Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Profesor astronomi indonesia ia selalu menengadah ke bintang-bintang

Guru besar astronomi dan konservator observatorium bosscha itb, merupakan satu-satunya profesor astronomi indonesia. (tk)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU masa, berjam-jam, bahkan berhari-hari dan sampai larut malam ia berada di belakang teropong. "Dan pernah, 200 malam dalam setahun saya habiskan untuk mengamati bintang-bintang," katanya. Tapi hampir sepanjang tahun 1982 ia harus kecewa, karena tak bisamenyaksikan bintang-bintang kesayangannya. "Sebab terhalang debu Gunung Galunggun," tambahnya. Bambang Hidayat, satu-satunya profesor astronomi Indonesia saat ini, agaknya memang sulit berpisah dari teropong bintang. Di kompleks Observatorium Bosscha' di Lembang, ia bersama keluarganya tinggal. Di sana pula ia sebagai guru besar Astronotni dan Konservator Observatorium Bosscha Jurusan Astronomi ITB mengajar para mahasiswanya. Dan di sana juga setiap saat ia bisa menyaksikan benda-benda di angit. "Dan kalau sedang iseng saya mengarahkan teropong ke Kota Bandung, ingin tahu apa yang terjadi di sana," ucapnya sambil tertawa. Laki-laki kelahiran Kudus, Jawa Tengah 49 tahun yang lalu itu memang sejak kecii mengagumi benda-benda langit. Karena itu, seperti pengakuannya, seJak masa mudanya ia sudah sering menengadah ke atas, menyaksikan kelap-kelip bintang. Maka setelah menyelesaikan SMA-nya (1953) di Semarang, anak muda bermata sipit yang aktif di kepanduan waktu itu, memilih jurusan astronomi di ITB - satu jurusan yang sampai sekarang masih disebut "kering". Bekas ketua Departemen Astronomi dan direktur Observatorium Bosscha ITB (1968-1979) itu mengaku selalu sangat betah mengintip kelakuan benda-benda langit lewat teropong. "Menyaksikan kilatan metfor yang sedang merambat di langit memang amat mengasyikkan," ungkapnya, "kadang-kadang terasa benda-benda itu seperti akan jatuh menimpa diri saya." Dan memang, katanya, yang menarik dalam astronomi adala keanekaragaman bintang. "Tak ada bintang yang sama denan lainnya," tambah doktor astronomi dari Case Institute of Technology, Ohio, AS itu. "Untuk meneliti sekian banyak ragam bintang," tutur ayah dari dua orang anak itu, "para astronom menerapkan ilmu fisika." Dengan cara ini akan dapat diketahui hakikat fisik dan kimiawi berbagai planet misalnya bumi. "Dan semua ini," tambah penjaga gawang klub sepak bola GaladosITB itu, "tentu saja amat pentin& bagi Indonesia yang berada di kawasan katulistiwa." Bambang Hidayat banyak mempublikasikan hasil penelitiannya lewat teropong Bosscha di dalam maupun di luar negeri. Tak hanya namanya yang kemudian dikenal kalangan astronomi dunia. Lebih-lebih lagi Indonesia dengan alat peneropong bintang Bosscha yang terletak di utara Kota Bandung itu. Hal itu terlihat misalnya, dengan berlangsungnya berbagai-pertemuan internasional tentang astronomi di Indonesia. Antara lain, pertemuan regional astronomi Asia-Pasifik tahun lalu, menyusul dua pertemuan serupa dalam tahun ini. Antara lain kunjungan para astronom asing sehubungan dengan gerhana matahari Juni nanti. Sebagai wakil ketua Panitia Nasional Gerhana Matahari 1983, kesibukannya mulai memuncak sejak awal tahun im. Dia harus menyebarluaskan kemampuan Indonesia mnerima kedatangan para ahli maupun para turis asing untuk menyaksikan gerhana itu. Ia juga harus membalas surat-surat para ahli yang menanyakan tempat terbaik untuk menyaksikan peristiwa itu. Bahkan ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang nama hotel, tarifnya, dan harga makanan setempat. Belum lagi kesibukannya di dalam negeri sendiri, menyiapkan berbagal ceramah yang berkaitan dengan gerhana itu. Yang paling sulit, katanya, adalah menyebarluaskan kepada masyarakat ramai agar jangan raguragu menyakgikan gerhana itu nanti. Bambang Hidayat termasuk salah seorang ali yang tak percaya bahwa mata akan buta bila memandang gerhana matahari total. "Peristiwa ini jarang terjadi, karena itu harus dinikmati dan diamati beramai-ramai," kata anak tertua dari 8 bersaudara keluarga Soedirgo Dhonomidjojo itu. "Untuk itu," tambahnya, "harus dijelaskan ke khalayak cara yang aman untuk menyaksikan gerhana itu." Diakuinya memberi penjelasan itu memang tak mudah, "sama sulitnya dengan anjuran agar tak melihat gerhana." Tapi Bambang masih melihat kemungkinan mengerahkan segala alat komunikasi untuk menyampaikan pesan itukepada seluruh lapisan masyarakat. Misalnya, radio, televisi, dan kepala desa. "Para lurahlah yang seharusnya paling aktif memberikan penerangan," ujarnya lagi. Tapi putra pensiunan Bupati Demak itu sendiri telah mencoba mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyebarluaskan hal itu. Tak hanya melalui berbagai ceramah. Juga lewat artikel-artikel di berbagai media massa. Bahkan ketika ditemui di rumahnya dua pekan lalu, Bambang Hidayat sedang menyiapkan tulisan tentang gerhana matahari untuk majalah anak-anak Si Kuncung. Namun beberapa hari kemudian didapatl ia sedang menulis resensi novel N.H. Dini, Kuncup Berseri Penggemar sastra ini pada 1977 pernah mendapat Hadiah Seni. Suami Dr. Estiti Harti Sedjono, dosen dan ahli biologi ITB ini memang mengaku hanya sedikit waktunya tersisa untuk keluarga. "Sabtu sore pun saya jarang berkumpul dengan keluarga. Ada saja undangan," ungkapnya. Ia memang rajin menghadiri undangan. "Lebih-lebih undangan dari Pak RW," kata laki-laki yang waktu kecil dipanggil Cepuk ini. Observatorium Bosscha yang 1 Januari lalu berusia 60 tahun terletak di pebukitan Lembang di atas ketinggian 1.300 meter. Dari daerah ketinggian ini, dengan leluasa dapat disaksikan kawasan Lembang: berbagai peternakan, pertanian sayur, kompleks Seskau, Seskopol dan kerangka hotel Pertamina yang sudah terbengkalai dan kini dipenuhi semak. Di kompleks peneropong bintang ini, terdapat 8 bangunan yang hampir sama besar. Yang berbeda adalah bangunan berbentuk setengah silinder yan ada di tengah-tengah kompleks - itulah letak peneropong bintang. Tapi di antara gedunggedung itu terdapat sebuah bangunan tahan api, tempat menyimpan sekitar 13.000 jilid buku dan majalah. Kompleks yang dikelilingl pagar kawat ini selalu ramai di hari-hari biasa, karena di sini juga para mahasiswa jurusan Astronomi ITB berkuliah dan mengadakan penelitian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus