Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sinta tahun 2000 ?

Nilai-nilai luhur bangsa indonesia sedang digerogoti. dahulu selaput keperawanan merupakan beban yang dikeramatkan. dari hasil angket, ternyata senggama sudah dilaksanakan pada saat berpacaran.

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU saja manusia menganggapnya hanya selaput aneh, yang perlu disobek secara baik-baik tanpa heboh, persoalannya jadi sederhana. Lalu bisa disobek dengan mudah dan higienis, di klinik atau rumah sakit, tanpa ribut-ribut tanpa upacara. Bisa juga dikembangkan semacam perdukunan untuk itu. Tapi persoalan jadi rumit lantaran, sebaliknya, manusia malah mengeramatkan benda tipis yang sungguh sederhana itu. Seperti keramat-keramat lain, selaput yang disebut selaput dara itu bisa bikin pusing tujuh keliling. Memusingkan bagi laki-laki tapi lebih-lebih bagi perempuan yang bersangkutan. Seorang wiraswastawan atau ilmuwan biasa berpikir lurus dan bening memecahkan berbagai persoalan pelik berliku-liku. Rasionya berjalan mulus tanpa distorsi dari emosi. Tapi kalau persoalan sudah menyangkut keperawanan istrinya, rasionya gerunjal-gerunjal. Dia meraung-raung seperti anak kehilangan boneka, rasionya buyar, kalau waktu berbulan madu dia yakin selaput dara istrinya ternyata tidak beres. Laki-laki yang pemurah penyayang mendadak jadi makhluk yang rakus, kalau itu menyangkut hak keperawanan, yakni hak yang sepihak itu. Konsep-konsep kesucian, kegadisan, ketimuran dan lainnya memberi legitimasi pada kerakusan dan keberangannya yang tidak bisa dibendung lagi. Berbagai mekanisme sudah dikembangkan manusia untuk melindungi kegadisan, kesucian dan keperawanan yang keramat itu. Salah satunya, aktivitas anak laki-laki dan anak perempuan senantiasa dipisahkan. Pergaulan bebas dicegah. Seperti pengalaman pribadi Max Oetara dalam buku Perjalanan anak bangsa, yang disunting Aswab Mahasin dkk., sesudah bertunangan pun dia tidak diperkenankan bergaul bebas dengan tunangannya, Marya Martha. Salah seorang anggota keluarga lainnya menemani si gadis kalau calon suami datang berkunjung. Jelas, pola hubungan seperti itu tidak laku lagi sekarang. Kampungan amat. Mekanisme yang lain, perkawinan anak-anak. Kalau si bocah dikawinkan sebelum atau segera sesudah haid pertama (menarche), jelas kegadisan bisa tetap terjamin Keperawanan sudah dititipkan pada sang suami yang mungkin juga masih ingusan. Tidak ada masalah. Bebas dari rupa-rupa gosip dan fitnah yang mendongkel nama baik keluarga. Bercerita seorang ibu di Sriharjo bahwa suatu hari, ketika dia belum dewasa, dia terheran-heran melihat orang berdatangan ke rumahnya. Lebih heran lagi ketika dia diberitahu bahwa mereka datang untuk upacara pernikahannya. Dia sendiri belum diberitahu rupanya. Kini pernikahan semacam itu dicap kolot dan perlu dikikis habis. Kebiasaan itu sudah dijadikan indikator keterceceran dalam proses modernisasi. Sudah dilarang Undang-undang Perkawinan, yang menetapkan batas usia kawin 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Malah itu pun masih terlalu rendah dan perlu diungkit lagi ke atas. Baik BKKBN maupun gerakan ZPG berusaha mendorong usia kawin menjadi minimum 20 tahun untuk wanita, minimum 25 tahun untuk pria, dalam rangka memantapkan penurunan fertilitas. Dan memang proses perubahan itu berjalan mantap. Bertambah majunya pendidikan, mobilitas sosial dan geografis, masing-masing menyumbang pula kepada peningkatan usia kawin. Kasihan para remaja dan gadis-gadis. Mereka diberi beban yang lebih lama dan lebih berat untuk memikul beban keperawanan yang dikeramatkan itu. Sementara perkawinan ditunda-tunda, demi modernisasi dan lain-lain sejenis, mereka dirangsang iklan berbau seks, tontonan yang hot, adegan rangkul-rangkulan, cium-ciuman, malah adegan ranjang. Kecuali itu mereka didampingi pemuda-pemuda modern, yang mengajak rangkulan di atas sepeda motor dan pergi camping, yang sikapnya semakin tidak jelas tentang keperawanan. Terombang-ambing? Yang jelas, kelihatannya lebih modern, banyak miripnya dengan orang Barat dalam video. Pemuda-pemuda ini juga perlu dikasihani, lantaran menanggung beban dorongan seks yang pemuasannya terus ditunda-tunda tapi sementara itu dirangsang-rangsang dengan gencar sekali. Berbagai industri, atas nama modernisasi, tak henti-hentinya membangkitkan napsu seksual mereka. Setuju atau tidak, dianggap benar atau 50 persen benar, hasil angket Wimpie Pangkahila, angket TEMPO dan angket Sulistya Eko, sudah mengguncang-guncang kekeramatan keperawanan itu. Gambaran dari Pangkahila, 27% pelajar SMA laki-laki dan 18% perempuan sudah pernah berhubungan seks. Gambaran Eko 12,9% pelajar SMA pernah sanggama 8,5% sanggama kalau pacaran. Gambaran dari TEMPO, 68,7% pria, 31,2% wanita, setuju sanggama sebelum menikah, asal suka sama suka. Nilai-nilai luhur sedang digerogoti rupanya, silakan kebakaran jenggot. Pada tahun 2000, ketika remaja sekarang sudah bercaturwarga, mungkin sudah ada versi baru lakon sendratari Ramayana, disesuaikan dengan selera emansipasi. Sinta masih tetap diobong (dibakar), dan selamat keluar dari api, dari asap yang berkepul-kepul. Bukan lantaran masih suci. Dia selamat lantaran sudah makan pil antihamil. Edaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus