KALAU seorang presiden diguncang gempa resesi dalam masa jabatannya yang pertama, bagaimana menghadapi pemilihan berikutnya? Vivian Brownstein, dalam Fortune, 20 Agustus, mengajukan resep ini: upayakan pemulihan resesi sejak dini lalu, ketika kedaan ekonomi mulai membaik, tarik tali kekang dan pacu laju kuda pemilu. Itulah yang dilakukan Ronald Reagan belakangan ini. Apalagi pemulihan ekonomi di Amerika disertai dengan sangat menjinaknya harga barang. Dalam keadaan demikian, bunuh diri namanya jika Partai Demokrat yang beroposisi turun ke gelanggang kampanye dengan isu ekonomi - sampai dengan bulan November mendatang. "Toh, tampaknya, itu akan terus mereka lakukan," menurut Brownstein, yang menulis dengan bantuan riset Joan W. Campo. Defisit anggaran Reagan diserang habis-habisan dalam Konvensi Partai Demokrat di San Francisco. Lihat saja rangkaian pidato Konvensi Partai Demokrat. Tujuannya mencoba memenangkan pengumpulan suara dengan mengecam kebijaksanaan ekonomi Reagan yang dikatakan kurang bagus bagi si kaya, buruk bagi yang tak mampu. Pihak Demokrat konon memiliki cukup peluru untuk ditembakkan ke pihak lawan. Dalam gambaran yang campur baur tentang ekonomi AS, kedua pihak memakai data statistik resmi untuk mendukung kampanye masing-masing - kadang-kadang dari dokumen yang sama. Bulan Juli lalu, ketika komisioner Biro Statistik Tenaga Kerja (BLS), Janet Norwood, mengumumkan angka-angka angkatan kerja bulan Juni, Reagan tampak girang. Ia lalu menunjuk jumlah 107 juta tenaga kerja yang bisa diserap di seluruh negeri, yang lebih tujuh juta orang dibandingkan dalam masa akhir 1982. Tetapi laporan bulanan BLS setebal 19 halaman itu juga menjadi gudang mesiu Partai Demokrat. Seorang juru bicara BLS mencanangkan pula bahwa 8,1 juta orang Amerika tercatat menganggur pada bulan Juni (1984) - hanya 100 ribu di bawah jumlah angka pengangguran ketika Reagan mula pertama masuk Gedung Putih. Nah, angka itulah yang dipakai Demokrat untuk menuding Pemerintah Reagan, yang dipersalahkan telah membuat kehidupan kaum pengangguran lebih sengsara. Dalam masa resesi, kata mereka, tidak sampai sepertiga dari jumlah kaum penganggur menerima tunjangan - sedangkan pada resesi terdahulu (1973-1975) jumlah yang bisa menerima santunan lebih dari dua pertiga jumlah angkatan penganggur. Nah, lihat, data statistik dari lembar dokumen yang sama bisa menjadi pisau bermata dua. Gary Burtless, ahli ekonomi dari Brookings Institution, mencoba meneliti mengapa kaum penganggur itu kehilangan tunjangan mereka. Ia tadinya berpraduga bahwa mereka sudah terlalu lama menganggur sehingga tidak lagi memenuhi syarat menerima santunan, sedangkan awal kemerosotan ekonomi 1980-an terlalu cepat datangnya. Tetapi apa yang terjadi mengagetkan Burtless. Survei BLS ternyata menunjukkan, kaum buruh yang kehilangan pekerjaan pada 1982-1983 kira-kira sama jumlahnya dengan mereka yang mengalami nasib sama pada 1976. "Malahan mungkin lebih," katanya. Ada hipotesa lain yang menyatakan bahwa, dalam jumlah, kaum penganggur yang sekarang sudah meliputi golongan remaja dan wanita, baik wanita yang baru pertama maupun yang kembali memasuki angkatan kerja. Faktor terpenting dan sangat jelas dalam masalah hilangnya tunjangan itu, masih menurut riset Burtless, adalah pengaruh campur aduk berbagai perubahan di bidang hukum, peraturan, dan pelaksanaan peraturan pada beberapa tahun terdahulu. Umpamanya, penggunaan komputer oleh negara-negara bagian dalam meneliti secara lebih mendalam kemampuan dan kecakapan para pekerja. Juga, banyak negara bagian yang kini memotong jumlah uang santunan yang diajukan pekerja yang bersangkutan. Misalnya dari uang pensiun atau jaminan sosial khusus. Dengan mengurangi pembayaran, rentetan tindakan ini memang memperkecil keuntungan umum yang lebih luas. Tapi penurunan tunjangan pengangguran tidak buruk sama sekali. Pemerintah AS, tentu saja, pantas dihargai dalam menyehatkan administrasi negara - termasuk menanggulangi penipuan dan penyalahgunaan. Tetapi apakah pengurangan tunjangan pengangguran itu fair atau tidak, para juru kampanye Partai Demokrat dengan gampang membuatnya terdengar tidak fair. Tak sangsi lagi, kaum Demokrat juga dapat mengklaim yang satu ini: angka pengangguran resmi sangat memperkecil kenyataan meluasnya pengangguran yang sesungguhnya plus berbagai kesulitannya. Angka-angka resmi itu berasal dari survei yang dilakukan pada tiap pertengahan bulan. Anggota-anggota keluarga yang disurvei ditanyai: Apakah mereka bekerja pada minggu itu? Jika tidak, apakah mereka berusaha mencari pekerjaan selama empat minggu terakhir. Jika jawaban atas salah satu pertanyaan itu ya, si tertanya dianggap termasuk angkatan kerja. Angka pengangguran resmi itu dihitung begitu saja dari jumlah orang yang mengaku mencari pekerjaan, kemudian dibagi dengan jumlah keseluruhan angkatan kerja. Kecaman-kecaman yang dilemparkan mempersoalkan, orang yang dihitung sebagai sudah mendapat pekerjaan - jadi bukan penganggur - kenyataannya adalah mereka yang cuma beberapa jam saja bekerja dalam seminggu. Bahkan, ada calon pekerja yang, katanya, ingin mendapat pekerjaan tetapi takut atau segan mencarinya dalam masa empat minggu berikutnya. Runyamnya, orang yang cuma berniat di hati ini juga dimasukkan ke dalam kelompok pekerja. Orang yang terbilang penganggur, sebaliknya, tidak senang dianggap luntang-lantung - kendati mengaku menginginkan pekerjaan. Gengsi, dong. Para tukang survei kehabisan kata-kata untuk menjelaskan betapa sulitnya mengumpulkan data yang serius. Menyadari keragu-raguan itu, BLS kini menyiarkan tidak kurang dari delapan jenis angka pengangguran, dengan memakai definisi angkatan kerja yang berbeda. Pada saat pemilihan presiden AS semakin dekat, angka pengangguran menjadi data statistik yang semakin peka. Untuk menjaga agar permasalahan tidak terkait-kait dengan kampanye politik, BLS merenggangkan jadwal penerbitan. Untuk tahun ini, nomor-nomor Oktober disiarkan pada 2 November, empat hari sebelum pemilihan. Berkenaan dengan data yang peka pula, BLS berusaha sekeras-kerasnya agar tidak terjadi kebocoran. Janet Norwood memberikan informasi awal hanya kepada satu pejabat, dan orang itu bukan bosnya langsung, yakni sekretaris perburuhan, Raymond Donovan. Pada petang sebelum angka-angka diumumkan, Norwood menelepon ketua Dewan Penasihat Ekonomi agar memberitahu Presiden apa yang sedang terjadi. * * * Obyektivitas bukanlah maksud orisinal ketika BLS didirikan 100 tahun lalu. Berkembangnya gerakan buruh menuntut perlunya sebuah bagian yang, seperti dijelaskan juru bicaranya, mampu "mendukung kebijaksanaan pemerintah, yang bermanfaat bagi kaum pekerja". Perselisihan politik justru menempatkan BLS pada jalur nonpolitik - konon. Presiden AS waktu itu, Chester Arthur, berkeinginan mengangkat seorang pemimpin buruh terkemuka sebagai komisaris BLS yang pertama - tahu-tahu pada saat-saat terakhir ia baru mengetahui bahwa orang itu saingannya dalam daftar calon Partai Republik. Yang kemudian menjadi pilihan Arthur untuk komisaris BLS adalah ahli statistik terkemuka saat itu. Janet Norwood adalah "orang luar" kedua - dan wanita pertama - yang memimpin biro statistik itu. Bagaimanapun, Norwood adalah penerus jajaran panjang kaum profesional statistik sebelumnya. Salah satu tugas awal pemburuan fakta BLS adalah mengembangkan patokan harga para pembeli. Hasilnya adalah indeks harga konsumen (IHK). Karena rumah-rumah tangga sangat besar bedanya di dalam pola pendapatan, tidak ada satu pun indeks harga yang secara akurat dapat diterapkan pada semua atau hampir semua keluarga. Maka, IHK pun mendapat seruntunan kecaman selama bertahun-tahun. Dalam masa pemerintahan Carter, Partai Demokrat berhak mengeluhkan kecenderungan IHK yang acap kelewatan menekan angka inflasi. Pernyataan berlebih-lebihan itu terutama tertuju ke angka rata-rata hipotek yang dengan cepat melesat pada akhir 1970-an. Padahal, tentu saja, hanya sebagian penduduk yang membeli rumah pada tahun tertentu. Pada Januari 1983, BLS, yang dinilai mengalami distorsi beberapa lama, memperkenalkan indeks harga yang direvisi, yang menghapuskan angka hipotek dan mendasarkan pengeluaran untuk perumahan sebagai penyewaan. Para pemimpin buruh dengan getir menyuarakan kekhawatiran mereka bahwa "orang-orang kecil" akan dirugikan oleh kontrak yang mereka pegang, bila dilakukan penyesuaian dengan IHK. Karena itu, mereka memperjuangkan agar indeks harga lama tetap dipakai - dan berhasil, sampai batas Januari 1985. Tetapi apa yang berlangsung kemudian membuat para anggota serikat buruh kecewa. Kekecewaan yang bisa dimaklumi. Dengan merosotnya angka hipotek pada akhir tahun lalu, IHK model lama malahan menciptakan nilai persentase kurang dari IHK versi baru. Kaum pensiunan juga kena: tunjangan jaminan sosial mereka didasarkan pula pada IHK lama. Bagaimanapun menghitungnya, tak sangsi lagi, angka inflasi menjadi lebih rendah pada tahun lalu, atau sebelumnya, dibandingkan tahun berapa saja sejak akhir 1960-an. Dimulai dengan dua angka selama pemerintahan Carter, angka inflasi setelah itu merosot sampai 4%. Dalam keadaan demikian, mencoba menghapus citra inflasi dari sosok Reagan tampaknya mustahil. Bak menggantang angin. Menjumlahkan angka inflasi dengan angka pengangguran, apa yang didapat? Ini: "indeks yang tak menyenangkan" - discomfort index, kata orang sana. Istilah ini diciptakan oleh Ekonom Arthur Okun pada 1970-an, sebagai petunjuk bagaimana menangani perekonomian. Dalam masa pemerintahan Ford, indeks mendesak sampai puluhan - ke batas yang sangat tidak diharapkan. Jimmy Carter menyebutnya "indeks menyedihkan", dan menjadikan hal itu sebagai isu dalam kampanye-kampanyenya melawan Ford. Di bawah pemerintahan Carter, ternyata angka indeks juga melesat ke tingkat yang lebih menyedihkan, mencapai angka puncak yang sangat mencolok: 22 pada kuartal pertama 1980. Di bawah Reagan, indeks turun perlahan-lahan. Kini, di bawah angka 12. Kalena itu, para pengamat menganjurkan agar Partai Demokrat tidak menyebut-nyebut istilah "tidak menyenangkan" atau "menyedihkan" berkenaan dengan indeks dalam bulan-bulan ini. Dengan tingkat inflasi dan pengangguran yang berjalan di atas keinginan Reagan, Demokrat tampaknya akan beralih pada statistik tentang penyebaran pendapatan. Inilah upaya seteru Partai Republik itu guna mendukung tuduhannya bahwa kebijaksanaan Pemerintah Reagan tidak benar. Toh, angka pendapatan per kapita dipotong pajak tidak dapat menolong Partai Demokrat: kini 9% lebih tinggi, setelah penyesuaian inflasi, dibanding ketika Reagan baru memegang jabatan. Jangan heran kalau statistik kini menjadi favorit para juru kampanye Partai Republik. Beberapa jenis pendapatan, bagaimanapun, menjadi lebih baik dari jenis pendapatan lainnya. Setelah penyesuaian inflasi, dividen bersama bunga berada mulus di atas 20%. Pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial dan perawatan kesehatan juga 20% lebih tinggi. Tetapi upah riil dan gaji per kapita hanya naik 4% selama empat tahun terakhir. Kubu Republik tidak dapat membangga-banggakannya. Lebih parah, upah riil dan gaji seorang karyawan aktif hanya naik 2%. Masih ada yang lebih buruk. Sebuah survei BLS menunjukkan bahwa, setelah penyesuaian inflasi, pendapatan rata-rata para keluarga dengan seorang yang bekerja di antara mereka - berbanding satu dengan tiga pada rata-rata keluarga - merosot 9% selama empat tahun. Satu lagi kantung amunisi untuk Partai Demokrat. * * * Partai Demokrat bisa beranggapan - bagaimanapun - sebuah meriam jelas tidak bisa dibandingkan dengan sepucuk senapan locok. Lagi dan lagi-lagi, kubu Demokrat menuduh bahwa potongan pajak Reagan menguntungkan golongan kaya, dan hanya sedikit saja kebaikannya bagi kaum pekerja. Karena data perusahaan langka, tuduhan itu mengena. Tetapi bulan Juli lalu Biro Sensus, yang menampung dan menimbun data dari BLS, menyampaikan laporannya sendiri tentang penyebaran pendapatan di AS pada 1982 setelah bagian terbesar pemotongan pajak Reagan menciptakan pengaruh ke semua sektor perekonomian negeri. Kemudian, dilakukan perbandingan data 1982 dengan data sejenis dari 1980. Di sana ditunjukkan perubahan-perubahan yang diakibatkan pemotongan pajak. Penyebaran pendapatan setelah dipotong pajak di antara berbagai jenis pendapatan anak negeri ternyata macet. Toh, kesimpulan yang muncul itu tidak benar-benar sebuah bom politik. Si kaya mendapat bagian lebih bagus ketimbang golongan yang kurang mampu, tetapi perbedaannya kecil-kecil saja. Seperlima dari keluarga tingkat atas, misalnya, menerima 40,6% dari keseluruhan pendapatan setelah dipotong pajak pada 1980 dan 41,8% pada 1982. Angka-angka tampaknya sulit digunakan untuk menghangatkan kegairahan politik. Berkata Ronald Reagan, "Gagasan yang kita dengar di Gedung Capitol (MPR) sepanjang siang dan malam bahwa program pajak kami menguntungkan si kaya - angka-angka mengingkarinya." Entah betul, entah tidak. Pendeknya, berkas-berkas statistik ekonomi yang dikeluarkan biro-biro di Washington bagaikan pidato penerimaan pencalonan kepresidenan: isinya "cocok bagi setiap orang". Kaum politisi tidak harus berbohong. Yang diperlukan cuma sikap diskriminatif dalam memilih bahan statistik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini