Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Faktor X Dalam Kerudung

Siswi yang memakai kerudung masih jadi masalah di Bandung. 42 siswi tetap bertahan berkerudung kendati dilarang masuk kelas. Menurut Darji Darmodiharjo mereka telah menyalahi janji. (pdk)

20 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IHWAL kerudung di sekolah negeri dipertanyakan lagi. Enam mahasiswa Bandung mempersoalkan mengapa sanksi terhadap siswi berkerudung, yang mereka anggap sebagai "mengamalkan pendidikan moral dan ajaran agama", disamakan dengan pelajar yang terlibat perkelahian sekolah. Yaitu dirumahkan, alias dipecat. (TEMPO, 13 Oktober 1984, Komentar). Namun, tiga bulan sudah batas akhir peralihan seragam sekolah berlalu. Tampaknya, tindakan tegas terpaksa dijatuhkan Departemen P & K. Dalam laporan pihak Kanwil P & K Jawa Barat, awal Oktober ini, kepada gubernur Jawa Barat, tentang siswi berkerudung, dicantumkan data-data. Sebelum batas akhir penyesuaian pakaian seragam sekolah, awal tahun ajaran 1984-1985, Juli lalu, tercatat 191 siswi SMP dan SMA negeri di Bandung berkerudung. Setelah awal tahun ajaran kini dimulai, sampai akhir September, ternyata 56 siswi berkerudung pindah ke sekolah swasta. Lalu, 73 siswi tetap berkerudung, tapi membuka kerudung itu bila masuk lingkungan sekolah. Sementara itu, 42 siswi tetap bertahan mengenakan kerudung dan tetap masuk sekolah, kendati mereka dilarang masuk kelas. Toh, para siswi tetap berusaha mengikuti pelajaran, dengan cara meminjam buku catatan teman-teman mereka. (TEMPO, 11 Agustus, Nasional). Sejauh ini, soal siswi berkerudung tampaknya hanya jadi masalah di Bandung. Di Jakarta, kepala Kanwil P & K-nya kepada TEMPO, Senin pekan ini, hanya mengatakan, "Soal itu jangan diungkit-ungkit lagi. Di Jakarta sudah tenang." Setidaknya, menurut pengamatan pihak SMA Muhammadiyah V, Jakarta, tahun ini, sampai pertengahan Oktober, belum ada siswi pindahan dari sekolah negeri gara-gara kerudung. "Tahun lalu, ada enam siswi dari dua SMA neeri yang pindah kemari, tapi sekarang sudah lulus," kata Yudarman, wakil kepala SMA Muhammadiyah itu. Tapi mengapa sejumlah siswi di Bandung berkukuh mempertahankan kerudung? Seorang siswi kelas II IPA SMAN III, Bandung menjawab, "Tujuan pakaian seragam memang untuk persatuan dan kesatuan. Tapi buat apa seragam kalau pendidikan moralnya tidak dipentingkan?" Siswi berusia 17 tahun ini, yang mengenakan kerudung sejak kelas II SMP, menganggap bahwa berkerudung itu mencerminkan penghayatan terhadap ajaran agama. Dan soal agama itulah yang oleh mereka yang tetap berkerudung dijadikan pegangan. Sedangkan siswi yang bisa bersikap sedikit santai, yang bersedia melepaskan kerudung bila masuk lingkungan sekolah, punya alasan pula. "Memakai kerudung memang wajib. Tapi menuntut ilmu juga wajib," kata seorang siswi kelas II IPA SMAN XVI, Bandung. Mereka yang kemudian pindah ke sekolah swasta biasanya karena desakan orangtua. "Saya sebetulnya masih kepengin bertahan, ingin tahu keputusan apa yang mau dijatuhkan kepada saya," kata seorang siswi yang lain di SMAN XVI. "Tapi orangtua mendesak saya agar pindah sekolah saja." Siswi ini sejak I Oktober lalu pindah ke SMA Persatuan Guru Islam Indonesia. Sebenarnya, sanksi bagi yang menyalahi ketentuan pakaian seragam sekolah tak jelas benar. Dalam Petunjuk Pelaksanaan Pakaian Seragam Sekolah, Lampiran I Bab VI, hanya ditentukan: "Siswa yang tidak mengenakan pakalan seragam, disuruh pulang untuk mengganti pakaiannya." Tak ada ketentuan bahwa mereka harus dikeluarkan dari sekolah. Ada ketentuan lain, memang, yakni bagi yang berkerudung boleh memilih sekolah lain yang seragam sekolahnya boleh ditambah dengan kerudung - seperti dikatakan kepala Hubungan Masyarakat Departemen P & K dalam rubrik Komentar TEMPO nomor ini (halaman 7). Lagi pula, menurut Darji Darmodiharjo, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, siswa-siswa yang tetap berkerudung di sekolah itu "menyalahi janji". Pada awal tahun ajaran ini, mereka memang diminta menandatangani pernyataan untuk mematuhi tata tertib sekolah. Sebenarnya, tak kurang dari Majelis Ulama Indonesia berupaya mengadakan pendekatan kepada pemerintah. "Saya merasa sudah berhasil meyakinkan beberapa pihak bahwa menutup dada dan kepala, alias mengenakan kerudung, adalah wajib bagi wanita," kata ketua MUI, K.H. E.Z. Muttaqien. "Tapi saya tak berhasil menembus faktor X. Faktor X? "Ya. Ialah adanya anggapan bahwa mengenakan kerudung adalah suatu tindakan politik," kata ketua MUI itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus