SETELAH berita "orang perahu" berangsur-angsur surut, apa lagi
yang menarik tentang Vietnam? Para pengamat kini mulai
memalingkan perhatian terhadap kenyataan di balik penyatuan
Utara-Selatan negeri itu. Apalagi telah hampir sepuluh tahun
pasukan Hanoi memasuki kota Ho Chi Minh (dahulu: Saigon).
"Tidak banyak partai yang berhasil menutupi diri dengan mitologi
politik seperti halnya Vietnam," tulis Stephen J. Morris dalam
sebuah tinjauannya, penghujung tahun lalu. Dengan kesimpulan
seperti itu, doktor ilmu politik keluaran Universitas Boston ini
mencoba menyimak kebijaksanaan Hanoi terhadap Selatan setelah
wilayah itu berhasil "dikembalikan ke pangkuan ibu pertiwi."
"Selama tiga puluh tahun," demikian Morris, "para pemimpin
Partai Komunis Vietnam (PKV) berhasil meyakinkan sejumlah
wartawan dan cendekiawan Barat bahwa gerakan yang mereka pimpin
adalah gerakan nasional." Gerakan itu seolaholah mencerminkan
tuntutan hati nurani rakyat Vietnam. Dan, seolah-olah komunisme
hanyalah jalan untuk mencapai tujuan nasional - bukan tujuan itu
sendiri.
Ketika AS meninggalkan Vietnam Selatan, 1975, tidak terbilang
penduduk yang cemas akan nasibnya di bawah rezim komunis.
Terutama mereka yang pernah mengabdi dalam dinas sipil dan
militer Vietnam Selatan.
Namun para pemimpin Vietnam Utara tidak bertindak terburu nafsu.
Mereka memperlihatkan sikap santun, seolah olah turut memikirkan
hari depan bekas aparat, pemerintah Selatan itu. Lagi pula, di
hari-hari awal itu, mereka masih mengharapkan dollar AS sebagai
bantuan untuk "pembangunan sosialis."
"Enam minggu pertama kekuasaan komunis di Selatan merupakan
peragaan justa politik yang luar biasa," kata Stephen J. Morris
yang pernah tergabung dalam Pusat Riset Rusia di Universitas
Harvard. Pada Mei 1975, semua eks pejabat rezim Saigon
diwajibkan mendaftarkan diri kepada penguasa baru. Selang
sebulan mereka dipanggil untuk mengikuti program "pendidikan
kembali" (reedukasi). Mereka diwajibkan melaporkan diri pada
hari dan tempat tertentu - tergantung pangkat dan jabatan dalam
pemerintahan Selatan dulu.
Semua eks tamtama dan bintara Angkatan Bersenjata Vietnam
Selatan (ARVN) juga terkena wajib daftar untuk"studi pembaruan".
Studi itu diselenggarakan di Kota Saigon selama tiga hari
berturut-turut mulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 petang. Tiap
sore siswa diizinkan pulang ke rumah masing-masing.
Pada 11 Juni 1975 keluar komunike baru. Komite Pengelolaan
Militer memerintahkan semua perwira senior, tentara dan polisi
untuk segera melaporkan diri. Permintaan serupa juga ditujukan
pada personil legislatif, Yudikatif, dan eksekutif, serta
anggota partai yang reaksioner. Mereka diperintahkan membawa
alat tulis, pakaian, kelambu, perkakas pribadi, makanan, bahkan
uang, untuk keperluan satu bulan. Nah lu!
Para perwira, pejabat tinggi, dan pemuka politik itu kemudian
dimasukkan ke berbagai kamp khusus di daerah pinggiran. Tidak
kurang pula yang dikirim ke Vietnam Utara. Sebagian besar,
sampai sekarang, tidak jelas peruntungannya.
Mereka yang diamankan dalam kamp tidak seorang pun yang pernah
terlibat perkara kriminal. Seluruh proses penangkapan dan
penahanan mereka bahkan tidak mempunyai dasar hukum yang sah.
Berapa banyak penghuni berbagai kamp itu? "Sekitar 20 ribu
orang," ujar para penguasa komunis Vietnam. Tetapi bukti lain
menunjukkan penghuni kamp itu berjumlah sekitar 200 ribu orang.
Nguyen Cong Hoan, bekas wakil Provinsi Phu Khanh dalam Majelis
Nasional Vietnam yang dikuasai kaum komunis, melaporkan angka
lebih besar lagi. Ketika ia, dalam, kedudukan anggota majelis,
beroleh kesempatan mengunjungi berbagai kamp di sekitar
provinsinya, memperkirakan tak kurang dari sekitar 340 ribu
orang yang meringkuk di pelbagai tempat penahanan .
Di kamp, para penghuni dipaksa melakukan pekerjaan badan. Tapi
ransum makanan yang mereka terima tidak sebanding dengan kalori
yang dikeluarkan. Menurut catatan akhir 1978, ransum beras untuk
setiap penphuni kamp berkisar antara 400 dan 470 gramper hari.
Kini, dengan situasi bahan makanan yang makin buruk, sulit
dibayangkan angka yang pasti.
Daging hanya diberikan pada harihari raya nasional. Kebutuhan
obat-obatan tidak terlayani. Kelaparan dan penyakit membunuh
para penghuni kamp secara perlahan-lahan.
Harapan untuk bebas dari kamp masih ada. Yaitu bila mereka punya
sanak saudara yang sanggup menyogok pejabat tertentu. Siapa
bilang para "pemimpin proletariat" tidak bisa disuap?
Di mata penguasa baru, sikap seseorang terhadap rezim lama tidak
begitu penting. Cukup banyak tokoh yang dulu mengkritik
pemerintah lama, toh sekarang meringkuk dalam penjara. Bahkan
tidak sedikit pula bekas anggota Front Pembebasan Nasional
Vietnam Selatan (NLF) yang diterungku tanpa ampun. Padahal, pada
periode pembebasan dulu mereka dirangkul dan dipuja sebagai
pahlawan bangsa.
Pada Oktober 1978, wartawan Prancis Roland Pierre Paringaux
mengunjungi Vietnam - penugasan dari majalah Le Monde. Ia
mencoba menanyakan nasib kaum "revolusioner" yang dipenjarakan
itu kepada Huynh Tan Phat, bekas presiden Pemerintahan Darurat
Revolusioner, yang kemudian menjadi wakil perdana menteri
Republik Sosialis Vietnam.
Jawaban Phat biasa-biasa saja. "Kita harus waspada terhadap para
revolusioner yang sebetulnya bekerja untuk kepentingan musuh,"
katanya. "Di negeri ini memang banyak kamp. Kalau ada nama yang
ingin Anda tanyakan, hubungi saja Mendagri kami."
* * *
Penyiksaan sudah lumrah di penjara Vietnam. Para aktivis Budha
bisa bercerita banyak mengenai hal ini berdasarkan pengalaman
mereka. Banyak tokoh penting yang mati akibat penganiayaan -
termasuk sejumlah pemimpin Budha. Padahal mereka dulu termasuk
kelompok yang memprotes rezim lama. Alasan yang digunakan untuk
menyiksa para tahanan itu ialah "membantah tuduhan sebagai
anggota CIA."
Di samping kamp reedukasi dan sistem kepenjaraan, masih ada
sistem pengekangan lain di Vietnam. Sistem ini dikenal dengan
nama Zona Ekonomi Baru (NEZ).
NEZ adalah daerah pinggiran yang tadinya tidak digarap dan
dihuni manusia. Ke situlah dikirim orangorang yang diragukan
loyalitasnya. Tetapi, bagaimana menakar loyalitas itu? Siapa
saja yang termasuk kategori diragukan?
Pertama, mereka yang mempunyai sanak saudara di kamp reedukasi.
Kemudian, para "kapitalis kota" keturunan Cina, bekas prajurit
ARVN, dan keluarga yang salah seorang familinya pernah bekerja
pada dinas sipil atau militer kolonial Prancis sebelum 1954.
Para penganggur juga termasuk golongan yang diragukan
loyalitasnya.
Di NEZ, para penghuninya diharuskan mencukupi kebutuhan sendiri
dengan bertani. Inilah yang runyam. Tanah NEZ biasanya tidak
subur. Dan mereka yang dikirim ke sana tidak mempunyai
pengalaman bertani.
Tambahan pula, pemerintah tidak menyediakan alat pertanian,
pupuk, bahkan tenaga penyuluh pertanian. Tidak heran kaLau
sebagian penghuni NEZ menganggap diri mereka dihukum mati secara
tidak langsung.
Jalan yang bisa ditempuh untuk menghindari penderitaan di NEZ,
sebagaimana biasa, adalah menyogok petugas. Dengan cara
menyogok, mereka bisa memperoleh "surat izin bepergian" selama
beberapa hari. Ada juga yang nekat lari, kemudian bersembunyi di
Saigon.
Tidak diketahui berapa banyak penduduk yang dipindahkan ke NEZ.
Tetapi target deportasi itu dikabarkan meliputi beberapa juta.
Belakangan ini diberitakan Vietnam juga mendeportasikan
penduduknya ke Uni Soviet untuk dipekerjakan antara lain di
Siberia. Dengan cara ini konon Vietnam membayar utangnya kepada
Kremlin. Setidak-tidaknya, begitulah yang tergambar dalam
tulisan Doan Van Toai dalam Wall Street Journal, Marettahun
kemarin.
Nasib paling buruk agaknya menimpa kelompok penduduk Vietnam
yang dalam istilah sana dinamakan chieu hoi. Mereka ini adalah
para komunis dan anggota NLF yang dulu menyeberang ke rezim
Selatan. Bagi kelompok ini tidak ada pilihan lain, kecuali mati,
bila tertangkap. Sebab"pengkhianatan terhadap revolusi"
merupakan kejahatan yang tidak bisa diampuni. Jumlah mereka
sekitar 220 ribu orang.
Para chieu hoi ini dulu dijanjikan akan dilindungi oleh
pemerintah Selatan dan Amerika Serikat. Tetapi, setelah rezim
Selatan ambruk dan Amerika angkat kaki dari kawasan itu, mereka
tak tahu lagi ke mana mau mengadukan nasib. "Sejak 1975, rezim
baru tidak pernah lagi mengumumkan sesuatu pun tentang chieu
hoi," ujar Stephen J. Morris dalam laporannya. Mereka lenyap
bagai ditelan bumi.
Di bawah semboyan "pembebasan " dan "persatuan ", tangan
penguasa Utara yang keras dan tidak mengenal iba itu
mencengkeram ke seluruh segi kehidupan di Selatan. Penjara,
kerja paksa, dan pembuangan menjadi barang biasa. "Di bawah
rezim totaliter," kata Morris, "setiap orang adalah korban -
langsung atau tidak."
Detil mengenai penderitaan di Selatan bisa ditemukan dalam buku
After Saigon Fell: Evervday Life Under the Vietnamese Communists
karya Nguyen Long - diterbitkan oleh Institut untuk Penelitian
Asia Timur, Universitas California.
Long tak cuma dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang tak
menyukai rezim Thieu dan Diem. Juga penentang kebijaksanaan
Amerika Serikat di Vietnam. Dua kali ia dipenjarakan untuk
kegiatan politiknya. Namun itu tidak menghalangi dia menuntut
ilmu di AS. Sekitar awal 1970-an Long meraih gelar Ph.D. dalam
ilmu politik pada Universitas California, Berkeley.
Pulang ke kampung halaman, Long menjadi dosen di Universitas
Budha Van Hanh, Saigon. Ketika perang usai, ia ikut gembira dan
menanti dengan penuh harapan periode "persatuan nasional dan
pembaruan masyarakat" seperti dijanjikan NLF. Ia kemudian kecewa
besar.
Meski Long tidak termasuk kelompok masyarakat yang harus
"diamankan", toh ia merasakan ketakutan, kemiskinan, pengisapan,
dan korupsi yang datang bersamaan dengan pemerintahan baru.
Menurut pengamatan Long, masyarakat yang diperintah partai
komunis sepenuhnya mengalami politisi.
Semua penduduk Vietnam harus memasuki organisasi - yang tentu
saja diawasi partai komunis. Ada organisasi pionir untuk
anak-anak organisasi Pemuda Ho Chi Minh, Serikat Petani,
Perkumpulan Wanita, Persatuan Cendekiawan Patriotik, Serikat
Orang Tua, dan belasan bentuk lainnya.
Melalui organisasi itu dilancarkan indoktrinasi, pengawasan, dan
penjelasan mengenai kebijaksanaan serta problem partai yang
digariskan dari pusat. Setiap anggota diwajibkan taat kepada
partai, dan tujuannya.
