KALAU saja manusia menganggapnya hanya selaput aneh, yang perlu
disobek secara baik-baik tanpa heboh, persoalannya jadi
sederhana. Lalu bisa disobek dengan mudah dan higienis, di
klinik atau rumah sakit, tanpa ribut-ribut tanpa upacara. Bisa
juga dikembangkan semacam perdukunan untuk itu.
Tapi persoalan jadi rumit lantaran, sebaliknya, manusia malah
mengeramatkan benda tipis yang sungguh sederhana itu. Seperti
keramat-keramat lain, selaput yang disebut selaput dara itu bisa
bikin pusing tujuh keliling. Memusingkan bagi laki-laki tapi
lebih-lebih bagi perempuan yang bersangkutan.
Seorang wiraswastawan atau ilmuwan biasa berpikir lurus dan
bening memecahkan berbagai persoalan pelik berliku-liku.
Rasionya berjalan mulus tanpa distorsi dari emosi. Tapi kalau
persoalan sudah menyangkut keperawanan istrinya, rasionya
gerunjal-gerunjal. Dia meraung-raung seperti anak kehilangan
boneka, rasionya buyar, kalau waktu berbulan madu dia yakin
selaput dara istrinya ternyata tidak beres.
Laki-laki yang pemurah penyayang mendadak jadi makhluk yang
rakus, kalau itu menyangkut hak keperawanan, yakni hak yang
sepihak itu. Konsep-konsep kesucian, kegadisan, ketimuran dan
lainnya memberi legitimasi pada kerakusan dan keberangannya yang
tidak bisa dibendung lagi.
Berbagai mekanisme sudah dikembangkan manusia untuk melindungi
kegadisan, kesucian dan keperawanan yang keramat itu. Salah
satunya, aktivitas anak laki-laki dan anak perempuan senantiasa
dipisahkan. Pergaulan bebas dicegah. Seperti pengalaman pribadi
Max Oetara dalam buku Perjalanan anak bangsa, yang disunting
Aswab Mahasin dkk., sesudah bertunangan pun dia tidak
diperkenankan bergaul bebas dengan tunangannya, Marya Martha.
Salah seorang anggota keluarga lainnya menemani si gadis kalau
calon suami datang berkunjung. Jelas, pola hubungan seperti itu
tidak laku lagi sekarang. Kampungan amat.
Mekanisme yang lain, perkawinan anak-anak. Kalau si bocah
dikawinkan sebelum atau segera sesudah haid pertama (menarche),
jelas kegadisan bisa tetap terjamin Keperawanan sudah dititipkan
pada sang suami yang mungkin juga masih ingusan. Tidak ada
masalah. Bebas dari rupa-rupa gosip dan fitnah yang mendongkel
nama baik keluarga.
Bercerita seorang ibu di Sriharjo bahwa suatu hari, ketika dia
belum dewasa, dia terheran-heran melihat orang berdatangan ke
rumahnya. Lebih heran lagi ketika dia diberitahu bahwa mereka
datang untuk upacara pernikahannya. Dia sendiri belum diberitahu
rupanya.
Kini pernikahan semacam itu dicap kolot dan perlu dikikis habis.
Kebiasaan itu sudah dijadikan indikator keterceceran dalam
proses modernisasi. Sudah dilarang Undang-undang Perkawinan,
yang menetapkan batas usia kawin 16 tahun untuk wanita dan 19
tahun untuk pria. Malah itu pun masih terlalu rendah dan perlu
diungkit lagi ke atas. Baik BKKBN maupun gerakan ZPG berusaha
mendorong usia kawin menjadi minimum 20 tahun untuk wanita,
minimum 25 tahun untuk pria, dalam rangka memantapkan penurunan
fertilitas.
Dan memang proses perubahan itu berjalan mantap. Bertambah
majunya pendidikan, mobilitas sosial dan geografis,
masing-masing menyumbang pula kepada peningkatan usia kawin.
Kasihan para remaja dan gadis-gadis. Mereka diberi beban yang
lebih lama dan lebih berat untuk memikul beban keperawanan yang
dikeramatkan itu. Sementara perkawinan ditunda-tunda, demi
modernisasi dan lain-lain sejenis, mereka dirangsang iklan
berbau seks, tontonan yang hot, adegan rangkul-rangkulan,
cium-ciuman, malah adegan ranjang.
Kecuali itu mereka didampingi pemuda-pemuda modern, yang
mengajak rangkulan di atas sepeda motor dan pergi camping, yang
sikapnya semakin tidak jelas tentang keperawanan.
Terombang-ambing? Yang jelas, kelihatannya lebih modern, banyak
miripnya dengan orang Barat dalam video. Pemuda-pemuda ini juga
perlu dikasihani, lantaran menanggung beban dorongan seks yang
pemuasannya terus ditunda-tunda tapi sementara itu
dirangsang-rangsang dengan gencar sekali. Berbagai industri,
atas nama modernisasi, tak henti-hentinya membangkitkan napsu
seksual mereka.
Setuju atau tidak, dianggap benar atau 50 persen benar, hasil
angket Wimpie Pangkahila, angket TEMPO dan angket Sulistya Eko,
sudah mengguncang-guncang kekeramatan keperawanan itu. Gambaran
dari Pangkahila, 27% pelajar SMA laki-laki dan 18% perempuan
sudah pernah berhubungan seks. Gambaran Eko 12,9% pelajar SMA
pernah sanggama 8,5% sanggama kalau pacaran. Gambaran dari
TEMPO, 68,7% pria, 31,2% wanita, setuju sanggama sebelum
menikah, asal suka sama suka. Nilai-nilai luhur sedang
digerogoti rupanya, silakan kebakaran jenggot.
Pada tahun 2000, ketika remaja sekarang sudah bercaturwarga,
mungkin sudah ada versi baru lakon sendratari Ramayana,
disesuaikan dengan selera emansipasi. Sinta masih tetap diobong
(dibakar), dan selamat keluar dari api, dari asap yang
berkepul-kepul. Bukan lantaran masih suci. Dia selamat lantaran
sudah makan pil antihamil. Edaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini