Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Lahi Lekang dan Layanan Berbasis Komunitas

Fransiska Imakulata dan Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores memberikan layanan pengaduan kekerasan seksual berbasis komunitas.

25 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAULUS Plapeng masih ingat peristiwa enam tahun lalu. Saat itu sejumlah perempuan datang ke desanya, Desa Waiara, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Mereka mendekati tetua adat dan sejumlah perempuan asli kawasan itu. Ketika bertemu, perempuan itu menjelaskan pentingnya melawan kasus kekerasan dalam rumah tangga serta kasus perundungan seksual.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Karena selama ini kasus kekerasan dianggap biasa saja,” ujar Paulus, Kepala Desa Waiara, Ahad, 18 Desember lalu. Menurut Paulus, masyarakat setempat masih menganggap kekerasan seperti suami yang memukul istri ataupun orang tua terhadap anak sebagai upaya mendisiplinkan anggota rumah tangga masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Awalnya warga Waiara menganggap penyuluhan yang diberikan oleh sejumlah perempuan yang berasal dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan Flores (Truk-F) yang kini dinakhodai Fransiska Imakulata itu sama saja seperti yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat lain. Mereka hanya menjelaskan adanya aturan yang melindungi anak dan perempuan.

Tapi, tutur Paulus, perempuan dari Truk-F itu selalu ada jika masyarakat perlu pendampingan. Perlahan warga Waiara pun terbuka menerima kehadiran Truk-F. Warga juga kemudian menjadi bagian ketika Truk-F membuat layanan berbasis komunitas. Di Waiara, layanan berbasis komunitas itu kemudian dinamakan: Lahi Lekang—artinya menyelesaikan persoalan.

Salah satu tugas Lahi Lekang adalah menyelesaikan masalah kekerasan dan pelecehan secara adat. Jika tak selesai, persoalan tersebut akan dibawa ke kelompok pelindungan anak desa. Truk-F memberi masukan dan baru terjun jika kasus masuk ke ranah pidana.

Menurut Paulus, kasus terakhir yang ditangani oleh layanan berbasis komunitas itu terjadi pada Desember ini. Seorang istri yang usianya masih di bawah 17 tahun dipukuli oleh suaminya. “Kami masih berkoordinasi untuk proses selanjutnya,” tuturnya.

Layanan berbasis komunitas itu juga memberi pendidikan bagi perempuan di desa agar bisa mencari penghasilan sendiri sehingga bisa berdaya secara ekonomi. “Melakukan pemberdayaan kelompok tani dan ikat tenun,” ucap Paulus. 

Paulus menjelaskan, salah satu sumber dana untuk menunjang kegiatan Lahi Lekang berasal dari dana desa. Tahun ini, Desa Waiara mengalokasikan dana Rp 11 juta untuk kegiatan layanan berbasis komunitas tersebut.

Anggota penguatan kapasitas dan organisasi Truk-F, Dafrosa Keytimu, bercerita, tujuan dibentuknya layanan berbasis komunitas pada 2015 itu adalah memperkuat jaringan ke desa. “Di desa sedikit yang paham masalah perempuan,” ucapnya, Sabtu, 17 Desember lalu.

Saat itu, Dafrosa mengimbuhkan, kegiatannya hingga ke tingkat bawah tersebut tak dilirik pemerintah daerah. Tapi mereka jalan terus. Kebetulan mereka mendapat bantuan dari dana desa.

Dafrosa mengatakan saat ini sudah ada delapan desa yang memiliki layanan berbasis komunitas. Kedelapan desa itu dipilih berdasarkan tingginya angka kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga ataupun info tentang perdagangan orang yang didapat oleh Truk-F. Selain Desa Waiara, daerah lain yang terdapat layanan berbasis komunitas adalah Desa Balatatatin, Desa Geliting, Desa Done, dan Desa Magepanda. Semuanya berada di Kabupaten Sikka.

Jika ada laporan kekerasan yang terjadi di delapan desa itu, Dafrosa menambahkan, