SUATU masa, berjam-jam, bahkan berhari-hari dan sampai larut
malam ia berada di belakang teropong. "Dan pernah, 200 malam
dalam setahun saya habiskan untuk mengamati bintang-bintang,"
katanya. Tapi hampir sepanjang tahun 1982 ia harus kecewa,
karena tak bisamenyaksikan bintang-bintang kesayangannya. "Sebab
terhalang debu Gunung Galunggun," tambahnya.
Bambang Hidayat, satu-satunya profesor astronomi Indonesia saat
ini, agaknya memang sulit berpisah dari teropong bintang. Di
kompleks Observatorium Bosscha' di Lembang, ia bersama
keluarganya tinggal. Di sana pula ia sebagai guru besar
Astronotni dan Konservator Observatorium Bosscha Jurusan
Astronomi ITB mengajar para mahasiswanya. Dan di sana juga
setiap saat ia bisa menyaksikan benda-benda di angit. "Dan
kalau sedang iseng saya mengarahkan teropong ke Kota Bandung,
ingin tahu apa yang terjadi di sana," ucapnya sambil tertawa.
Laki-laki kelahiran Kudus, Jawa Tengah 49 tahun yang lalu itu
memang sejak kecii mengagumi benda-benda langit. Karena itu,
seperti pengakuannya, seJak masa mudanya ia sudah sering
menengadah ke atas, menyaksikan kelap-kelip bintang. Maka
setelah menyelesaikan SMA-nya (1953) di Semarang, anak muda
bermata sipit yang aktif di kepanduan waktu itu, memilih jurusan
astronomi di ITB - satu jurusan yang sampai sekarang masih
disebut "kering". Bekas ketua Departemen Astronomi dan direktur
Observatorium Bosscha ITB (1968-1979) itu mengaku selalu sangat
betah mengintip kelakuan benda-benda langit lewat teropong.
"Menyaksikan kilatan metfor yang sedang merambat di langit
memang amat mengasyikkan," ungkapnya, "kadang-kadang terasa
benda-benda itu seperti akan jatuh menimpa diri saya." Dan
memang, katanya, yang menarik dalam astronomi adala
keanekaragaman bintang.
"Tak ada bintang yang sama denan lainnya," tambah doktor
astronomi dari Case Institute of Technology, Ohio, AS itu.
"Untuk meneliti sekian banyak ragam bintang," tutur ayah dari
dua orang anak itu, "para astronom menerapkan ilmu fisika."
Dengan cara ini akan dapat diketahui hakikat fisik dan kimiawi
berbagai planet misalnya bumi. "Dan semua ini," tambah penjaga
gawang klub sepak bola GaladosITB itu, "tentu saja amat pentin&
bagi Indonesia yang berada di kawasan katulistiwa."
Bambang Hidayat banyak mempublikasikan hasil penelitiannya lewat
teropong Bosscha di dalam maupun di luar negeri. Tak hanya
namanya yang kemudian dikenal kalangan astronomi dunia.
Lebih-lebih lagi Indonesia dengan alat peneropong bintang
Bosscha yang terletak di utara Kota Bandung itu. Hal itu
terlihat misalnya, dengan berlangsungnya berbagai-pertemuan
internasional tentang astronomi di Indonesia. Antara lain,
pertemuan regional astronomi Asia-Pasifik tahun lalu, menyusul
dua pertemuan serupa dalam tahun ini.
Antara lain kunjungan para astronom asing sehubungan dengan
gerhana matahari Juni nanti. Sebagai wakil ketua Panitia
Nasional Gerhana Matahari 1983, kesibukannya mulai memuncak
sejak awal tahun im. Dia harus menyebarluaskan kemampuan
Indonesia mnerima kedatangan para ahli maupun para turis asing
untuk menyaksikan gerhana itu. Ia juga harus membalas
surat-surat para ahli yang menanyakan tempat terbaik untuk
menyaksikan peristiwa itu. Bahkan ia harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang nama hotel, tarifnya, dan harga
makanan setempat.
Belum lagi kesibukannya di dalam negeri sendiri, menyiapkan
berbagal ceramah yang berkaitan dengan gerhana itu. Yang paling
sulit, katanya, adalah menyebarluaskan kepada masyarakat ramai
agar jangan raguragu menyakgikan gerhana itu nanti. Bambang
Hidayat termasuk salah seorang ali yang tak percaya bahwa mata
akan buta bila memandang gerhana matahari total. "Peristiwa ini
jarang terjadi, karena itu harus dinikmati dan diamati
beramai-ramai," kata anak tertua dari 8 bersaudara keluarga
Soedirgo Dhonomidjojo itu.
"Untuk itu," tambahnya, "harus dijelaskan ke khalayak cara yang
aman untuk menyaksikan gerhana itu." Diakuinya memberi
penjelasan itu memang tak mudah, "sama sulitnya dengan anjuran
agar tak melihat gerhana." Tapi Bambang masih melihat
kemungkinan mengerahkan segala alat komunikasi untuk
menyampaikan pesan itukepada seluruh lapisan masyarakat.
Misalnya, radio, televisi, dan kepala desa. "Para lurahlah yang
seharusnya paling aktif memberikan penerangan," ujarnya lagi.
Tapi putra pensiunan Bupati Demak itu sendiri telah mencoba
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyebarluaskan hal itu.
Tak hanya melalui berbagai ceramah. Juga lewat artikel-artikel
di berbagai media massa. Bahkan ketika ditemui di rumahnya dua
pekan lalu, Bambang Hidayat sedang menyiapkan tulisan tentang
gerhana matahari untuk majalah anak-anak Si Kuncung. Namun
beberapa hari kemudian didapatl ia sedang menulis resensi novel
N.H. Dini, Kuncup Berseri Penggemar sastra ini pada 1977 pernah
mendapat Hadiah Seni.
Suami Dr. Estiti Harti Sedjono, dosen dan ahli biologi ITB ini
memang mengaku hanya sedikit waktunya tersisa untuk keluarga.
"Sabtu sore pun saya jarang berkumpul dengan keluarga. Ada saja
undangan," ungkapnya. Ia memang rajin menghadiri undangan.
"Lebih-lebih undangan dari Pak RW," kata laki-laki yang waktu
kecil dipanggil Cepuk ini.
Observatorium Bosscha yang 1 Januari lalu berusia 60 tahun
terletak di pebukitan Lembang di atas ketinggian 1.300 meter.
Dari daerah ketinggian ini, dengan leluasa dapat disaksikan
kawasan Lembang: berbagai peternakan, pertanian sayur, kompleks
Seskau, Seskopol dan kerangka hotel Pertamina yang sudah
terbengkalai dan kini dipenuhi semak.
Di kompleks peneropong bintang ini, terdapat 8 bangunan yang
hampir sama besar. Yang berbeda adalah bangunan berbentuk
setengah silinder yan ada di tengah-tengah kompleks - itulah
letak peneropong bintang. Tapi di antara gedunggedung itu
terdapat sebuah bangunan tahan api, tempat menyimpan sekitar
13.000 jilid buku dan majalah. Kompleks yang dikelilingl pagar
kawat ini selalu ramai di hari-hari biasa, karena di sini juga
para mahasiswa jurusan Astronomi ITB berkuliah dan mengadakan
penelitian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini