inggris. Tertangkapnya beberapa anggota SAS di wilayah Irlandia dekat perbatasan Inggris, oleh penjaga perbatasan Irlandia, memperkuat dugaan umum keterlibatan kesatuan Inggris itu. Alasan SAS, bahwa kehadiran mereka karena tersesat, umumnya tak dipercaya. "Untuk kesatuan yang dikenal mampu menembus padang pasir Sahara tanpa bantuan kompas, alasan ini tak masuk akal," tulis Time tentang peristiwa itu. Publisitas buruk yang tentunya mendapat dorongan dari IRA itu baru berbalik arah ketika SAS, dalam operasi yang menakjubkan, menyerbu kedutaan Iran di London, 1980. Liputan televisi dalam operasi yang berlangsung 11 menit itu membuat nama SAS populer, hingga banyak media massa memuat cerita SAS dengan nada positif. Keadaan itulah, agaknya, yang menyebabkan pihak SAS bersedia memberi keterangan kepada beberapa penulis yang kemudian menerbitkannya dalam bentuk buku. Rupanya, mereka mulai belajar memanfaatkan media cetak. Itu tentu tak masuk dalam hayangan David Stirlin. ketika ia membuat konsep SAS di sebuah rumah sakit di Mesir, 1940. Pendaki gunung yang baru lulus dari Universitas Cambridge ini tadinya masuk dalam Kesatuan Scots Guardian, lalu mengajukan diri masuk kesatuan komando. Bertubuh tegap, dengan tinggi lebih dari dua meter dan berpengalaman mendaki Pegunungan Rocky, Stirling memang materi komando ideal. Di bawah pimpinan Jenderal Robert Laycock, kesatuan komando ini mulanya direncanakan untuk menyerbu Rhodesia. Namun, dalam kekacauan suasana perang, Letnan Dua David Stirling menemukan dirinya berada di Iskandariah, Mesir. Di sini ia berkenalan dengan Jock Lewes, lulusan Universitas Oxford, yang juga menjadi perwira komando. Keduanya segera bersahabat, dan membuat banyak rencana untuk menghancurkan jalur suplai Jerman Barat di gurun pasir barat Afrika. Kebetulan, sebuah paket berisi 50 parasut yang seharusnya dikirimkan ke India jatuh ke tangan Lewes. Kedua sahabat ini segera memanfaatkannya untuk berlatih, bersama dua teman mereka. Untuk itu, para perwira yang belum pernah terjun ini memanfaatkan sebuah pesawat Valencia tua dalam latihan, dan mengikat tali statik pembuka parasut mereka pada kaki kursi di pesawat. Celakanya, bentuk kapal terbang tua itu sedemikian rupa sehingga kemungkinan parasut menyangkut di ekor pesawat sangat besar. Dan itu terjadi pada David. Payungnya robek. Dan tubuh yang beratnya lebih dari satu kuintal itu terhempas ke batuan keras, luka dipunggung, dan lumpuh. Toh semangatnya tak ikut runtuh. Istirahat di rumah sakit dimanfaatkannya untuk menulis konsep kelahiran SAS, dengan sebuah pinsil. Idenya sederhana. Menurut perwira ini, penyerbuan ke garis belakang musuh sebenarnya tidak memerlukan dukungan angkatan laut atau harus dilakukan oleh satuan komando yang besar. Ia berpendapat, penyusupan para penyabot dengan parasut untuk menghancurkan lapangan terbang musuh dapat memberi hasil yang sama seperti penyerbuan satuan komando dengan personil 20 kali lipat. Setelah dua bulan dirawat, David Stirling sudah dapat berjalan dengan menggunakan penyangga. Ia memutuskan untuk menyampaikan konsep tertulis itu, secara pribadi, kepada panglima Sekutu di Timur Tengah, Jenderal Sir Claude Auchinleck. Menyadari kecilnya kemungkinan seorang perwira pertama untuk menghadap Panglima, Stirling memutuskan menghadap tanpa perjanjian. Tingginya pagar kawat yang mengelilingi markas Panglima tak menjadi halangan. Meninggalkan kedua alat penyangganya di luar, ia berhasil melompati pagar. Ia pun berjalan tertatih-tatih ke dalam, dan membuka banyak pintu kamar - sebelum mengetahui bahwa Jenderal Auchinleck sedang keluar. Pada saat itu petugas keamanan mulai menyadari kehadiran seorang tamu tak diundang. Beruntung Stirling berhasil menemui Deputi Panglima Letnan lenlral Neil Ritchie. beberapa saat sebelum petugas keamanan menemukannya. Begitu selesai memberi hormat kepada Jenderal yang masih terkejut ini, Stirling berkata. "Tuan. saya pikir sebaiknya Anda memperhatikan ini," sambil memberikan catatannya. Jenderal Ritchie membaca sekilas catatan itu. Kemudian mengajak Stirling berdiskusi. Akhirnya, ia diberi wewenang mengumpulkan 66 anggota komando Laycock - yang dalam proses dibubarkan untuk membentuk kesatuannya. Malahan, Stirling juga naik pangkat menjadi kapten, dan kesatuannya berada langsung di bawah Panglima. Promosi seperti itu, tak mengherankan, mengakibatkan banyak yang iri. Masuk akal pula jika untuk mendapatkan suplai saja dijumpai banyak kesulitan. Misalnya, untuk kesatuan baru ini cuma diberikan tiga buah tenda dan sebuah truk. Hanya, yang penting, Stirling tak banyak kesulitan dalam mengumpulkan anak buah. Untuk itu, kemampuannya membujuk menjadi sebuah legenda dalam sejarah SAS. Jock Lewes, seperti mudah ditebak, menjadi perwira pertama yang mendaftar. Proses kelahiran SAS pun mulai. Dan seperti umumnya sebuah kelahiran, SAS mengalaminya dengan penderitaan. Ini terjadi di tempat mereka berlatih, di sebuah desa bernama Kabrit, sekitar 150 km dari Kairo. Ketika itu latihan terjun payung akan dilakukan - setelah selesai latihan membaca peta, long march, dan bongkar pasang berbagai jenis senjata, termasuk buatan negara lawan. Kesulitan utama adalah mendapatkan pelatih terjun yang bermutu. Maklum, di pusat latihan terjun payung Inggris sendiri hal yang sama terjadi. Patut diingat bahwa kelahiran teknik terjun payung masih sangat baru. Pasukan pun berlatih seadanya. Sebelum terjun, misalnya, mereka melompat dulu dari truk yang berjalan dengan kecepatan 45 km per jam. Waktu terjun tiba. Kini digunakan pesawat terbang jenis Bombay yang lebih cocok daripada Valencia. Stirling pun melompat dalam dua kali penerbangan yang pertama. Kedua-duanya berjalan sempurna. Dalam penerbangan ketiga, ia sengaja tetap di darat untuk memperhatikan apakah cara mendarat yang dilakukan sudah benar. Dan betapa terkejutnya dia ketika dua penerjun pertama jatuh di depannya dengan payung tetap tertutup. Penerjun ketiga hampir menyusul, tapi bisa dihentikan si kepala penerjun. Stirling segera menyetop latihan hari itu, untuk dimulai kembali keesokan paginya. Ia menyelidiki mengapa kecelakaan itu terjadi. Dan petang itu pula diketahui penyebabnya. Ternyata, cincin penjepit tali statik parasut terlepas bila tali melintir. Padahal, kemungkinan melintirnya tali pada saat terjun cukup besar, dan parasut tak akan terbuka bila statiknya terlepas. Maka, cincin penjepit pun diganti yang baru - dan keesokan harinya Stirling menjadi penerjun pertama. Semua berjalan lancar - tetapi, seperti diutarakan seorang anggota pasukan, Sersan Mayor Bennet, "Hari itu adalah 4 jam terburuk dalam kehidupan kami. Kami duduk di dalam tenda dan merokok tak henti-hentinya, berusaha tidak memikirkan kecelakaan. Toh kami tetap memikirkannya." Kecelakaan dalam latihan tak terjadi lagi, tapi sebuah masalah baru muncul. Yang paling utama adalah menentukan bahan peledak apa yang dapat mereka gunakan. Problemnya: bahan peledak itu harus cukup kecil untuk dibawa, tapi mempunyai daya ledak yang besar. Malahan idealnya tidak hanya daya ledak, tapi juga daya bakar. Ternyata, bom jenis itu belum dikenal. Dan di situlah kejeniusan Jock Lewes tampak. Dengan mengadakan percobaan beberapa kali, ia berhasil mendapatkan campuran yang tepat dari minyak, plastik, dan thermite untuk menghasilkan bom yang diinginkan. Maka, peledak ini diberi nama "bom Lewes". * * * Jenderal Ritchie, yang mengikuti kemajuan latihan kelihatan cukup puas. Tapi seorang komandn pangkalan udara Inggris merasa skeptis terhadap ide Stirling. Karena itu, ia menantang si komandan untuk, bersama pasukan, masuk ke pangkalan Heliopolis dan memasang label sebagai bom tiruan paca pesawat yang ada, tanpa diketahui penjaga. Heliopolis adalah pangkalan terbesar di Kairo. Tantangan diterima. Dan empat kelompok Stirling, yang masing-masing terdiri dari 10 orang, dikirimkan ke sana. Mereka berjalan kaki, berbekal dua botol air dan 1/2 kg kurma tiap orang. Mereka menempuh jarak 145 km dalam tiga hari, tanpa diketahui - dengan cara hanya berjalan malam hari dan istirahat di kala siang. Padahal, Angkatan Udara melakukan penerbangan patroli untuk mencari mereka. Dapat dibayangkan betapa merah muka sang komandan pangkalan ketika mendapat laporan bahwa pesawat-pesawatnya diberi tempelan label. Philip Warner, penulis resmi sejarah SAS, beranggapan bahwa kepuasan Stirling saat itu lebih pada pembuktian bahwa idenya dapat dilaksanakan anak buahnya, daripada bisa diolok-oloknya komandan pangkalan. Kejadian ini menambah keyakinannya bahwa tugas pertama SAS, yang saat itu dinamakan detasemen L dari SAS, untuk menghancurkan lima buah pangkalan udara Jerman di daerah Gazala Tmimi, mempunyai prospek cerah. Hanya, sayang, cuaca ketika penyerbuan ternyata tidak cerah. Dan itulah musuh SAS yang lebih ganas dari tentara Jerman. Ketika itu Jenderal Auchinleck merencanakan suatu ofensif pada 18 November 1941. Karenanya, SAS direncanakan terjun pada 16 November malam, berkonsolidasi, dan melakukan serangan di lima pangkalan udara Jerman untuk melumpuhkan keunggulan udara Jerman saat itu, keesokan harinya. Maka, 60 anggota SAS berangkat menumpang lima pesawat Bombay menuju sasaran masing-masing. Keberangkatan itu hampir saja ditunda karena terjadinya kekacauan dalam peramalan cuaca - ada yang mengatakan bahwa cuaca akan baik, ada pula yang meragukannya. Stirling sendiri mendapat nasihat agar keberangkatan ditunda, tapi hasil musyawarah dengan para perwiranya memutuskan sebaliknya. Dan benar: Cuaca cerah yang mengantar keberangkatan mereka berubah menjadi berbadai. Pasukan yang diterjunkan pun tercerai-berai - bahkan sebuah pesawat hilang. Dan yang paling menyedihkan adalah lenyapnya sumbu peledak, hingga bom yang dibawa tak berguna. Agaknya, 22 orang yang berhasil kembali dengan pertolongan satuan gurun jarak jauh (Long Range Desert Group/LRDG) patut menganggap diri mereka beruntung. Pengalaman itu memberi warna baru dalam konsep pemikiran SAS. Tiga hal yang utama adalah: penerjunan hanya dilakukan jika cuaca mengizinkan: peralatan diterjunkan dalam paket yang utuh dan ada alternatif lain untuk mencapai sasaran selain terjun payung. Dalam hal ini LRDG adalah kesatuan yang menjemput SAS. "Jika begitu, mengapa tidak pergi ke sasaran bersama LRDG?" pikir Stirling. Gagasan ini pun diajukan, dan diterima. Maka, mulailah era kerja sama SAS dengan LRDG, yang menggunakan truk bersenjata dalam tugasnya. Dalam era inilah SAS mulai membuktikan kelebihan. Sejak operasi bersama yang pertama, 14 Desember 1941, hingga berakhirnya perang digurun dengan jatuhnya Kota Alamein, 23 Oktober 1942, hampir 400 pesawat Jerman dan Italia mereka hancurkan - dari 875 yang ada di kawasan itu. Belum lagi kendaraan serta peralatan perang lain. Hampir semuanya dilakukan dalam operasi kesatuan yang beranggotakan lima pasukan. Karena itu, korban di antara sekitar 80 anggota SAS saat itu relatif tinggi - hanya tinggal 20-an orang yang tersisa ketika terjadi penambahan anggota, Agustus 1942. Secara strategis, kegiatan SAS ini menyebabkan lebih banyak pasukan lawan harus ditarik dari garis depan untuk menjaga instalasi di garis belakang. Dan itu terjadi akibat serangan oleh hanya sedikit anggota SAS. Bayangkan kalau banyak. * * * Seleksi yang ketat kelihatannya merupakan salah satu faktor penyebab kecilnya jumlah anggota pasukan berbaret kelabu ini. David Stirling sendiri telah menetapkan standar yang tinggi sejak awal, dan pengalaman tempurnya justru lebih meyakinkannya untuk tidak menurunkan standar itu walaupun kebutuhan penambahan anggota dirasakan mendesak. Seorang calon anggota SAS akan menemukan dirinva dalam sebuah kelompok yang terdiri dari 20-an anggota. Bisa dipastikan, hasil tes psikologi mereka adalah: kepandaian di atas rata-rata asertive, penggembira, independen, dan terus terang. Usia umumnya sedikit di bawah 30, dengan pengalaman bertahun-tahun sebagai tentara. SAS memang mendapatkan calon anggotanya dari kesatuan lain. Selama 10 hari pertama para calon akan mendapatkan gemblengan fisik di markas SAS di Hereford, Inggris. Mereka juga akan memperoleh pelajaran membaca peta. Keahliar ini dipraktekkan dalam 10 hari berikutnya, ketika para calon harus mengadakan long march sendirian. Ketahanan fisik dan mentalnya diuji saat harus menempuh 64 km lintas alam di bawah 20 jam. Tentu saja dengan membawa ransel seberat 28 kg ditambah senapan seberat 5 kg. Para calon yang gagal segera dikembalikan ke kesatuan asal, sedangkan yang lulus harus mengikuti latihan lanjutan selama 14 minggu. Termasuk dalam latihan itu adalah mengenal tetumbuhan dan hewan yang dapat dimakan serta mempraktekkan pengenalan itu. Kemudian latihan diinterogasi - mereka diperlakukan seolah seorang tawanan dan mendapatkan siksaan mental. Salah satu contoh siksaan: diikat kuat di rel kereta api dengan mata tertutup, sementara sebuah kereta berjalan di (ternyata) rel sebelahnya. Tentu saja para calon ini dibuat percaya bahwa diri mereka mungkin bakal mampus. Kemudian mereka belajar melarikan diri, termasuk menipu dan membunuh anjing pelacak, dan terjun payung. Biasanya hanya 5% hingga 17% dari seluruh pendaftar berhasil lulus dari 17 minggu yang penuh pengalaman ini, dan berhak mendapatkan baret kelabu dengan emblem bergambar pisau bersayap yang di bawahnya diberi tulisan Who Dares Wins. Siapa berani, menang. Toh latihan belum selesai. Setiap peserta harus mengambil pendidikan kejuruan - seperti morse, kesehatan di lapangan, bahasa, bahan peledak, mendaki gunung, berperahu, dan terjun bebas. Bila semuanya telah dilalui, berarti mereka telah mengikuti pendidikan di SAS selama dua tahun. Berarti pula mulai memasuki tour of duty, yang di SAS berjangka tiga tahun. Jika waktu ini telah dilewati, dan si anggota masih fit, tugas dapat diperpanjang tiga tahun lagi, dan seterusnya. Tapi pada akhirnya ia akan kembali juga ke kesatuan asal. Latihan berat ini tampaknya merupakan modal utama SAS. Tanpa gemblengan seperti itu, tak mungkin anggota SAS dapat bertahan enam bulan di belantara Kalimantan terus-menerus. Atau seperti ditunjukkan oleh ketangguhan Prajurit David Sillito, yang memilih berjalan kaki menempuh padang pasir 300 km daripada menyerah kepada musuh. Padahal, ia tak mempunyai makanan, dan hanya berbekal sebotol air. Toh ia sampai di tujuan, delapan hari kemudian lemas, tapi hidup. Tapi tak ada gading yang tak retak. Sebagai pasukan yang dilatih untuk bergerak di garis belakang musuh dalam satuan yang sekarang ditentukan terdiri atas empat anggota, SAS sangat mengandalkan unsur pendadakan. Karena itu, kelebihannya terasa menonjol dalam operasi pengamatan dan sabotase di "dapur" musuhnya. Dalam operasi militer konvensional, korban yang jatuh di kesatuan ini sama banyaknya dengan korban kesatuan infanteri lain, seperti yang dialami dengan harga mahal - ketika mereka ikut menyerbu Benghazi dan Tobruk dalam sebuah serangan besar-besaran bersama kesatuan lainnya, 1942. Menyadari hal itu, operasi SAS di Eropa di saat Perang Dunia ll lebih diutamakan pada penyesuaian dengan ciri semula - garis belakang musuh. Ratusan anggota SAS diterjunkan di wilayah kekuasaan Jerman untuk mengorganisasikan perlawanan gerilya setempat. Sukses mereka, dalam mengumpulkan informasi vital dan kegiatan sabotase bisa terlihat dari keluarnya perintah Hitler untuk iangsung menembak mati setiap anggota komando yang bisa ditangkap. Perintah ini umumnya diikuti. Ironisnya, SAS sempat bubar - bukan karena ulah musuh, melainkan dalam proses demobilisasi besar-besaran setelah perang usai. Tepatnya, kesatuan ini secara resmi dibubarkan pada 8 Oktober 1945, dengan sebuah upacara. * * * Hanya saja, riwayat rupanya belum berhenti. Ketegangan di dunia ternyata tidak berakhir dengan selesainya Perang Dunia ll. Bentuknya memang berbeda - terutama berupa gerakan revolusioner atau komunis di negara-negara yang baru merdeka. Fakta-fakta ini dijadikan alasan bagi para pendukung SAS untuk mendesak Markas Besar Angkatan Darat Inggris agar menghidupkan kembali kesatuan itu. Dan usaha itu berhasil - SAS diresmikan kembali pada 1947, di bawah pimpinan Letnan Kolonel B.M.F. Franks, D.S.O., M.C., T.D. Pendaftaran calon anggota segera dibuka. Banyak yang berminat, sedikit yang lulus, seperti yang dulu juga. Dan yang lulus itu, setelah lewat gemblengan, mendapat kesempatan diuji ketika Perang Korea pecah, 25 Juni 1950. Segera terbentuk tim yang sifatnya sukarela untuk beroperasi di sana. Tapi gencatan senjata dan perundingan mulai berlaku, hingga tim ini akhirnya tidak dikirim ke Korea melainkan ke Singapura. Di sinilah, hingga 1959, pengalaman bertempur di hutan tropis melawan gerombolan komunis Malaysia menjadikan SAS salah satu pasukan yang diakui kemahiran tempur hutannya. Pasukan Indonesia juga pernah merasakan bertempur dengan SAS - pada saat Konfrontasi, 1962-1966, di Kalimantan. Cerita di awal tulisan ini adalah bagian dari "Operasi Claret" mereka, yang berupa penyerangan terhadap pos dan jalur komunikasi tentara kita yang berada hingga 10 km dari perbatasan. Maksudnya sebagai serangan mendahului untuk memperkecil kemungkinan masuknya tentara Indonesia ke Sarawak. Tapi yang paling berhasil dilakukan SAS di Kalimantan, menurut Tony Geraghty, "adalah operasi memenangkan hati penduduk setempat hingga selalu membantu SAS," katanya. Bekas wartawan militer Sunday Times ini menulis sebuah buku lengkap tentang operasi SAS, 1980, yang diperbaharui tiga tahun kemudian untuk memasukkan cerita Perang Malvinas. Dari buku berjudul Who Dares Wins ini dapat terlihat bagaimana pasukan itu, yang saat ini berkekuatan 400-an, bertempur di berbagai belahan dunia, dari panasnya padang pasir ke lembabnya hutan tropis hingga dinginnya Kepulauan Malvinas dekat Kutub Selatan. Pengalaman beroperasi di Irlandia Utara, dan semakin seringnya gerakan teroris beraksi, menyebabkan SAS membentuk tim khusus antiteroris, 1973. Tim yang dikenal dengan nama resmi Counter-Revolutionary Warfare (CRW) SAS ini menunjukkan kebolehannya tujuh tahun kemudian, dalam operasi pembebasan kedutaan Iran di London, 6 Mei 1980. Pihak CRW SAS juga dimintai nasihat pada saat petugas keamanan Belanda menghadapi pembajakan sekolah dan kereta api oleh gerakan RMS, 1977. Dan pada tahun yang sama, dua orang anggotanya Mayor Alastair Morrison O.B.E., M.C. dan Sersan Barry Davies, B.E.M. - aktif membantu pasukan antiteror Jerman Barat, GSG 9, membebaskan pesawat yang dibajak di Mogadishu, dengan menggunakan senjata terbaru berupa granat pengejut. Ini adalah senjata yang sangat efektif dalam operasi antiteroris: cahaya dan bunyi yang dikeluarkannya sanggup membuat orang yang terkena menderita shock selama lima detik, tanpa terluka. Masih banyak lagi alat bantu yang dimiliki CRW SAS. Misalnya mikrofon untuk mendengar jarak jauh, atau alat pengindera bahang yang, dari luar, dapat mendeteksi bagian bangunan yang mana yang ada manusianya. Pokoknya, segala kemungkinan yang diberikan teknologi dimanfaatkan betul. Toh semua ini tak menjamin operasi antiteroris pasti berhasil. Akhirnya, masalahnya kembali ke manusia di belakang segala peralatan itu - dan dalam hal ini adalah kelincahan anggota CRW yang jumlahnya sekitar 20 orang. Untuk kesatuan yang selalu berlatih ini, masalah yang dihadapi adalah bagaimana membebaskan sandera dan, jika perlu, membunuh teroris penyanderanya. Jawaban CRW SAS: melatih anggotanya sedemikian rupa hingga menjadi penembak jitu dan cepat, terutama untuk jarak dekat. Untuk mendukung hal ini, diperlukan senjata yang memadai yang akurat, andal, dan berkecepatan rendah. Faktor kecepatan rendah itu diperlukan untuk menjamin peluru yang ditembakkan kepada teroris tidak akan menembus tubuhnya - lebih-lebih bila diingat kemungkinan melukai orang tak bersalah. Mulanya, dipilih senapan mesin ringan Ingram buatan Amerika. Namun, karena semburan otomatisnya dianggap kurang terkontrol, akhirnya diambil senapan Heckler & Koch MP 5 sebagai standar. Senjata buatan Jerman Barat ini lulus pengujian dengan baik ketika digunakan dalam membebaskan kedutaan Iran tadi. Ada kalanya pula senjata tak perlu dipergunakan. Ini dialami CRW SAS tatkala bertugas pertama kali menghadapi pembajakan pesawat sipil oleh seorang pemuda Iran bersenjata, Januari 1975, di Manchester. Pembajak, yang kemudian diketahui memakai senjata mainan, ditipu. Ia menyangka telah tiba di tujuan yang diminta, Paris, padahal pesawat mendarat di lapangan udara Stansted, Inggris. Hanya dengan bujukan, teroris ini menyerah kepada tim CRW SAS dan dikirim ke penjara. Satu-satunya korban: seorang tentara yang digigit anjing polisi saat meninggalkan pesawat. Dalam tugas kedua pihak CRW SAS malah tak perlu membujuk. Ketika itu, Desember 1975, empat anggota Irish Republican Army (IRA) bisa dikepung polisi dalam sebuah flat, di London, tempat mereka menyandera sepasang penghuninya yang separuh baya. Dengan menggunakan teknologi serat optik, Scotland Yard dapat memonitor kegiatan teroris ini di dalam flat. Ternyata, mereka memiliki sebuah radio transistor yang disetel. Dan dari radio itu mereka mendengar BBC mengumumkan bahwa satuan SAS telah ada di tempat dan siap menyerbu. Para teroris segera menyerah. Agaknya, nama SAS saja sudah cukup membujuk mereka. Kehadiran SAS dalam kejadian itu, yang ternyata membawa sukses, tidak menyebabkan mereka lolos dari kritik. Masyarakat Inggris, yang peka terhadap kegiatan militer dalam kehidupan sehari-hari, mempertanyakan: Siapakah yang bertanggung jawab dalam situasi seperti ini? Polisi setempat atau pihak militer? Jawabnya: jika peristiwanya kriminal murni, pihak polisi yang bertanggung jawab. Tapi bila menyangkut terorisme, yaitu usaha menekan pemerintah untuk suatu gerakan politik, tanggung jawab berada di tangan sebuah panitia khusus pejabat pemerintah yang dikenal dengan nama Cobra (Cabinet Office Briefing Room). Panitia ini diketuai menteri dalam negeri, dengan anggota menteri pertahanan dan menteri luar negeri. Pihak polisi, dinas kontraspionase M15 dan CRW SAS mempunyai perwakilan di situ sebagai para penasihat ahli. Dengan begitu, SAS mempunyai jalur ke pimpinan tertinggi, juga jalur operasional dengan polisi yang tetap memegang kontrol taktis saat berunding dengan pembajak. Menyadari kepekaan masyarakat ini, pihak SAS membuat sebuah peraturan dasar tentang apa yang boleh dan tak boleh dilakukan. Salinan peraturan ini selalu ditempelkan di ruang operasi tim CRW SAS dekat lokasi kejadian. Berbekal peraturan yang hampir serupa, anggota SAS yang telah beberapa lama bertugas di CRW biasanya dipindahkan ke Irlandia Utara. Tim ini dikenal dengan nama Sabre, dan secara resmi beroperasi di perbatasan Irlandia dan Inggris sejak Januari 1976. Kelihatannya pemerintah Inggris ingin memanfaatkan keahlian menyusup pasukan khusus ini justru untuk mencegah menyusupnya anggota IRA dari Irlandia. Perputaran tugas di CRW SAS, dan sebagai Tim Sabre, dengan begitu saling melengkapi: berlatih di CRW dengan metode baru dan mempraktekkannya di Irlandia Utara. Tugas menghadapi kaum teroris yang tak mengenal aturan perang menyebabkan anggota SAS selalu menyembunyikan identitas mereka. Sebab, selain memperhitungkan nyawa sendiri, mereka juga harus mengingat kemungkinan teroris menyandera sanak keluarga. Itulah sebabnya, bahkan dalam berlatih pun satuan ini sering mengenakan topeng yang hanya memperlihatkan mata. Hanya saja mereka selalu mengenakan seragam. "Bertolak belakang dengan banyak pendapat umum, mata-mata bukanlah tugas SAS," kata si pengarang buku Who Dares Wins. Karena itu, mereka harus dibedakan dari satuan khusus inteligen yang bertugas di tengah musuh dan berpura-pura menjadi satu dengan mereka, seperti M16 (Inggris) atau CIA. Memang, tugas tempur SAS adalah di garis belakang musuh, tapi mereka tetap mengenakan seragam sendiri dan melakukan pengamatan dari tempat tersembunyi, serta melakukan penyerangan jika diperintahkan. Ini jelas terlihat dalam tugas yang dilakukan pada Perang Malvinas, yang dimulai dengan serbuan Argentina, 2 April 1982. * * * Komandan resimen 22 SAS, Letnan Kolonel Michael Rose, mendengar berita penyerbuan itu dari BBC. Ia segera memerintahkan Skuadron D dari resimennya untuk bersiap-siap, dan menelepon Brigadir Jenderal Julian Thompson, komandan Brigade Komando 3 yang bertugas sebagai ujung tombak serangan balasan Inggris, untuk menawarkan penggunaan pasukannya. Keesokan harinya seluruh anggota Skuadron D telah berkumpul di markas SAS. Skuadron adalah satuan yang terdiri dari hampir 100 anggota, yang biasanya dipecah dalam tim beranggotakan empat orang. Satu tim selalu mempunyai ahli bahasa, ahli komunikasi, ahli peledak, dan komandan - meski bisa saja seorang anggota mempunyai lebih dari satu keahlian. Resimen 22 SAS ini terbentuk dari lima skuadron. Dua hari setelah penyerbuan Argentina itu, anggota Skuadron D mendapat briefing tentang keadaan Kepulauan Malvinas. Sore itu tim pendahulu terbang ke P. Ascension. Ini adalah pangkalan komunikasi Inggris yang disewakan kepada AS dan terletak di tengah perjalanan antara Inggris dan Malvinas. Dan 20 jam kemudian seluruh skuadron berangkat. Tujuan belum diberitahukan - mereka hanya diperintahkan ikut kapal laut Fort Austin begitu tiba di P. Ascension. Kenyataannya, skuadron di bawah pimpinan Mayor Cedric Delves ini harus menunggu beberapa hari di pulau itu, sebelum naik ke kapal Fort Austin yang berangkat bersama armada Inggris lainnya, 9 April 1982. Tujuan kini sudah jelas. Bersama dengan 150 anggota marinir dari Komando 42 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Guy Sheridan, mereka ditugasi merebut kembali pangkalan penangkap ikan paus di Georgia Selatan. Pulau yang terletak 1.400 km dari Kepulauan Malvinas ini diduduki Argentina pada 3 April tahun itu. Sebagai upaya pertama sebelum merebut Pulau Georgia Selatan, Sheridan dan Delves merencanakan pengiriman tim pengamat tersembunyi, 14 April. Apalagi laporan dari hasil patroli kapal selam Conquerordan pengamatan udara menunjukkan tidak adanya kegiatan angkatan laut di sekitar pulau. Rencananya, satuan SAS akan didrop di bukit sebelah barat !aut Desa Leith dan mencari pos pengamatan yang Ideal. Sementara itu, satuan Special Boat Service (SBS) akan berusaha mendarat di pantai utara Desa Grytviken, untuk melakukan usaha serupa. SBS adalah satuan yang tugasnya mirip SAS, bahkan lahir dari pecahan SAS, tapi berinduk pada satuan marinir dan mempunyai kekhususan dalam bidang perang di permukaan atau di bawah air. Sejumlah 25 anggota SBS ini digabungkan pula dalam satuan tugas merebut Pulau Georgia Selatan. Dalam upaya mempersiapkan operasi pengintaian itu, dua anggota SAS bergadang semalam suntuk untuk menyediakan peta mendetail dari informasi yang mereka terima. Kebanyakan bahan informasi itu didapat dari para ahli di kapal peneliti Inggris Endurance, yang sedang menjelajah wilayah Georgia Selatan ketika serbuan Argentina terjadi. Di antara para perencana juga sempat terjadi perdebatan - tentang mungkin atau tidaknya wilayah bersalju itu dilewati anggota pengintai di bawah pimpinan Kapten (Gavin) John Hamilton, veteran pendaki puncak Gunung Kenya. Akhirnya, diputuskan untuk dicoba. Setiap anggota pun dilengkapi peta yang mendetail, hingga gambar ruang pada setiap bangunan pun tersedia. Suatu bukti bahwa SAS bukanlah kelompok orang nekat, melainkan kumpulan manusia penuh perhitungan. Maka, 12 anggota SAS diterbangkan ke perusak HMS Antrim, dan baru 21 April petang berangkat dari kapal ini dengan tiga helikopter. Setiap anggota membawa perlengkapan seberat 40 kg, ditambah secara bergantian - empat kereta salju yang masing-masing beratnya 100 kg. Dua kali ketiga helikopter ini mencoba mendarat di bukit setinggi 600 meter itu. Tapi cuaca dengan angin mencapai 90 km/jam memaksa mereka kembali ke kapal, dengan terguncang-guncang. Baru pada percobaan yang ketiga, mereka berhasil mendarat. Tetapi, ternyata, kesulitan justru bertambah. Selama lima jam rombongan ini hanya mampu menempuh jarak 1 km. Maklum, selain cuaca buruk, mereka harus berhati-hati terhadap jurang tersembunyi yang biasanya tertutup salju. Baru esok paginya, setelah melalui malam yang sangat dingin, mereka mengambil keputusan: pasukan tak mungkin mampu bertahan hidup di sana untuk 24 jam lagi . Karena itu, merekapun menghubungi kapal, minta dijemput. Ketiga helikopter penjemput pun menemui kesulitan untuk mendarat. Hanya dengan redanya angin selama 15 menit, dan dengan bantuan granat asap serta gelombang radio, pasukan dapat ditemukan dan diangkut. Tapi cuaca semakin buruk. Padahal, cuma sebuah helikopter yang memiliki peralatan navigasi yang canggih untuk menembus kabut. Maka, pesawat helikopter Wessex Mk3 - yang juga berisi komandan Skuadron D, Mayor Delves bergerak di depan, sementara dua buah Wessex Mk5 mengikuti. Terlalu kuatnya cuaca itu menyebabkan pula sebuah Wessex Mk5 terbanting ke salju, menggelosor pada sisi kiri. "Untung, pintunya di sebelah kanan," gerutu seorang anggota SAS sambil melompat keluar dari rongsokan. Cuma satu dari tujuh penumpang helikopter sial itu yang mengalami cedera - Kopral Bunker namanya, dan ia masih bisa keluar sendiri. Kedua helikopter lainnya segera mendarat di samping bangkai Mk5 itu. Para penumpangnya berlompatan untuk memberi pertolongan. Akhirnya, semua peralatan, kecuali sen jata, ditinggalkan - agar semua prajurit dapat ditumpangkan pada dua helikopter yang ada. Wessex Mk3 pun berangkat mendahului, disusul oleh helikopter berikutnya. Kedua pilot sadar betul bahwa tambahan beban akan mempersulit penerbangan mereka. Ternyata, kejadian berulang. Tiba-tiba saja helikopter Wessex Mk5 menggelosor di salju, kali ini pada sisi kanan badan. Mayor Denver memberitahu Letnan Kolonel lan Stanley tentang kecelakaan ini, tapi pilot Wessex Mk3 ini tak bisa melakukan hal lain, kecuali mencatat lokasi kecelakaan dan segera terbang kembali ke kapal. Sementara itu, berita disampaikan lewat radio ke kapal. Maka, ruang peraatan darurat pun dibuat di ruang perwira kapal. Para korban segera diperiksa begitu helikopter Wessex Mk3 tiba, sementara para teknisi mengisi bahan bakar helikopter yang segera terbang kembali ke lokasi kecelakaan. Pada saat itu, para penumpang helikopter yang jatuh berhasil keluar dari rongsokan dengan susah payah. Mereka mendirikan tenda, dan mengirim berita lewat radio bahwa tak ada yang luka parah. Ian Stanley tiba, dan dengan berat mendaratkan helikopternya di tengah cuaca yang tetap sangat buruk. Tujuh belas manusia segera memenuhi kabin helikopter yang dirancang untuk lima orang ini, dan dengan mesin mendengung pesawat itu terbang kembali ke kapal. Kecuali pendaratan yang "agak keras", helikopter yang dirancang untuk memburu kapal selam itu berhasil mendarat di perusak HMS Antrim dengan selamat. Tak heran jika malam itu seluruh skuadron mengundang minum lan Stanley dan awak helikopter lainnya di ruang makan perwira, untuk mengucapkan terima kasih. Pemeriksaan kesehatan cuma mendapatkan seorang anggota SAS yang perlu dijahit karena luka di pipi, selain memarnya punggung Kopral Bunker. Keesokan harinya, usaha pengintaian diteruskan. Kali ini akan dicoba menggunakan perahu karet bermotor. Direncanakan untuk menggunakan lima perahu jenis Gemini dengan tiga penumpang setiap perahu. Untuk menjamin keandalan mesin 40 DK yang digunakan, kelima mesin itu dilepaskan dahulu dari perahu dan dijalankan di bengkel kapal untuk pemanasan, baru dipasang kembali di perahu Gemini tersebut. Kali ini, para anggota pengintai SAS diharapkan mendarat di Pulau Grass, sekitar 800 meter dari HMS Antrim. Kesulitan pertama terjadi ketika tiga mesin Gemini tak mau di-start. Berarti ada dua pilihan: Menunggu perbaikan mesin dengan risiko laut sudah surut hingga operasi perlu ditangguhkan 24 jam, atau menggunakan dua Gemini yang berfungsi untuk menarik tiga yang mogok. Hasil musyawarah kilat memutuskan: segera berangkat. Maka, sebuah Gemini menarik dua yang mogok, sedangkan yang satu lagi menarik Gemini mogok yang lainnya. Tapi cuaca tenang tiba-tiba berubah lagi menjadi badai dengan angin berkecepatan 160 km/jam. Kelima perahu pun tercerai-berai dan tali penyambung putus. Hanya berkat kegigihan penumpangnya, tiga buah Gemini berhasil mencapai sasaran sedangkan sebuah Gemini ditemukan Letnan Kolonel lan Stanley terbawa hanyut, beberapa jam kemudian. Ketiga penumpangnya segera diangkut oleh l1 helikopter setelah penumpang terakhir menenggelamkan Gemini-nya agar tak jatuh ke tangan musuh. Gemini terakhir sempat hanyut ribuan kilometer sebelum berhasil mendarat di sebuah pulau. Setelah bertahan selama tiga hari dalam cuaca yang membeku itu, baru mereka merasa cukup aman untuk minta pertolongan lewat radio. Perasaan mereka benar, karena Georgia Selatan saat itu telah jatuh ke tangan Inggris kembali. Yang penting, mereka berada dalam keadaan siap meneruskan operasi ketika ditemukan helikopter yang memenuhi panggilan mereka, dan itu memang dilakukan. Ketika tim SAS sibuk membentuk pos pengintaian mereka di P. Grass, tim SBS juga melakukan hal yang serupa. Beberapa saat lewat tengah malam, 23 April 1982, tim SBS melompat dari helikopter yang membawanya ke pantai di bagian utara Desa Grytviken. Ini adalah usaha kedua mereka malam itu setelah usaha sebelumnya dengan perahu karet Gemini mengalami kegagalan karena perahunya bocor dihantam kepingan-kepingan es dalam badai - hingga mereka terpaksa dijemput helikopter. Dalam perjalanan kembali ke kapal setelah mengedrop tim SBS ini, pilot helikopter Wessex Mk3 Letnan Kolonel lan Stariley, menemukan kapal selam Argentina Santa Feyang baru keluar dari pelabuhan Grytviken untuk memburu kapal Inggris. Helikopter yang dirancang untuk memburu kapal selam ini segera menyerang Santa Fe dengan bom antikapal selamnya hingga Santa Femengalami kerusakan dan tak mungkin menyelam karena bocor. Beberapa saat kemudian, sebuah helikopter Wasp dari HMS Endurance dan helikopter Lynx dari HMS Brilliant yang dipanggil oleh Stanley turut menghajar kapal selam sial ini dengan roket dan senapan mesin hingga oli yang bocor dari Santa Fe mulai menggenangi laut di sekitar kapal selam tersebut yang segera melaju masuk ke pelabuhan Grytviken kembali. Penyerangan mendadak ini, agaknya, menimbulkan kekacauan dan kepanikan di Desa Grytviken. Satuan pertahanan antiserangan udara Argentina segera memuntahkan peluru senapan mesin ke arah helikopter penyerang yang, sebelum kabur karena kehabisan peluru, masih sempat melihat para awak Santa Febertaburan mencari perlindungan di Grytviken. Santa Fe pada saat itu kelihatan mulai miring. Sadar bahwa musuh sudah mengetahui kehadiran mereka, Letnan Kolonel Guy Sheridan memutuskan bahwa penyerangan Grytviken harus segera dimulai. Masalahnya adalah pasukan yang tersedia hanyalah yang berada di HMS Antrim, sedang di kapal lain masih terlalu jauh atau tak mempunyai landasan helikopter yang memadai. Akhirnya, dapat terkumpul 175 pasukan yang kebanyakan terdiri dari SAS yang tetap berniat menyerbu walaupun sadar Argentina memiliki 150 pasukan di Grytviken. "Pertimbangan kami, pasukan Argentina sudah jatuh morilnya," kilah seorang perwira yang ikut merencanakan penyerbuan ini. Ke-75 pasukan campuran antara SAS, marinir angkatan laut, dan SBS ini segera didaratkan oleh helikopter beberapa kilometer di selatan Grytviken. Termasuk dalam grup ini adalah Kapten Chris Brown yang bertugas sebagai pengintai bagi meriam 4,5 inci HMSAntrim. Berkat laporan kapten angkatan laut ini, tembakan meriam HMS Antri menjadi lebih akurat - yaitu sekitar posisi pertahanan Argentina. Maksudnya memang bukan untuk menghancurkan, melainkan mengancam pasukan Argentina agar menyerah saja. Adanya beberapa bendera putih berkibar dekat pos pertahanan Argentina membuat Mayor Delves minta izin pada Letnan Kolonel Sheridan untuk maju mendekat. Maksudnya untuk menyelidiki apakah bendera itu merupakan isyarat menyerah. Izin diberikan, maka pasukan SAS pun mulai merangkak maju dengan hati-hati. Sebuah titik hitam di puncak bukit yang terletak di bagian kiri arah maju pasukan diduga sebagai pos pertahanan. Maka, Kapten Hamilton pun menghajarnya dengan roket antitank Milan yang tepat mengenai sasaran, yang ternyata cuma selembar seng bekas. Mereka maju kembali dan 800 meter kemudian, tampak gerakan seperti kepala bertopi cokelat di hadapan mereka yang langsung disembur dengan senapan mesin. Bahkan, atas permintaan Kapten Hamilton, juga digunakan meriam 4,5 inci HMS Antrim. Baru ketika sampai dekat sasaran disadari bahwa yang mereka hajar adalah delapan ekor gajah laut! "Wah bentuknya sudah tidak keruan," komentar seorang pasukan SAS, yang kembali dikejutkan dengan adanya sebuah makhluk yang bergerak kemudian bersembunyi di balik rumpunan rumput. Kali ini tak langsung ditembak, dan ternyata memang tidak perlu. Habis, hanya seekor pinguin, sih. Akhirnya, pasukan SAS tiba di lereng bukit. Dari ketinggian itu Desa Grytviken tampak jelas. Juga kapal selam Santa Fe di pelabuhannya. Tak seorang manusia pun tampak, walaupun selembar bendera Argentina tampak berkibar dari tiang di depan sebuah bangunan utama berbentuk L. Lima belas menit kemudian, satuan marinir tiba di lereng bukit yang sama. Tiba-tiba pasukan Argentina keluar dari persembunyian mereka dan berbaris didekat bendera. SAS pun segera turun untuk mengamankan, mengepung dengan senjata siap tembak. Upacara menyerahnya pasukan Argentina kepada Inggris siap dimulai. Untuk itu, Sersan Mayor Gallagher segera mengganti bendera Argentina dengan bendera Inggris yang ia bawa sambil tersenyum lebar. Letnan Kolonel Sheridan, sebagai perwira paling senior, tiba dengan helikopter untuk menerima secara resmi menyerahnya pasukan Argentina ini. Namun, beberapa tindakan pengamanan ternyata harus dilakukan dahulu. "Kalian baru saja berjalan melewati lapangan ranjau," kata seorang tawanan yang dapat berbahasa Inggris dengan wajah heran. Kopral Paul Bunker dan Sersan 'Lofty' Arthy segera minta ditunjukkan letak ranjau-ranjau tersebut dan menjinakkan serta memberi tanda ranjau-ranjau tersebut. Keesokan harinya sekitar 50 anggota SAS dan SBS terbang dengan helikopter untuk menyerbu Desa Leith, dengan kapal HMS Plymouth dan HMS Endurance bersiap untuk memberi bantuan artileri. Tapi garnisun yang sebelumnya menyatakan akan bertempur hingga titik darah penghabisan itu ternyata langsung menyerah tanpa perlawanan. Perlawanan, dalam penyerbuan di Kepulauan Malvinas, baru dirasakan ketika SAS menjalankan fungsi utamanya: pengintaian. Tim pengintai yang terdiri dari empat orang, dikirim pertama kali, subuh 1 Mei 1982. Dalam minggu pertama bulan ini saja tercatat lima tim SAS dan enam tim SBS diberangkatkan ke berbagai lokasi di Kepulauan Malvinas. Tapi, tentara Inggris yang pertama kali menjejakkan kaki di Kepulauan Malvinas ini ternyata adalah Kapten Chris Brown dari tim pengamat meriam kapal angkatan laut. Saat itu ia berada di dalam helikopter Lynx untuk membantu pembidikan awak meriam di kapal-kapal Inggris yang bersama pesawat Vulcan angkatan udara dan pesawat Harrier angkatan laut melakukan pengeboman terhadap instalasi militer Argentina di Kepulauan Malvinas. Ternyata, helikopternya terkena tembakan hingga harus melakukan pendaratan darurat selama 10 menit sebelum dapat terbang kembali. Di bawah lindungan pengeboman inilah, tim pengintai berhasil mendarat tanpa gangguan berarti. Mereka kemudian berjalan kaki mendekati lokasi instalasi musuh untuk membuat pos pengamat yang umumnya berada di atas bukit. Rata-rata tim. SAS harus melakukan perjalanan 30 km untuk mencapai pos itu, sementara tim SBS umumnya masuk melalui laut dan melakukan pengamatan daerah pantai. Mereka membawa perbekalan untuk satu minggu, tapi kebanyakan harus bertahan lebih lama. Tim terlama tercatat tinggal selama 26 hari di daerah musuh dengan tegang. Bahwa penderitaan mereka tidak sia-sia barangkali dapat tergambar dari pernyataan resmi tentang Kapten Aldwin Wight berdasarkan keterangannya, saat anggota SAS ini menerima medali penghargaan. Pernyataan tersebut berbunyi: "Menyelusup dari jarak 200 km, ia (Kapten Wight) menempatkan posisi timnya dekat dengan kegiatan musuh, terputus dari segala kemungkinan pertolongan jika kehadirannya diketahui musuh. Posisi ini dipertahankannya selama 26 hari, ketika ia menghasilkan laporan yang menggambarkan kegiatan pasukan musuh di daerah Stanley dengan jelas dan akurat. Data yang tidak bisa didapat dari sumber lain ini terbukti sangat vital dalam proses perencanaan penyerbuan terakhir. Ia pernah melaporkan kehadiran satuan helikopter musuh yang segera dijawab dengan serangan udara, yang berhasil menghancurkan empat buah helikopter pembawa pasukan. Helikopter ini sangat vital bagi musuh dalam usahanya mempertahankan keluwesan penempatan pasukan dan kecepatan melakukannya. Usaha penghancuran helikopter ini sebelumnya menemui kesulitan karena kesatuan helikopter ini selalu berpindah tempat. Walaupun posisinya sulit dan terbuka, laporan inteligennya selalu akurat dan diperbaharui. Kondisi tempat tinggal dia dan anggota timnya sangat sulit, dengan cuaca bervariasi dari hujan yang sangat dingin hingga badai. Cuaca baik cuma ada beberapa hari." Dalam pos pengamat ini, anggota tim biasanya membuat lubang yang tak dapat lebih dari 1/2 m dalamnya karena air akan keluar. Lubang ini kemudian diberi atap dari kawat nyamuk dan ditutup dengan rerumputan. Perlu dilakukan untuk menghindarkan penyergapan patroli musuh ataupun pengamatan udara dengan helikopter. Bagaimana dinginnya cuaca barangkali dapat dilihat dari gugurnya seorang anggota marinir Inggris disebabkan ia memaksakan diri tinggal beberapa jam dalam lubang yang berair. Tak semua tugas pengintaian ini cuma menunggu. Di Pulau Pebble, tim SAS sempat mempraktekkan keahliannya yang lain serangan mendadak terhadap instalasi musuh oleh satuan kecil yang kemudian menghilang. Serangan ini dilakukan oleh 20 anggota SAS, sementara tiga tim lainnya berjaga-jaga. Sebelumnya, dua tim pengintai didaratkan oleh helikopter di ujung Barat Kepulauan Malvinas dengan membawa kano yang bisa dilipat. Kano ini diperlukan karena sasaran terletak di Pulau Pebble, seberang Pulau Malvinas. Setelah melakukan pengamatan selama sehari penuh, kedua tim ini berpisah. Satu tim berjaga-jaga di kano sebagai pusat komunikasi dengan kapal armada, sementara tim lainnya berjalan menuju lokasi yang diperkirakan menjadi pangkalan militer musuh. Setelah berjalan semalam suntuk, tim pengintai ini tiba di pangkalan persis saat terang tanah. Betapa terkejutnya mereka, ketika melihat 11 pesawat Argentina tampak berserakan di pangkalan itu, sekitar 2 km di depan mereka. Celakanya, daerah pangkalan itu terdiri dari tanah yang datar tanpa ada tempat untuk bersembunyi. Maka, keempat anggota tim segera menanggalkan ransel mereka dan, dengan hanya membawa senjata, merayap mendekati pangkalan hingga mencapai tanah kering. Di tempat itulah tim ini melakukan pengamatan sehari penuh tanpa diketahui pasukan pengawal pangkalan dan baru malam hari kembali ke tempat tim komunikasi untuk melaporkan kehadiran pesawat ini pada armada. Beberapa saat kemudian, armada mengirimkan berita bahwa akan dikirim bantuan untuk menyerbu pangkalan tersebut dengan sasaran menghancurkan semua pesawat dan membunuh pengawalnya sebanyak-banyaknya. Penyerangan direncanakan pukul 7 pagi dengan lama serangan 30 menit. Waktu yang pendek ini diberikan karena armada harus segera menjauh dari Kepulauan Malvinas begitu cuaca terang, yang berarti mengundang serangan udara Argentina. Mulanya, pasukan SAS menghajar pesawat tersebut dengan roket dan senapan mesin, sementara meriam kapal menghajar markas pangkalan. Melihat tembakan balasan dari kubu pertahanan Argentina tidak terlalu gencar, pasukan di bawah pimpinan Kapten Hamilton segera menyerbu ke tengah pangkalan dan, dengan dingin, menempelkan bom waktu pada semua kapal. Suasana tambah hiruk pikuk karena tembakan meriam kapal berhasil mengenai gudang amunisi pangkalan hingga meledak dengan gempita. Seorang serdadu terjatuh karena pecahan bom di kaki kirinya. Sersan Curass dari bagian kesehatan segera membalut luka itu, dan sang prajurit pun dapat berjalan kembali. Ledakan dan kebakaran yang terjadi segera menerangi pasukan SAS yang sedang mengundurkan diri dari lapangan terbang. Pada saat itulah, sebuah ranjau yang dikontrol dari markas pangkalan meledak di tengah-tengah pasukan SAS. Kopral Paul Bunker terlempar setinggi tiga meter dan jatuh pingsan. Dua orang rekannya segera mengangkat sang kopral dan membawanya ke tempat perjanjian berkumpul. Dalam perjalanan ini, terdengar suara mendekat empat tentara Argentina yang segera dihabisi oleh M-16. Lima belas menit setelah serangan, semua anggota pasukan telah berkumpul di lokasi perjanjian dan mengadakan gerakan mundur teratur. Pukul 7.30, setengah jam setelah serangan dimulai, tembakan terhenti. Mereka segera berjalan menuju lokasi perjanjian dengan helikopter penjemput yang datang tepat pada waktunya, pukul 09.30. Delapan puluh menit kemudian, mereka sudah berada di kapal induk Hermes. Belakangan, baru diketahui bahwa jumlah pengawal pangkalan yang diserang adalah 114 orang, lebih dari tiga kali pasukan SAS yang menyerbu. Penghancuran pangkalan di Pebble ini merupakan salah satu faktor penunjang suksesnya pendaratan 3.000 pasukan Inggris di San Carlos, 21 Mei 1982. Namun, sebagian besar perintis pembuka serangan ini tak dapat menyaksikan pendaratan ini. Dua hari sebelumnya, 20 anggota SAS, yang kebanyakan adalah perintis penyerbu Pebble, gugur dalam kecelakaan helikopter. Kecelakaan ini terjadi dalam penerbangan mereka dari kapal induk HMS Hermes ke kapal pendarat HMS Intrepid untuk mempersiapkan pendaratan. Diduga, masuknya seekor burung Albatros ke dalam mesin menyebabkan helikopter Sea King ini tak mampu menyelesaikan penerbangan lima menitnya. Ini adalah korban terbesar anggota SAS, sejak Perang Dunia ll, yang diakibatkan oleh satu kejadian. Nama mereka kini terukir pada tugu berupa jam besar di markas SAS di Hereford, Inggris. Tradisi mengukir nama anggota kesatuan yang gugur dalam tugas pada sebuah tugu ini mirip dengan yang dilakukan oleh kesatuan elite Indonesia, Kopassandha. Tugu berhias jam ini menyebabkan populernya istilah Beat the Clock yang artinya "lebih cepat dari jam" bagi para anggota SAS yang berhasil lolos dari bahaya maut. Untuk menggantikan tugas mereka yang gugur ini, dikirimlah pasukan SAS pengganti dari Inggris, termasuk para ahli komunikasi yang belum lulus seleksi, dan karenanya belum berhak menggunakan badge SAS. Suatu fakta yang menunjukkan bahwa tenaga anggota SAS memang dibutuhkan. Ada beberapa hal yang menyebabkan banyak jenderal Inggris menyukai pemakaian kesatuan SAS. Salah satu di antaranya karena kesatuan ini penuh dengan inisiatif. Ini, misalnya, ditunjukkan oleh komandan resimen 22 SAS, Letnan Kolonel Michael Rose, saat perang Malvinas berlangsung. Idenya untuk memanfaatkan jaringan radio CB yang sangat populer di Malvinas membantu menyerahnya pasukan Argentina di pulau itu. Sebab, melalui jaringan radio CB inilah Michael Rose berhasil mengadakan kontak dengan tentara Argentina di Kepulauan Malvinas. Kontak ini dimanfaatkannya untuk melakukan tekanan psikologis, membujuk agar tentara Argentina segera menyerah. Mungkin karena pengetahuan tentang keadaan moril tentara Argentina yang didapat dari kontak-kontak ini, Michael Rose terpilih untuk mewakili Inggris ketika berunding dengan Jenderal Menendez, komandan pasukan Argentina di Kepulauan Malvinas. Nyatanya, Rose memang berhasil meyakinkan Menendez agar menyerah tanpa syarat, padahal tadinya ia berkeras hanya Malvinas Timur saja yang menyerah. Maka, 14 Juni 1982, perjanjian menyerah pun ditandatangani dan selesailah perang di kepulauan yang penuh biri-biri ini. Pimpinan Inggris, yang terletak sekitar 15.000 km dari Kepulauan Malvinas, pun bernapas lega. Soalnya, mereka tahu betul bahwa armada Inggris tak akan mampu mempertahankan serangannya lebih lama lagi. Pimpinan Armada Inggris, Laksamana Woodward, mengakui bahwa "keadaan satuan tugas yang saya pimpin memang buruk". Pada hari itu, amunisi untuk pasukan Inggris tinggal enam peluru untuk tiap prajurit. Gertakan Letnan Kolonel Michael Rose rupanya cukup ampuh. SAS memang dilatih menggunakan prakarsa sebanyak-banyaknya, karena medan tugasnya mencakup seluruh dunia dengan permasalahan yang bercorak ragam pula. Tak heran bila banyak anggota SAS berhenti dari dinas militer begitu mereka selesai bertugas dari kesatuan elite ini. "Saya kira, saya akan bosan menjalani kehidupan tentara reguler," kata seorang bekas anggota SAS. Apalagi, dalam dunia yang semakin dicemaskan kegiatan teroris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus