Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik Pajak Ditangkap
PENYIDIK Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tiga orang di tempat berbeda, Selasa pekan lalu. Yang pertama: Pargono Riyadi. Ketua Penyidik Kantor Wilayah Pajak Jakarta Pusat ini ditangkap di Stasiun Gambir setelah menerima Rp 25 juta dari Rukimin Tjahjanto. Rukimin rupanya suruhan Asep Hendro, pemilik PT Asep Hendro Racing Sport.
Penyidik, yang sudah mengintai rumah Asep, kemudian menangkapnya begitu mendapat konfirmasi penangkapan di Gambir. "Pargono akan ditahan selama 20 hari ke depan," kata Johan Budi Prabowo, juru bicara Komisi, Rabu pekan lalu. Pargono ditahan dengan tuduhan memeras wajib pajak, yakni Asep Hendro, yang dibolehkan pulang setelah diperiksa.
Asep menyatakan diteror oleh Pargono sejak Februari. "Kata-katanya kasar sekali," ujar Asep. Pargono menilai pajak Rp 340 juta yang disetorkan Asep masih kurang. Ia meminta pengusaha ini menyediakan Rp 600 juta. Dengan alasan usaha sedang lesu, Asep setuju memberikan Rp 125 juta kepada penyidik senior itu. Uang Rp 25 juta yang diberikan di Gambir adalah "tanda jadi" besel tersebut.
Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany tak kaget dengan penangkapan anak buahnya. Menurut dia, penangkapan itu atas informasi penyidik lain yang diteruskan ke Komisi. Sejak terungkapnya mafia pajak Gayus Tambunan, direktoratnya bekerja sama dengan KPK mengungkap praktek-praktek korupsi seperti itu. "Penangkapan ini menunjukkan sistem pelaporan sudah bekerja," katanya.
Penyidik pajak, ujar Fuad, sedang mengembangkan penyelidikan lanjutan untuk mengungkap jaringan Pargono yang lain. "Saya tak menjamin 32 ribu pegawai kami baik semua," ucap Fuad. Sebab, kendati pegawai pajak punya gaji sembilan kali lebih tinggi daripada pegawai negeri lain, kasus korupsi pajak masih terus terjadi.
Tak Kapok-kapok
SETELAH perkara mafia pajak Gayus Tambunan terungkap, masih ada saja pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tak kapok. Mereka melakukan kejahatan serupa lulusan Sekolah Tinggi Administrasi Negara berusia 33 tahun itu.
19 November 2011
Gayus Tambunan divonis tujuh tahun bui serta didenda Rp 300 juta dalam kasus korupsi dan mafia pajak. Rekeningnya menampung Rp 25 miliar dan ribuan dolar hasil suap memanipulasi pajak. Kasusnya menyeret polisi, jaksa, hingga hakim.
6 Juni 2012
Tommy Hindratno, pegawai pajak Bojonegoro, ditangkap di lapangan tenis Tebet, Jakarta Selatan, setelah menerima Rp 280 juta sebagai imbalan memberikan informasi klaim restitusi kepada PT Bhakti Investama milik pengusaha Hary Tanoesoedibjo.
13 Juli 2012
Kepala Kantor Pajak Bogor Anggrah Surya ditangkap penyidik KPK setelah menerima Rp 300 juta dari PT Gunung Emas Abadi, karena menurunkan nilai pajak dari Rp 29 miliar menjadi Rp 1 miliar.
9 November 2012
Dhana Widyatmika divonis tujuh tahun bui dan didenda Rp 300 juta karena terbukti dalam tiga tindak pidana: suap, pemerasan, dan pencucian uang hasil korupsi dengan membuat showroom mobil dan membeli aset lain. Di rekeningnya ada Rp 12 miliar dan ratusan ribu dolar. Ia juga punya sekilogram emas.
DPR Meributkan Surat Boediono
POLITIKUS penggagas Panitia Khusus Bank Century mengklaim memiliki bukti baru keterlibatan Wakil Presiden Boediono dalam pemberian dana penyelamatan Bank Century sebesar Rp 6,7 triliun. Para politikus ini menilai dana talangan tak semestinya diberikan kepada bank yang kalah kliring dan terancam bangkrut tersebut dengan alasan tak akan merembet ke bank lain.
Bank Indonesia sudah mengkonfirmasi bahwa surat kuasa yang diteken Boediono kepada para direktur untuk memberikan dana Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek sebagai surat asli. Pada 2008, Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia. "Tapi kenapa baru diributkan sekarang?" kata Gubernur BI Darmin Nasution pekan lalu.
Surat itu, ujar Darmin, disertakan untuk diperiksa dalam audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan sejak kasus itu mencuat. "Surat itu dimunculkan seolah-olah itu temuan baru," ucap Yopie Hidayat, juru bicara Wakil Presiden. Anggota tim pengawas kasus Century Dewan dari Golkar, Bambang Soesatyo, menyebut surat itu sebagai bukti langsung keterlibatan Boediono dalam kasus yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut. "Padahal surat itu biasa," ujar Yopie.
Syarat Pencalonan Presiden Tetap
BADAN Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat membatalkan rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Presiden, Rabu pekan lalu. Karena itu, syarat pencalonan presiden tetap, yakni dicalonkan oleh partai atau gabungan partai yang mendapat 20 persen kursi di DPR atau suara nasional sebesar 25 persen.
Dengan aturan ini, hanya partai besar yang diperkirakan mengusung calon presiden. Menurut peneliti Lembaga Survei Indonesia, Adjie Alfaraby, pembatalan itu memperkecil peluang tokoh alternatif yang tak diusung partai, seperti bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, dan Ketua Palang Merah Indonesia Jusuf Kalla. "Peluang mereka tetap ada jika partai membuat konvensi," katanya.
Sejumlah partai, seperti Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, berancang-ancang membuka konvensi. Sejauh ini partai yang sudah punya calon presiden adalah Golkar, yang mengusung Aburizal Bakrie; Partai Amanat Nasional (Hatta Rajasa); Gerindra (Prabowo Subianto); dan Hanura (Wiranto).
Hambalang Mengarah ke DPR
MENTERI Keuangan Agus Martowardojo memberi kesaksian yang mengarahkan penyidikan kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pekan lalu, Agus memberikan bukti ada sembilan pertemuan antara pemerintah dan Dewan membahas peningkatan anggaran dari Rp 125 miliar menjadi Rp 2,5 triliun.
Para politikus itu terlibat dalam mengubah anggaran tahunan menjadi tahun jamak—tuduhan yang sudah menjerat bekas Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng. "Rapat antara Januari 2009 dan 2010," kata Agus. Sebelumnya, Ketua Komisi Olahraga DPR Mahyuddin menyangkal ada pertemuan karena perubahan status proyek itu tak memerlukan keputusan legislator. Audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan proyek itu merugikan negara Rp 234 miliar.
Pasal Penghinaan Presiden Dipertahankan
MESKI telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi, tim perumus revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tetap mencantumkan pasal penghinaan presiden. "Menghina bupati saja ada sanksinya, apalagi menghina presiden," kata Andi Hamzah, ketua tim, saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat pekan lalu.
Menurut Andi, di negara bebas dan demokratis sekalipun pasal seperti ini tetap ada. Ide ini ditolak para politikus. Eva Kusuma Sundari dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, menyebut pasal itu tak perlu dicantumkan lagi. Selain menghambat kebebasan berekspresi, ujar dia, pasal itu sudah digugurkan Mahkamah Konstitusi. "Kalau masuk lagi, gugatan itu sia-sia," ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo