Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Epidemiolog Pandu Riono menanggapi ancaman sanksi pidana Perda Covid-19 DKI Jakarta yang ditujukan bagi orang yang menolak pengobatan atau vaksinasi Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, sebelum menyebutkan sanksi bagi warga, Perda tersebut seharusnya terlebih dulu menjelaskan kewajiban pemerintah untuk menyediakan vaksin, obat, dan pelayanan yang aman, efektif, serta dibiayai pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah harus menyediakan pengobatan dan vaksin yang aman, efektif, dan dibiayai oleh pemerintah. Baik vaksin, pelayanannya, semuanya,” ujar Pandu saat dihubungi Tempo pada Selasa, 21 Oktober 2020.
Perda Covid-19 disahkan dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta pada Senin, 19 Oktober 2020 lalu. Aturan yang akan menjadi payung hukum bagi penanganan wabah Covid-19 di Jakarta ini memuat 11 bab dan 35 pasal. Adapun ketentuan pidana tertuang dalam Bab X pada Pasal 29, 30, 31, dan 32.
Sanksi bagi yang menolak pengobatan dan vaksin disebutkan pada Pasal 30 Perda Covid-19 yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Menurut Pandu Riono, adanya ketentuan sanksi bagi penolak obat dan vaksin Covid-19 tanpa ketentuan tanggung jawab pemerintah di dalamnya terkesan terlalu memaksa dan berpotensi kontraproduktif. “Jadi, Perda yang terlalu memaksakan itu kontraproduktif,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, hingga saat ini belum ada vaksin yang sudah melewati semua fase uji coba serta terbukti aman dan efektif untuk diedarkan ke masyarakat luas.
Singkatnya, Pandu menyatakan bahwa yang ada saat ini bukanlah vaksin Covid-19, melainkan masih kandidat vaksin Covid-19 yang tengah diteliti. Sehingga, ia menilai akan sangat berisiko jika pemerintah melakukan vaksinasi secara terburu-buru.
“Masih panjang (proses uji coba vaksin), kecuali kalau pemerintah itu tidak mau mendengar para ahli, mau memaksakan supaya penduduk cepat divaksinasi, tapi risikonya tinggi. Kalau ada apa-apa, siapa yang mau menjamin?” ujar epidemiolog itu.
Oleh karena risiko yang tinggi itulah, Pandu menekankan bahwa Perda Covid-19 seharusnya tidak hanya mewajibkan warga menerima vaksin, tetapi juga mewajibkan pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang aman dan terjamin, sekaligus bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkan.
“Jadi, pemerintah itu sebelum memaksakan dia harus bisa menjamin dulu. Nanti kalau ada efek samping, di situ harus disebutkan ‘bila ada efek samping atau masalah akibat vaksinasi, pemerintah harus bertanggung jawab’. Nggak ada kan? Kalau nggak ada, itu menurut saya Perda-nya batalin aja,” ujar Pandu Riono.
ACHMAD HAMUDI ASSEGAF | MARTHA WARTA