Kebijaksanaan yang ditetapkan para pemimpin partai komunis di
Hanoi disebarkan melalui komite partai provinsi. Lalu diteruskan
lagi kepada penguasa kota, desa, dan seterusnya. Pendeknya,
partai memainkan peranan dalam seluruh cabang dan tingkat
kekuasaan.
Ada dua macam aparat sekuriti dalam pemerintahan komunis
Vietnam. Pertama, para pejabat resmi. Kedua, para agen
terselubung. Pejabat resmi mengenakan pakaian seragam dan
menerima gaji tetap. Mereka juga mendapat hak-hak istimewa yang
layak diterima kelompok elite yang memerintah.
Akan halnya para agen - mungkin lebih tepat disebut mata-mata
keadaannya lain lagi. Mereka, sudah tentu, tidak mendapat
pakaian seragam. Gajinya pun tidak menentu. Mereka umumnya
bertugas melaporkan tingkah laku tetangganya. Tak aneh bila
tiba-tiba Nguyen ini atau Nguyen itu tanpa sebab tidak yang
diketahuinya dikirim ke kamp atau NEZ.
Penduduk tidak selamanya bisa mengenali para mata-mata tersebut.
Karena itu kewaspadaan menjadi sangat tinggi di tengah
masyarakat macam begini. Mana ada orang yang mau dituduh
reaksioner dan antikomunis di tengah pemerintah yang komunistis?
Di samping mengawasi kegiatan politik tetangga, mata-mata itu
juga bertugas mencari kaum pengangguran. Mereka ini, kalau
kedapatan, segera dipulangkan ke kampung halamannya, atau
dikirim ke NEZ. Sedangkan orang-orang yang kedapatan mencoba
meninggalkan tanah air akan ditahan, dan harta bendanya disita.
Usaha lain dalam menegakkan sekuriti adalah mengawasi
gerak-gerik dan kebiasaan penduduk.
Setiap rumah diwajibkan mempunyai "buku rumah tangga" yang
mencantumkan nama penghuni tetap, juga catatan para tamu yang
bermalam. Para kader sekuriti boleh mengecek dan menggeledah
setiap rumah tangga sewaktu-waktu. Menurut Nguyen Long, selama
dua tahun pertama pemerintahan rezim komunis, pengecekan dan
penggeledahan biasa dilakukan lewat tengah malam.
Izin bepergian di dalam negeri dikeluarkan oleh dinas sekuriti.
Dalam permohonan izin harus dicantumkan tanggal keberangkatan,
kepulangan, alasan perjalanan, dan rute yang ditempuh. Tidak
seluruh keluarga diizinkan berangkat bersama guna mencegah usaha
melarikan diri. Dan begitu tiba di tempat tujuan, pendatang
diwajibkan melapor kepada kantor keamanan setempat.
Dewasa ini kehidupan pribadi di Vietnam sudah tidak menentu.
Nguyen Long melaporkan: "Pada pertengahan 1976 seorang prajurit
Utara yang muda datang ke rumah saya untuk keperluan sensus. Ia
masuk tanpa mengetuk pintu, langsung ke kamar makan. Anak
perempuan saya yang berumur sembilan tahun memanggil saya dan
mengatakan ada seseorang di dalam rumah. Ketika turun tangga
saya lihat serdadu itu duduk di meja makan seperti berada di
rumahnya sendiri."
Long terkesima melihat tingkah laku tamu tak diundang itu.
"Tetapi saya segera sadar, prajurit muda ini adalah hasil dari
kebiasaan hidup bertahun-tahun di bawah rezim kolektif. Dia
diajar untuk mengutuk individualisme dan tidak menghargai
kehidupan serta hak-hak pribadi . . .," katanya.
Vietnam juga membentuk organisasi meniru model Pionir Soviet.
Para anggotanya, anak-anak, bertemu sekali seminggu di bawah
pengawasan beberapa kader. Mereka itu diminta bercerita tentang
kehidupan orangtua, saudara-saudara, dan kegiatan keluarga
selama seminggu terakhir. Tidak heran bila hubungan anggota
keluarga menjadi kikuk dan canggung.
Demi melindungi keselamatan, seorang ayah tidak bisa menyatakan
perasaannya secara terbuka kepada istri dan anak-anaknya.
Semuanya terpaksa bermanis-manis dan berbasa-basi. Hubungan
dengan tetangga pun selalu penuh selubung. Tanpa bersandiwara
bisa runyam itu rumah tangga.
Sekarang juga getol ditegakkan pengawasan terhadap kebudayaan.
Penghujung Mei 1975, penguasa revolusioner memulai kampanye
mengganyang apa yang dinamakan "kebudayaan reaksioner dan
dekaden". Sebagai gantinya harus ditegakkan "kebudayaan yang
revolusioner dan sehat".
Komite Pengelolaan Militer segera memerintahkan pelarangan semua
majalah dan buku yang "reaksioner" dan "dekaden". Menurut
rumusan penguasa baru itu buku reaksioner adalah buku yang
isinya melayani rencana agresif imperialisme untuk memperbudak
bangsa Vietnam. Sedangkan buku dekaden adalah buku yang menipu
rakyat dan mengumbar nafsu binatang mereka, umpamanya, buku
cabul dengan potret-potret telanjang.
Catatan terperinci mengenai soal ini bisa dilihat dari laporan
seorang pelarian Vietnam Ho Truong An, cerita Truong An, bekas
pengawas karya sastra pada perpustakaan nasional Vietnam:
Larangan pertama dikenakan kepada buku-buku yang melawan
komunisme. Dalam kategori ini dimasukkan karya Andre Gide, Boris
Pasternak, Arthur Koestler, Solzhenitsyn, dan penulis Vietnam
seperti Vo Phien, dan Vu Khac Khoan.
Sensur berikut adalah terhadap karya yang mereka nilai "karya
erotis." Yang masuk kelompok ini adalah buah pena Henry Miller,
Elia Kazan, Francoisse Sagan, D.H. Lawrence, Erskine Caldwell,
Hermann Hesse, dan para penulis eksistensialis Prancis seperti
Sartre, de Beauvoir, serta Camus.
Karya romantik kebagian ganyangan juga. Ke dalam kelompok ini
termasuk karya Carson McCullers, Erich Segal, Somerset Maugham,
dan sejumlah pengarang Vietnam. Para penulis ini dikutuk karena
"mereka menulis tanpa mengacuhkan penderitaan di sekitarnya, dan
lebih mementingkan cinta individualistis di dalam kehidupan yang
malas dan borjuis.
Yang juga tidak luput dari cercaan adalah buku filsafat dan
agama. Sebab, "di balik setiap ajaran agama dan filsafat
tersembunyi tujuan kapitalistis untuk menghancurkan itikad baik
mnanusia dalam berjuang," kata para penuasa komunis itu.
Menurut radio Hanoi dan Saigon, belasan ton buku dan majalah
telah dibakar demi mempertahankan "revolusi ."
Bagaimana pula sikap penguasa Vietnam di bidang sandang, pangan,
pendidikan, dan pelayanan kesehatan? Nguyen Long mengisahkan:
Di Vietnam, semua barang dan pelayanan disediakan berdasarkan
status politik dan kelas ekonomi seseorang. Para anggota partai
mendapat pelayanan nomor wahid. Pejabat pemerintah dan mereka
yang dikelompokkan ke dalam "kelas pekerja" mendapat pelayanan
kelas dua. Rakyat memperoleh pelayanan paling buntut. Toko-toko
khusus muncul sebagai kenyataan di Vietnam seperti halnya di
hampir semua negara komunis.
Tokoh-tokoh partai - khususnya anggota Politbiro dan Komite
Sentral - mendapat bahan makanan impor dan lokal yang terbaik.
Para kader cabang atas bisa berbelanja di toko spesial - yang
terlarang untuk kader tingkat rendah dan kawula biasa.
Bahan makanan dijual berdasarkan kartu ransum. Untuk kawula,
ransum yang disediakan di bawah standar mencukupi. Hingga harus
diusahakan jatah tambahan. Karena gaji juga rendah, terpaksalah
mereka menjual harta benda untuk memperoleh bahan makanan yang
diperjualbelikan di pasar gelap.
Pelayanan kesehatan dengan sendirinya pula berdasarkan status
sosial dan politik seseorang. Rumah sakit terbaik disediakan
bagi anggota partai dan keluarga mereka. Juga obat diberikan
berdasarkan status tadi. Tidak sembarang orang bisa memperoleh,
misalnya, tetramycin, aureomycin, dan penisilin, kendati
penyakitnya membutuhkan obat tersebut.
Banyak anekdot muncul mengenai perbedaan pelayanan ini. Salah
satu di antaranya: Dalam sebuah pertemuan, seorang awam
bertanya: "Mengapa semua yang terbaik disediakan bagi anggota
dan kader partai?" Menjawablah kader yang memimpin pertemuan
itu: "Supaya mereka bisa menumpahkan seluruh perhatian dan
energinya untuk melayani rakyat." Bukan main!
"Mudah dipahami mengapa orang-orang Vietnam lebih suka
meninggalkan negerinya," kata Stephen J. Morris lebih lanjut
dalam tinjauannya. Tapi itu tak mudah. Harus ada izin
pemerintah. Jika tidak, mereka bisa didakwa "melanggar peraturan
negara" dan "ingkar terhadap kekuasaan rakyat."
Seseorang yang kedapatan meninggalkan Vietnam tanpa izin akan
menerima hukuman penjara. Atau masuk kamp reedukasi selama
jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan pejabat setempat.
Biasanya sekitar 18 bulan. Tetapi bisa juga lebih lama.
Sejak kemenangan Vietnam Utara, puluhan ribu penduduk bersiap
menghadapi berbagai kemungkinan. Simaklah cerita wartawan
Australia Barry Wans dalam buku The Refused.
Beberapa minggu setelah Selatan takluk, rakyat berharap
kehidupan segera pulih di bawah rezim yang baru. Jebulnya, yang
datang malah perintah reedukasi di kamp dan NEZ. Tak heran bila
banyak memilih hengkang ketimbang menanggung azab sengsara.
Jalan untuk kabur ternyata juga tidak gampang. Soalnya, Vietnam
dilingkungi tiga rezim komunis. RRC, Kampuchea, dan Laos.
Pilihan satu-satunya: lari melalui laut.
Tahun 1975, tidak kurang dari 378 orang Vietnam berhasil
mencapai negeri-negeri Asia Tenggara dengan menggunakan perahu.
Angka itu terus meningkat drastis. Tempo dua tahun tercatat
hampir 20 ribu orang menjadi "orang perahu".
Belum reda heboh "orang perahu", rezim Hanoi melancarkan
pembersihan lain. Semua perusahaan besar milik keturunan Cina,
atau yang diduga milik keturunan Cina, disita. Selang dua bulan,
kemudian, Mei 1978, Vietnam memberlakukan alat pembayaran baru -
yang sangat efektif dalam menyikat habis deposito dan tabungan.
Akibatnya: orang-orang Cina yang tadinya kaya raya, mendadak
sontak jadi papa.
Pemerintah kemudian menyuruh mereka pula meninggalkan desa
kelahirannya. Kalau tidak akan dipindahkan ke NEZ dan menjadi
buruh tani. Pilihan lain: kembali ke RRC atau menjadi "orang
perahu". Dalam tempo singkat ribuan keturunan Cina memilih mudik
ke negeri leluhur dengan berjalan kaki.
Pembersihan juga dibakukan terhadap kader partai yang berdarah
Cina. Tak peduli posisi di partai, Angkatan Bersenjata, maupun
instansi pemerintah lainnya. Yang masih berada di luar
lingkungan pemerintahan, tidak boleh direkrut. Bahkan anak-anak
mereka dilarang bersekolah. Ransum makanan pun disetop.
* * *
Di Vietnam Selatan, pembersihan perantau Cina dipercayakan
kepada Biro Keamanan Umum (PSB). Kesempatan itu sekaligus mereka
manfaatkan untuk mengisi kas negara dan kantung sendiri. Setiap
mereka yang ingin meninggalkan negeri itu dikenakan bayaran:
orang dewasa sekitar 5 sampai 8 tahil emas, anakanak separuh
harga, sedang yang berusia 5 sampai 6 tahun gratis.
Separuh dari hasil pungutan masuk ke kas pemerintah Vietnam.
Yang 40% dipakai menyewa perahu, bahan bakar, dan makan minum.
Sisanya (10%) untuk panitia. "Pengurus PSB biasa bersekongkol
dan menerima sogok sebagai tambahan bayaran yang sudah
disepakati," tulis Wain. Upeti boleh berbentuk emas, permata,
atau perabotan rumah tangga. Tapi yang paling mereka senangi
adalah jam tangan Rolex.
Karena urusan mulai menjadi bisnis, maka rezim Hanoi minta
bagian keuntungan. Untuk satu kapal mereka bisa mendapat US$ 4
juta. "Dagang pengungsi ini menjadi sumber utama devisa Hanoi,
dan mengalahkan komoditi ekspor utama negeri itu," ujar Stephen
J. Morris.
* * *
Reda soal warganegara keturunan Cina, penguasa Vietnam melirik
Kampuchea. Ketika memulai gempuran ke Kampuchea, Desember 1978,
pemimpin Hanoi bukannya tanpa alasan. Pol Pot, yang telah
menimbulkan bencana luar biasa terhadap rakyat Kampuchea dinilai
bisa mengganggu keutuhan Indocina. Hingga perlu diganti.
Tapi invasi Vietnam tak kurang menyengsarakan Kampuchea. Semua
persediaan bahan makanan habis dikonsumsikan pada bulan-bulan
pertama tahun itu gara-gara masa tanam dan masa panen tak aman.
Pertengahan 1979, Kampuchea berada di jurang kelaparan. Akhir
tahun itu pemerintahan Heng Samrin, bikinan Vietnam, mengakui
adanya rawan pangan. Dan minta bantuan dunia internasional.
AS bersedia mengirimkan bahan makanan asalkan tidak dikirim ke
Kompay Som atau Pnom Penh sebagaimana permintaan Heng Samrin.
Soalnya, menerima kondisi tersebut bagi AS sama dengan mengakui
rezim itu. Tambahan pula: bahaya kelaparan berada jauh dari
pusat penimbunan makanan. Hingga bantuan yang diberikan
disangsikan bisa mencapai sasaran.
Akhir Oktober 1979, Presiden Jimmy Carter mengimbau pemerintahan
Heng Samrin agar memperbolehkan dibangunnya "jembatan darat"
yang terdiri dari iringan truk bermuatan makanan. Tapi operasi
yang akan ditangani oleh badan internasional itu ditolak oleh
Dewan Revolusioner Rakyat Kampuchea. Mereka menuduh negara Barat
dan badan internasional ingin membantu kekuatan Pol Pot dengan
"jembatan darat" sebagai kuda Troya-nya.
Menurut sebuah laporan CIA yang berjudul Kamboja: Malapetaka
Demografis, terbitan Mei 1980, tahun pertama rezim Heng Samrin
berkuasa jumlah penduduk Kampuchea berkurang 700 ribu orang.
Dengan kata lain, penjarahan Hanoi telah mempercepat pengurangan
penduduk Kampuchea.
***
Sementara pertunjukan utama berlangsung di pentas Kampuchea,
Vietnam menyuguhkan pula adegan sampingan di Laos. Replika mini
Vietnam di Laos harus tetap dilindungi, berikut kamp-kamp
reedukasi model Gulag, dan penjara sungguhan - sambil melakukan
pembantaian besar-besaran penduduk sipil.
"Suku terasing Hmong termasuk yang paling menderita," tulis
Morris. Dalam Perang Indocina suku ini memihak AS. Tercatat
lebih dari 40 ribu orang Hmong mendekam dikamp reedukasi rezim
Pathet Loo.
Tak puas dengan jumlah yang ditahan, Vietnam dan Laos
melancarkan serangan udara dan darat terhadap pembangkang Hmong
lainnya. Caranya bahkan semenamena: penduduk sipil dan serdadu
tidak dibedakan. Asal ketemu sikat terus. Ribuan penduduk,
lelaki, perempuan, dan anak-anak, terbunuh ketika mencoba lari
ke wilayah Muangthai.
Vietnam juga memperkenalkan perang kimia dan biologi di Laos.
Sejak 1975 mereka bukan saja telah menggunakan bom napalm, juga
gas racun. Gas itu, setelah diteliti Deparlu AS dan peneliti
swasta, ternyata mengandung mycotoxin - populer dengan sebutan
"hujan kuning". Tindakan ini terang-terangan melanggar
Perjanjian Jenewa.
Seorang peneliti swasta, Steriing Seagrave, percaya bahwa pada
musim gugur 1979, antara 15 ribu dan 20 ribu orang Hmong tewas
karena racun kimia itu. Hanoi tentu saja membantah. Ia malah
menyebut bukti yang dikemukakan sebagai "fitnah". Mereka bahkan
mencoba mengalihkan perhatian dari isu itu dengan mengemukakan
hal yang pernah dilakukan AS dalam Perang Vietnam dulu.
***
Kini Vietnam, dalam tulisan doktrinal para pemimpinnya,
mengemukakan kebijaksanaan luar negeri partai tidak lagi sekadar
menghancurkan imperialis, terutama AS, juga memainkan peran
dalam "revolusi sejagat".
Karena itulah, mereka, setelah "menguasai" Kampuchea dan Laos,
konon sudah mulai pula melatih gerilyawan dari Muangthai. Selain
itu dengan stok senjata AS yang jatuh ke tangan mereka, Vietnam
dikabarkan juga mensuplai persenjataan gerilyawan El Salvador.
Bagi kaum komunis, komitmen politik tidak hanya terletak pada
perangkat taktik dan metode untuk meraih kekuasaan negara. Juga
pada tipe orde sosiopolitik setelah pengalihan kekuasaan.
Seperti kata Sekretaris Pertama PKV Lex Duan: "Perebutan
kekuasaan bukan akhir revolusi - itu baru tahap awalnya."
Vietnam, menguasai penduduk melalui jaringan kepolisian dan
petugas keamanan desa yang dipersenjatai, memang hampir tak
memberi ruang gerak pada rakyat. Hampir semua alokasi makanan
pokok dan jasa dikuasai. Dan pelayanan diberikan berdasarkan
kepatuhan mutlak terhadap pemimpin partai.
Menurut Stephen J. Morris, pemerintah Vietnam sesungguhnya tidak
pernah menerima dukungan mayoritas penduduk. Kecuali ketika
melawan penjajahan asing Prancis, dan AS. "Kesetiaan politik
orangorang Vietnam tidak utuh," ujar peneliti itu. Maka dalam
usaha mencari dukungan, mereka membentuk berbagai organisasi
"front", misalnya, Vietminh, dan Front Nasional Pembebasan
Vietnam Selatan (NLF).
Vietminh didirikan PKV pada 1941. Front ini dipakai untuk
mempersatukan rakyat Vietnam "berjuang melawan imperialisme dan
kolonialisme." Empat tahun setelah Vietminh berdiri, PKV
dibubarkan. Kaum komunis lalu bekerja dan mengendalikan garis
politik organisasi 'front' itu.
Belakangan Ho Chi Minh mengaku, "partai tidaklah dibubarkan."
Tapi bekerja di bawah tanah. Pada 1951 PKV muncul kembali dengan
nama Partai Laodong alias Partai Pekerja Vietnam. Bajunya
ditukar, isinya ituitu juga.
***
Pembentukan NLF juga tak berbeda. Didirikan pada 1960, front ini
dipergunakan untuk menggalang dukungan massa melawan pemerintah
Vietnam Selatan yang ditopang AS. Wadahnya begitu luas dan
demokratis. Banyak kelompok sosial tertarik karena "menemukan
sesuatu" di sana. Tetapi, seperti halnya Vietminh, NLF juga
lembaga tipu daya. Front ini hanya diperlukan untuk meraih
kemenangan di Vietnam Selatan, 1975.
Strategi kaum komunis tidak hanya tertuju pada penduduk
setempat, juga terhadap pendapat umum di Barat. Pada awal
"masuk"nya AS di Vietnam, oposisi cendekiawan Barat terhadap
keterlibatan itu tampak didasarkan pada suatu ilusi: NLF bukan
alat Hanoi. Dan tidak kurang pula cendekiawan yang terperangkap
mengelu-elukan Ho Chi Minh sebagai pejuang nasional dan "bapak"
Vietnam yang agung. Beberapa di antara tulisan mereka mengenai
Ho Chi Minh bahkan menerima hadiah Pulitzer dan penghargaan
lainnya.
Tetapi kemudian mereka terperangah sendiri. Terutama setelah
kisah orang perahu dengan segala azab sengsaranya serta laporan
mengenai Vietnam yang penuh kamp reedukasi dan NEZ muncul di
media dunia.
"Citra kepahlawanan revolusi komunis di Vietnam hanyalah
imajinasi romantis Barat," ujar Stephen J. Morris. Ia menuding
para cendekiawan Amerika yang turut berdiam diri terhadap
kekejaman Hanoi. "Mereka itu terlibat atas penderitaan yang
ditanggungkan rakyat Indocina," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini