Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sepatu betawi

Orang betawi tak pernah punya raja kecuali raja lenong yang gampang naik dan boleh diseret turun bila tak disenangi. orang betawi muda asal pandai barzanji cepat dapat jodoh. (kl)

20 Oktober 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKOLAH Menengah Atas tahun 1950-an Jurusan Sastra ramai bukan alang-kepalang, seperti pasar malam. Saya muridnya dijejali rupa-rupa mata pelajaran sehingga perut rasanya kembung. Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Jawa Kawi, Sastra Sunda, dan bahasa pilihan, Jerman atau Prancis. Saya pilih Prancis bukan lantaran bahasa itu jadi ukuran tingkat budaya tinggi Eropa abad ke-18 - kendati Hitler mengejek bangsa itu, yang dianggapnya sedang berada dalam proses menjadi Negro. Saya pilih Bahasa Prancis berhubung pacar saya memilih pelajaran itu. Sang guru bertubuh jangkung, kumis kecil, warna pelituran. Ia lembut baik hati, senyum senantiasa, membuang muka seperti malu kalau ada murid yang nyontek. Guru itu bernama Marbangun Hardjowirogo, yang kini baru saja menyelesaikan buku Manusia Jawa. Bahwa orang Jawa itu suka budi luhur, suka mawas diri, gemar wayang, tidak mau berbuat sesuka hati mumpung kuasa, senang filosofi seperti halnya orang awam senang kue tarcis. Buku karangan guru saya itu ditutup dengan sikap rendah diri sebagaimana layaknya orang Jawa, lewat pepatah Belanda "Sekiranya pas sepatu itu, silakan pakai". Artinya, kalau berkenan di hati kultur Jawa itu, silakan coba. Bila tidak, ya tidak mengapa. Maka, saya pun merenung-renung perkara sepatu tawaran sang guru itu. Tak syak lagi, pastilah empuk samak kulitnya, pastilah rapi jahit pinggirnya. Tapi bagaimana kalau saya pakai sepatu model rekaan saya sendiri, misalnya sepatu Betawi? Model sepatu yang satu ini memang sudah langka, barangkali sudah tidak terpajang di toko-toko. Bagaimana kalau saya mengikuti jejak sang guru, membikin buku Manusia Betawi? Saya sadar betul, pekerjaan ini gampang-gampang susah, persis orang baca koran sambil nungging. Gampangnya, orang Betawi itu tidak paham barang sedikit apa hakikat feodal itu. Soalnya, ia tak pernah punya baginda raja, baik yang kurus maupun yang gemuk. Kalau toh punya, paling-paling raja lenong yang tiap orang bisa duduk di tahtanya hanya dengan sekali loncat, dan bisa diseret turun hanya lewat sebuah makian. Akibat kebiasaan tidak punya raja itu, orang Betawi semuanya merasa jadi raja sehingga tak seorang merasa layak jadi kawula. Atau, orang Betawi tidak mau jadi orang atas sebagaimana juga ia tak mau jadi orang bawah. Ini sungguh-sungguh ruwet. Gampangnya lagi, orang Betawi itu tidak punya masalah dengan keagamaan. Agama merupakan hal yang sudah semestinya, seperti halnya cuaca. Selaku anak-anak dia hidup di kampung-kampung, di pohon-pohon rambutan, di sungai, di langgar. Habis mengaji, rehal dilipat, belajar silat bela diri menyepak-nyepak angin. Betawi muda yang pandai baca Barzanji akan mudah dapat jodoh walau tingkahnya seperti tarzan. Bisa jadi tak ada ambisinya jadi jenderal atau gubernur bank, tapi sudah pasti kepingin sekali masuk surga. Sekarang tentang susahnya. Bagaimana pula saya sanggup menulis buku Manusia Betawi sedangkan topangan literatur hampir-hampir tidak punya? Pepatah? Mana ada orang Betawi doyan pepatah. Ia lebih banyak mendasarkan pandangan pada spontanitas dan pada akal yang dianggapnya cukup sehat. Ia tak punya semacam Serat Wedhatama atau Wedhatama Jinarwa-nya orang Jawa. Dengar pun barangkali lapat-lapat. Ada memang kisah-kisah Sultan Zainal Abidin atau Siti Zubaidah yang dipaparkan sohibulhikayat saat pesta kawin, tapi isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam segala kaliber. Susahnya lagi, orang Betawi tak punya falsafah nglakoni-nya orang Jawa yang gemar mengejar kejernihan jiwa lewat tidak makan tidak minum dari sore hingga sore beresoknya. Yang ia punya adalah tekad makan sebanyak-banyaknya dan selezat-lezatnya. Hidup sekali saja kok susah-susah, katanya. Akan halnya filosofi ngalong, atau hidup seperti kalong yang cuma makan buah-buahan, memang orang Betawi punya kemiripan. Yaitu tanam pohon jambu banyak-banyak, tapi hasilnya bukan seluruhnya masuk mulut melainkan dilego ke pasar, duitnya buat cicil ONH. Atas pertimbangan itu semua, saya pikir kali ini terpaksa tidak cukup tenaga mencontoh sang guru Marbangun bikin buku Manusia Betawi. Saya sudah loyo sebelum mulai. Mendingan saya tidur saja. Lagi pula, kalau berlahiran buku Manusia Sunda, lantas Manusia Banjar, lantas Manusia Ambon, dan Manusia Lombok dan Manusia Bugis dan seterusnya dan seterusnya, mana lagi tempat buat Manusia Indonesia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus