Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sirnanya impian orang selatan

Nasib penduduk vietnam selatan di bawah rezim komunis (setelah penyatuan utara-selatan). (sel)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH berita "orang perahu" berangsur-angsur surut, apa lagi yang menarik tentang Vietnam? Para pengamat kini mulai memalingkan perhatian terhadap kenyataan di balik penyatuan Utara-Selatan negeri itu. Apalagi telah hampir sepuluh tahun pasukan Hanoi memasuki kota Ho Chi Minh (dahulu: Saigon). "Tidak banyak partai yang berhasil menutupi diri dengan mitologi politik seperti halnya Vietnam," tulis Stephen J. Morris dalam sebuah tinjauannya, penghujung tahun lalu. Dengan kesimpulan seperti itu, doktor ilmu politik keluaran Universitas Boston ini mencoba menyimak kebijaksanaan Hanoi terhadap Selatan setelah wilayah itu berhasil "dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi." "Selama tiga puluh tahun," demikian Morris, "para pemimpin Partai Komunis Vietnam (PKV) berhasil meyakinkan sejumlah wartawan dan cendekiawan Barat bahwa gerakan yang mereka pimpin adalah gerakan nasional." Gerakan itu seolaholah mencerminkan tuntutan hati nurani rakyat Vietnam. Dan, seolah-olah komunisme hanyalah jalan untuk mencapai tujuan nasional - bukan tujuan itu sendiri. Ketika AS meninggalkan Vietnam Selatan, 1975, tidak terbilang penduduk yang cemas akan nasibnya di bawah rezim komunis. Terutama mereka yang pernah mengabdi dalam dinas sipil dan militer Vietnam Selatan. Namun para pemimpin Vietnam Utara tidak bertindak terburu nafsu. Mereka memperlihatkan sikap santun, seolah olah turut memikirkan hari depan bekas aparat, pemerintah Selatan itu. Lagi pula, di hari-hari awal itu, mereka masih mengharapkan dollar AS sebagai bantuan untuk "pembangunan sosialis." "Enam minggu pertama kekuasaan komunis di Selatan merupakan peragaan justa politik yang luar biasa," kata Stephen J. Morris yang pernah tergabung dalam Pusat Riset Rusia di Universitas Harvard. Pada Mei 1975, semua eks pejabat rezim Saigon diwajibkan mendaftarkan diri kepada penguasa baru. Selang sebulan mereka dipanggil untuk mengikuti program "pendidikan kembali" (reedukasi). Mereka diwajibkan melaporkan diri pada hari dan tempat tertentu - tergantung pangkat dan jabatan dalam pemerintahan Selatan dulu. Semua eks tamtama dan bintara Angkatan Bersenjata Vietnam Selatan (ARVN) juga terkena wajib daftar untuk"studi pembaruan". Studi itu diselenggarakan di Kota Saigon selama tiga hari berturut-turut mulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 petang. Tiap sore siswa diizinkan pulang ke rumah masing-masing. Pada 11 Juni 1975 keluar komunike baru. Komite Pengelolaan Militer memerintahkan semua perwira senior, tentara dan polisi untuk segera melaporkan diri. Permintaan serupa juga ditujukan pada personil legislatif, Yudikatif, dan eksekutif, serta anggota partai yang reaksioner. Mereka diperintahkan membawa alat tulis, pakaian, kelambu, perkakas pribadi, makanan, bahkan uang, untuk keperluan satu bulan. Nah lu! Para perwira, pejabat tinggi, dan pemuka politik itu kemudian dimasukkan ke berbagai kamp khusus di daerah pinggiran. Tidak kurang pula yang dikirim ke Vietnam Utara. Sebagian besar, sampai sekarang, tidak jelas peruntungannya. Mereka yang diamankan dalam kamp tidak seorang pun yang pernah terlibat perkara kriminal. Seluruh proses penangkapan dan penahanan mereka bahkan tidak mempunyai dasar hukum yang sah. Berapa banyak penghuni berbagai kamp itu? "Sekitar 20 ribu orang," ujar para penguasa komunis Vietnam. Tetapi bukti lain menunjukkan penghuni kamp itu berjumlah sekitar 200 ribu orang. Nguyen Cong Hoan, bekas wakil Provinsi Phu Khanh dalam Majelis Nasional Vietnam yang dikuasai kaum komunis, melaporkan angka lebih besar lagi. Ketika ia, dalam, kedudukan anggota majelis, beroleh kesempatan mengunjungi berbagai kamp di sekitar provinsinya, memperkirakan tak kurang dari sekitar 340 ribu orang yang meringkuk di pelbagai tempat penahanan . Di kamp, para penghuni dipaksa melakukan pekerjaan badan. Tapi ransum makanan yang mereka terima tidak sebanding dengan kalori yang dikeluarkan. Menurut catatan akhir 1978, ransum beras untuk setiap penphuni kamp berkisar antara 400 dan 470 gramper hari. Kini, dengan situasi bahan makanan yang makin buruk, sulit dibayangkan angka yang pasti. Daging hanya diberikan pada harihari raya nasional. Kebutuhan obat-obatan tidak terlayani. Kelaparan dan penyakit membunuh para penghuni kamp secara perlahan-lahan. Harapan untuk bebas dari kamp masih ada. Yaitu bila mereka punya sanak saudara yang sanggup menyogok pejabat tertentu. Siapa bilang para "pemimpin proletariat" tidak bisa disuap? Di mata penguasa baru, sikap seseorang terhadap rezim lama tidak begitu penting. Cukup banyak tokoh yang dulu mengkritik pemerintah lama, toh sekarang meringkuk dalam penjara. Bahkan tidak sedikit pula bekas anggota Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan (NLF) yang diterungku tanpa ampun. Padahal, pada periode pembebasan dulu mereka dirangkul dan dipuja sebagai pahlawan bangsa. Pada Oktober 1978, wartawan Prancis Roland Pierre Paringaux mengunjungi Vietnam - penugasan dari majalah Le Monde. Ia mencoba menanyakan nasib kaum "revolusioner" yang dipenjarakan itu kepada Huynh Tan Phat, bekas presiden Pemerintahan Darurat Revolusioner, yang kemudian menjadi wakil perdana menteri Republik Sosialis Vietnam. Jawaban Phat biasa-biasa saja. "Kita harus waspada terhadap para revolusioner yang sebetulnya bekerja untuk kepentingan musuh," katanya. "Di negeri ini memang banyak kamp. Kalau ada nama yang ingin Anda tanyakan, hubungi saja Mendagri kami." * * * Penyiksaan sudah lumrah di penjara Vietnam. Para aktivis Budha bisa bercerita banyak mengenai hal ini berdasarkan pengalaman mereka. Banyak tokoh penting yang mati akibat penganiayaan - termasuk sejumlah pemimpin Budha. Padahal mereka dulu termasuk kelompok yang memprotes rezim lama. Alasan yang digunakan untuk menyiksa para tahanan itu ialah "membantah tuduhan sebagai anggota CIA." Di samping kamp reedukasi dan sistem kepenjaraan, masih ada sistem pengekangan lain di Vietnam. Sistem ini dikenal dengan nama Zona Ekonomi Baru (NEZ). NEZ adalah daerah pinggiran yang tadinya tidak digarap dan dihuni manusia. Ke situlah dikirim orangorang yang diragukan loyalitasnya. Tetapi, bagaimana menakar loyalitas itu? Siapa saja yang termasuk kategori diragukan? Pertama, mereka yang mempunyai sanak saudara di kamp reedukasi. Kemudian, para "kapitalis kota" keturunan Cina, bekas prajurit ARVN, dan keluarga yang salah seorang familinya pernah bekerja pada dinas sipil atau militer kolonial Prancis sebelum 1954. Para penganggur juga termasuk golongan yang diragukan loyalitasnya. Di NEZ, para penghuninya diharuskan mencukupi kebutuhan sendiri dengan bertani. Inilah yang runyam. Tanah NEZ biasanya tidak subur. Dan mereka yang dikirim ke sana tidak mempunyai pengalaman bertani. Tambahan pula, pemerintah tidak menyediakan alat pertanian, pupuk, bahkan tenaga penyuluh pertanian. Tidak heran kaLau sebagian penghuni NEZ menganggap diri mereka dihukum mati secara tidak langsung. Jalan yang bisa ditempuh untuk menghindari penderitaan di NEZ, sebagaimana biasa, adalah menyogok petugas. Dengan cara menyogok, mereka bisa memperoleh "surat izin bepergian" selama beberapa hari. Ada juga yang nekat lari, kemudian bersembunyi di Saigon. Tidak diketahui berapa banyak penduduk yang dipindahkan ke NEZ. Tetapi target deportasi itu dikabarkan meliputi beberapa juta. Belakangan ini diberitakan Vietnam juga mendeportasikan penduduknya ke Uni Soviet untuk dipekerjakan antara lain di Siberia. Dengan cara ini konon Vietnam membayar utangnya kepada Kremlin. Setidak-tidaknya, begitulah yang tergambar dalam tulisan Doan Van Toai dalam Wall Street Journal, Marettahun kemarin. Nasib paling buruk agaknya menimpa kelompok penduduk Vietnam yang dalam istilah sana dinamakan chieu hoi. Mereka ini adalah para komunis dan anggota NLF yang dulu menyeberang ke rezim Selatan. Bagi kelompok ini tidak ada pilihan lain, kecuali mati, bila tertangkap. Sebab"pengkhianatan terhadap revolusi" merupakan kejahatan yang tidak bisa diampuni. Jumlah mereka sekitar 220 ribu orang. Para chieu hoi ini dulu dijanjikan akan dilindungi oleh pemerintah Selatan dan Amerika Serikat. Tetapi, setelah rezim Selatan ambruk dan Amerika angkat kaki dari kawasan itu, mereka tak tahu lagi ke mana mau mengadukan nasib. "Sejak 1975, rezim baru tidak pernah lagi mengumumkan sesuatu pun tentang chieu hoi," ujar Stephen J. Morris dalam laporannya. Mereka lenyap bagai ditelan bumi. Di bawah semboyan "pembebasan " dan "persatuan ", tangan penguasa Utara yang keras dan tidak mengenal iba itu mencengkeram ke seluruh segi kehidupan di Selatan. Penjara, kerja paksa, dan pembuangan menjadi barang biasa. "Di bawah rezim totaliter," kata Morris, "setiap orang adalah korban - langsung atau tidak." Detil mengenai penderitaan di Selatan bisa ditemukan dalam buku After Saigon Fell: Evervday Life Under the Vietnamese Communists karya Nguyen Long - diterbitkan oleh Institut untuk Penelitian Asia Timur, Universitas California. Long tak cuma dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tak menyukai rezim Thieu dan Diem. Juga penentang kebijaksanaan Amerika Serikat di Vietnam. Dua kali ia dipenjarakan untuk kegiatan politiknya. Namun itu tidak menghalangi dia menuntut ilmu di AS. Sekitar awal 1970-an Long meraih gelar Ph.D. dalam ilmu politik pada Universitas California, Berkeley. Pulang ke kampung halaman, Long menjadi dosen di Universitas Budha Van Hanh, Saigon. Ketika perang usai, ia ikut gembira dan menanti dengan penuh harapan periode "persatuan nasional dan pembaruan masyarakat" seperti dijanjikan NLF. Ia kemudian kecewa besar. Meski Long tidak termasuk kelompok masyarakat yang harus "diamankan", toh ia merasakan ketakutan, kemiskinan, pengisapan, dan korupsi yang datang bersamaan dengan pemerintahan baru. Menurut pengamatan Long, masyarakat yang diperintah partai komunis sepenuhnya mengalami politisi. Semua penduduk Vietnam harus memasuki organisasi - yang tentu saja diawasi partai komunis. Ada organisasi pionir untuk anak-anak organisasi Pemuda Ho Chi Minh, Serikat Petani, Perkumpulan Wanita, Persatuan Cendekiawan Patriotik, Serikat Orang Tua, dan belasan bentuk lainnya. Melalui organisasi itu dilancarkan indoktrinasi, pengawasan, dan penjelasan mengenai kebijaksanaan serta problem partai yang digariskan dari pusat. Setiap anggota diwajibkan taat kepada partai, dan tujuannya. Kebijaksanaan yang ditetapkan para pemimpin partai komunis di Hanoi disebarkan melalui komite partai provinsi. Lalu diteruskan lagi kepada penguasa kota, desa, dan seterusnya. Pendeknya, partai memainkan peranan dalam seluruh cabang dan tingkat kekuasaan. Ada dua macam aparat sekuriti dalam pemerintahan komunis Vietnam. Pertama, para pejabat resmi. Kedua, para agen terselubung. Pejabat resmi mengenakan pakaian seragam dan menerima gaji tetap. Mereka juga mendapat hak-hak istimewa yang layak diterima kelompok elite yang memerintah. Akan halnya para agen - mungkin lebih tepat disebut mata-mata keadaannya lain lagi. Mereka, sudah tentu, tidak mendapat pakaian seragam. Gajinya pun tidak menentu. Mereka umumnya bertugas melaporkan tingkah laku tetangganya. Tak aneh bila tiba-tiba Nguyen ini atau Nguyen itu tanpa sebab tidak yang diketahuinya dikirim ke kamp atau NEZ. Penduduk tidak selamanya bisa mengenali para mata-mata tersebut. Karena itu kewaspadaan menjadi sangat tinggi di tengah masyarakat macam begini. Mana ada orang yang mau dituduh reaksioner dan antikomunis di tengah pemerintah yang komunistis? Di samping mengawasi kegiatan politik tetangga, mata-mata itu juga bertugas mencari kaum pengangguran. Mereka ini, kalau kedapatan, segera dipulangkan ke kampung halamannya, atau dikirim ke NEZ. Sedangkan orang-orang yang kedapatan mencoba meninggalkan tanah air akan ditahan, dan harta bendanya disita. Usaha lain dalam menegakkan sekuriti adalah mengawasi gerak-gerik dan kebiasaan penduduk. Setiap rumah diwajibkan mempunyai "buku rumah tangga" yang mencantumkan nama penghuni tetap, juga catatan para tamu yang bermalam. Para kader sekuriti boleh mengecek dan menggeledah setiap rumah tangga sewaktu-waktu. Menurut Nguyen Long, selama dua tahun pertama pemerintahan rezim komunis, pengecekan dan penggeledahan biasa dilakukan lewat tengah malam. Izin bepergian di dalam negeri dikeluarkan oleh dinas sekuriti. Dalam permohonan izin harus dicantumkan tanggal keberangkatan, kepulangan, alasan perjalanan, dan rute yang ditempuh. Tidak seluruh keluarga diizinkan berangkat bersama guna mencegah usaha melarikan diri. Dan begitu tiba di tempat tujuan, pendatang diwajibkan melapor kepada kantor keamanan setempat. Dewasa ini kehidupan pribadi di Vietnam sudah tidak menentu. Nguyen Long melaporkan: "Pada pertengahan 1976 seorang prajurit Utara yang muda datang ke rumah saya untuk keperluan sensus. Ia masuk tanpa mengetuk pintu, langsung ke kamar makan. Anak perempuan saya yang berumur sembilan tahun memanggil saya dan mengatakan ada seseorang di dalam rumah. Ketika turun tangga saya lihat serdadu itu duduk di meja makan seperti berada di rumahnya sendiri." Long terkesima melihat tingkah laku tamu tak diundang itu. "Tetapi saya segera sadar, prajurit muda ini adalah hasil dari kebiasaan hidup bertahun-tahun di bawah rezim kolektif. Dia diajar untuk mengutuk individualisme dan tidak menghargai kehidupan serta hak-hak pribadi . . .," katanya. Vietnam juga membentuk organisasi meniru model Pionir Soviet. Para anggotanya, anak-anak, bertemu sekali seminggu di bawah pengawasan beberapa kader. Mereka itu diminta bercerita tentang kehidupan orangtua, saudara-saudara, dan kegiatan keluarga selama seminggu terakhir. Tidak heran bila hubungan anggota keluarga menjadi kikuk dan canggung. Demi melindungi keselamatan, seorang ayah tidak bisa menyatakan perasaannya secara terbuka kepada istri dan anak-anaknya. Semuanya terpaksa bermanis-manis dan berbasa-basi. Hubungan dengan tetangga pun selalu penuh selubung. Tanpa bersandiwara bisa runyam itu rumah tangga. Sekarang juga getol ditegakkan pengawasan terhadap kebudayaan. Penghujung Mei 1975, penguasa revolusioner memulai kampanye mengganyang apa yang dinamakan "kebudayaan reaksioner dan dekaden". Sebagai gantinya harus ditegakkan "kebudayaan yang revolusioner dan sehat". Komite Pengelolaan Militer segera memerintahkan pelarangan semua majalah dan buku yang "reaksioner" dan "dekaden". Menurut rumusan penguasa baru itu buku reaksioner adalah buku yang isinya melayani rencana agresif imperialisme untuk memperbudak bangsa Vietnam. Sedangkan buku dekaden adalah buku yang menipu rakyat dan mengumbar nafsu binatang mereka, umpamanya, buku cabul dengan potret-potret telanjang. Catatan terperinci mengenai soal ini bisa dilihat dari laporan seorang pelarian Vietnam Ho Truong An, cerita Truong An, bekas pengawas karya sastra pada perpustakaan nasional Vietnam: Larangan pertama dikenakan kepada buku-buku yang melawan komunisme. Dalam kategori ini dimasukkan karya Andre Gide, Boris Pasternak, Arthur Koestler, Solzhenitsyn, dan penulis Vietnam seperti Vo Phien, dan Vu Khac Khoan. Sensur berikut adalah terhadap karya yang mereka nilai "karya erotis." Yang masuk kelompok ini adalah buah pena Henry Miller, Elia Kazan, Francoisse Sagan, D.H. Lawrence, Erskine Caldwell, Hermann Hesse, dan para penulis eksistensialis Prancis seperti Sartre, de Beauvoir, serta Camus. Karya romantik kebagian ganyangan juga. Ke dalam kelompok ini termasuk karya Carson McCullers, Erich Segal, Somerset Maugham, dan sejumlah pengarang Vietnam. Para penulis ini dikutuk karena "mereka menulis tanpa mengacuhkan penderitaan di sekitarnya, dan lebih mementingkan cinta individualistis di dalam kehidupan yang malas dan borjuis. Yang juga tidak luput dari cercaan adalah buku filsafat dan agama. Sebab, "di balik setiap ajaran agama dan filsafat tersembunyi tujuan kapitalistis untuk menghancurkan itikad baik mnanusia dalam berjuang," kata para penuasa komunis itu. Menurut radio Hanoi dan Saigon, belasan ton buku dan majalah telah dibakar demi mempertahankan "revolusi ." Bagaimana pula sikap penguasa Vietnam di bidang sandang, pangan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan? Nguyen Long mengisahkan: Di Vietnam, semua barang dan pelayanan disediakan berdasarkan status politik dan kelas ekonomi seseorang. Para anggota partai mendapat pelayanan nomor wahid. Pejabat pemerintah dan mereka yang dikelompokkan ke dalam "kelas pekerja" mendapat pelayanan kelas dua. Rakyat memperoleh pelayanan paling buntut. Toko-toko khusus muncul sebagai kenyataan di Vietnam seperti halnya di hampir semua negara komunis. Tokoh-tokoh partai - khususnya anggota Politbiro dan Komite Sentral - mendapat bahan makanan impor dan lokal yang terbaik. Para kader cabang atas bisa berbelanja di toko spesial - yang terlarang untuk kader tingkat rendah dan kawula biasa. Bahan makanan dijual berdasarkan kartu ransum. Untuk kawula, ransum yang disediakan di bawah standar mencukupi. Hingga harus diusahakan jatah tambahan. Karena gaji juga rendah, terpaksalah mereka menjual harta benda untuk memperoleh bahan makanan yang diperjualbelikan di pasar gelap. Pelayanan kesehatan dengan sendirinya pula berdasarkan status sosial dan politik seseorang. Rumah sakit terbaik disediakan bagi anggota partai dan keluarga mereka. Juga obat diberikan berdasarkan status tadi. Tidak sembarang orang bisa memperoleh, misalnya, tetramycin, aureomycin, dan penisilin, kendati penyakitnya membutuhkan obat tersebut. Banyak anekdot muncul mengenai perbedaan pelayanan ini. Salah satu di antaranya: Dalam sebuah pertemuan, seorang awam bertanya: "Mengapa semua yang terbaik disediakan bagi anggota dan kader partai?" Menjawablah kader yang memimpin pertemuan itu: "Supaya mereka bisa menumpahkan seluruh perhatian dan energinya untuk melayani rakyat." Bukan main! "Mudah dipahami mengapa orang-orang Vietnam lebih suka meninggalkan negerinya," kata Stephen J. Morris lebih lanjut dalam tinjauannya. Tapi itu tak mudah. Harus ada izin pemerintah. Jika tidak, mereka bisa didakwa "melanggar peraturan negara" dan "ingkar terhadap kekuasaan rakyat." Seseorang yang kedapatan meninggalkan Vietnam tanpa izin akan menerima hukuman penjara. Atau masuk kamp reedukasi selama jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan pejabat setempat. Biasanya sekitar 18 bulan. Tetapi bisa juga lebih lama. Sejak kemenangan Vietnam Utara, puluhan ribu penduduk bersiap menghadapi berbagai kemungkinan. Simaklah cerita wartawan Australia Barry Wans dalam buku The Refused. Beberapa minggu setelah Selatan takluk, rakyat berharap kehidupan segera pulih di bawah rezim yang baru. Jebulnya, yang datang malah perintah reedukasi di kamp dan NEZ. Tak heran bila banyak memilih hengkang ketimbang menanggung azab sengsara. Jalan untuk kabur ternyata juga tidak gampang. Soalnya, Vietnam dilingkungi tiga rezim komunis. RRC, Kampuchea, dan Laos. Pilihan satu-satunya: lari melalui laut. Tahun 1975, tidak kurang dari 378 orang Vietnam berhasil mencapai negeri-negeri Asia Tenggara dengan menggunakan perahu. Angka itu terus meningkat drastis. Tempo dua tahun tercatat hampir 20 ribu orang menjadi "orang perahu". Belum reda heboh "orang perahu", rezim Hanoi melancarkan pembersihan lain. Semua perusahaan besar milik keturunan Cina, atau yang diduga milik keturunan Cina, disita. Selang dua bulan, kemudian, Mei 1978, Vietnam memberlakukan alat pembayaran baru - yang sangat efektif dalam menyikat habis deposito dan tabungan. Akibatnya: orang-orang Cina yang tadinya kaya raya, mendadak sontak jadi papa. Pemerintah kemudian menyuruh mereka pula meninggalkan desa kelahirannya. Kalau tidak akan dipindahkan ke NEZ dan menjadi buruh tani. Pilihan lain: kembali ke RRC atau menjadi "orang perahu". Dalam tempo singkat ribuan keturunan Cina memilih mudik ke negeri leluhur dengan berjalan kaki. Pembersihan juga dibakukan terhadap kader partai yang berdarah Cina. Tak peduli posisi di partai, Angkatan Bersenjata, maupun instansi pemerintah lainnya. Yang masih berada di luar lingkungan pemerintahan, tidak boleh direkrut. Bahkan anak-anak mereka dilarang bersekolah. Ransum makanan pun disetop. * * * Di Vietnam Selatan, pembersihan perantau Cina dipercayakan kepada Biro Keamanan Umum (PSB). Kesempatan itu sekaligus mereka manfaatkan untuk mengisi kas negara dan kantung sendiri. Setiap mereka yang ingin meninggalkan negeri itu dikenakan bayaran: orang dewasa sekitar 5 sampai 8 tahil emas, anakanak separuh harga, sedang yang berusia 5 sampai 6 tahun gratis. Separuh dari hasil pungutan masuk ke kas pemerintah Vietnam. Yang 40% dipakai menyewa perahu, bahan bakar, dan makan minum. Sisanya (10%) untuk panitia. "Pengurus PSB biasa bersekongkol dan menerima sogok sebagai tambahan bayaran yang sudah disepakati," tulis Wain. Upeti boleh berbentuk emas, permata, atau perabotan rumah tangga. Tapi yang paling mereka senangi adalah jam tangan Rolex. Karena urusan mulai menjadi bisnis, maka rezim Hanoi minta bagian keuntungan. Untuk satu kapal mereka bisa mendapat US$ 4 juta. "Dagang pengungsi ini menjadi sumber utama devisa Hanoi, dan mengalahkan komoditi ekspor utama negeri itu," ujar Stephen J. Morris. * * * Reda soal warganegara keturunan Cina, penguasa Vietnam melirik Kampuchea. Ketika memulai gempuran ke Kampuchea, Desember 1978, pemimpin Hanoi bukannya tanpa alasan. Pol Pot, yang telah menimbulkan bencana luar biasa terhadap rakyat Kampuchea dinilai bisa mengganggu keutuhan Indocina. Hingga perlu diganti. Tapi invasi Vietnam tak kurang menyengsarakan Kampuchea. Semua persediaan bahan makanan habis dikonsumsikan pada bulan-bulan pertama tahun itu gara-gara masa tanam dan masa panen tak aman. Pertengahan 1979, Kampuchea berada di jurang kelaparan. Akhir tahun itu pemerintahan Heng Samrin, bikinan Vietnam, mengakui adanya rawan pangan. Dan minta bantuan dunia internasional. AS bersedia mengirimkan bahan makanan asalkan tidak dikirim ke Kompay Som atau Pnom Penh sebagaimana permintaan Heng Samrin. Soalnya, menerima kondisi tersebut bagi AS sama dengan mengakui rezim itu. Tambahan pula: bahaya kelaparan berada jauh dari pusat penimbunan makanan. Hingga bantuan yang diberikan disangsikan bisa mencapai sasaran. Akhir Oktober 1979, Presiden Jimmy Carter mengimbau pemerintahan Heng Samrin agar memperbolehkan dibangunnya "jembatan darat" yang terdiri dari iringan truk bermuatan makanan. Tapi operasi yang akan ditangani oleh badan internasional itu ditolak oleh Dewan Revolusioner Rakyat Kampuchea. Mereka menuduh negara Barat dan badan internasional ingin membantu kekuatan Pol Pot dengan "jembatan darat" sebagai kuda Troya-nya. Menurut sebuah laporan CIA yang berjudul Kamboja: Malapetaka Demografis, terbitan Mei 1980, tahun pertama rezim Heng Samrin berkuasa jumlah penduduk Kampuchea berkurang 700 ribu orang. Dengan kata lain, penjarahan Hanoi telah mempercepat pengurangan penduduk Kampuchea. *** Sementara pertunjukan utama berlangsung di pentas Kampuchea, Vietnam menyuguhkan pula adegan sampingan di Laos. Replika mini Vietnam di Laos harus tetap dilindungi, berikut kamp-kamp reedukasi model Gulag, dan penjara sungguhan - sambil melakukan pembantaian besar-besaran penduduk sipil. "Suku terasing Hmong termasuk yang paling menderita," tulis Morris. Dalam Perang Indocina suku ini memihak AS. Tercatat lebih dari 40 ribu orang Hmong mendekam dikamp reedukasi rezim Pathet Loo. Tak puas dengan jumlah yang ditahan, Vietnam dan Laos melancarkan serangan udara dan darat terhadap pembangkang Hmong lainnya. Caranya bahkan semenamena: penduduk sipil dan serdadu tidak dibedakan. Asal ketemu sikat terus. Ribuan penduduk, lelaki, perempuan, dan anak-anak, terbunuh ketika mencoba lari ke wilayah Muangthai. Vietnam juga memperkenalkan perang kimia dan biologi di Laos. Sejak 1975 mereka bukan saja telah menggunakan bom napalm, juga gas racun. Gas itu, setelah diteliti Deparlu AS dan peneliti swasta, ternyata mengandung mycotoxin - populer dengan sebutan "hujan kuning". Tindakan ini terang-terangan melanggar Perjanjian Jenewa. Seorang peneliti swasta, Steriing Seagrave, percaya bahwa pada musim gugur 1979, antara 15 ribu dan 20 ribu orang Hmong tewas karena racun kimia itu. Hanoi tentu saja membantah. Ia malah menyebut bukti yang dikemukakan sebagai "fitnah". Mereka bahkan mencoba mengalihkan perhatian dari isu itu dengan mengemukakan hal yang pernah dilakukan AS dalam Perang Vietnam dulu. *** Kini Vietnam, dalam tulisan doktrinal para pemimpinnya, mengemukakan kebijaksanaan luar negeri partai tidak lagi sekadar menghancurkan imperialis, terutama AS, juga memainkan peran dalam "revolusi sejagat". Karena itulah, mereka, setelah "menguasai" Kampuchea dan Laos, konon sudah mulai pula melatih gerilyawan dari Muangthai. Selain itu dengan stok senjata AS yang jatuh ke tangan mereka, Vietnam dikabarkan juga mensuplai persenjataan gerilyawan El Salvador. Bagi kaum komunis, komitmen politik tidak hanya terletak pada perangkat taktik dan metode untuk meraih kekuasaan negara. Juga pada tipe orde sosiopolitik setelah pengalihan kekuasaan. Seperti kata Sekretaris Pertama PKV Lex Duan: "Perebutan kekuasaan bukan akhir revolusi - itu baru tahap awalnya." Vietnam, menguasai penduduk melalui jaringan kepolisian dan petugas keamanan desa yang dipersenjatai, memang hampir tak memberi ruang gerak pada rakyat. Hampir semua alokasi makanan pokok dan jasa dikuasai. Dan pelayanan diberikan berdasarkan kepatuhan mutlak terhadap pemimpin partai. Menurut Stephen J. Morris, pemerintah Vietnam sesungguhnya tidak pernah menerima dukungan mayoritas penduduk. Kecuali ketika melawan penjajahan asing Prancis, dan AS. "Kesetiaan politik orangorang Vietnam tidak utuh," ujar peneliti itu. Maka dalam usaha mencari dukungan, mereka membentuk berbagai organisasi "front", misalnya, Vietminh, dan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan (NLF). Vietminh didirikan PKV pada 1941. Front ini dipakai untuk mempersatukan rakyat Vietnam "berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme." Empat tahun setelah Vietminh berdiri, PKV dibubarkan. Kaum komunis lalu bekerja dan mengendalikan garis politik organisasi 'front' itu. Belakangan Ho Chi Minh mengaku, "partai tidaklah dibubarkan." Tapi bekerja di bawah tanah. Pada 1951 PKV muncul kembali dengan nama Partai Laodong alias Partai Pekerja Vietnam. Bajunya ditukar, isinya ituitu juga. *** Pembentukan NLF juga tak berbeda. Didirikan pada 1960, front ini dipergunakan untuk menggalang dukungan massa melawan pemerintah Vietnam Selatan yang ditopang AS. Wadahnya begitu luas dan demokratis. Banyak kelompok sosial tertarik karena "menemukan sesuatu" di sana. Tetapi, seperti halnya Vietminh, NLF juga lembaga tipu daya. Front ini hanya diperlukan untuk meraih kemenangan di Vietnam Selatan, 1975. Strategi kaum komunis tidak hanya tertuju pada penduduk setempat, juga terhadap pendapat umum di Barat. Pada awal "masuk"nya AS di Vietnam, oposisi cendekiawan Barat terhadap keterlibatan itu tampak didasarkan pada suatu ilusi: NLF bukan alat Hanoi. Dan tidak kurang pula cendekiawan yang terperangkap mengelu-elukan Ho Chi Minh sebagai pejuang nasional dan "bapak" Vietnam yang agung. Beberapa di antara tulisan mereka mengenai Ho Chi Minh bahkan menerima hadiah Pulitzer dan penghargaan lainnya. Tetapi kemudian mereka terperangah sendiri. Terutama setelah kisah orang perahu dengan segala azab sengsaranya serta laporan mengenai Vietnam yang penuh kamp reedukasi dan NEZ muncul di media dunia. "Citra kepahlawanan revolusi komunis di Vietnam hanyalah imajinasi romantis Barat," ujar Stephen J. Morris. Ia menuding para cendekiawan Amerika yang turut berdiam diri terhadap kekejaman Hanoi. "Mereka itu terlibat atas penderitaan yang ditanggungkan rakyat Indocina," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus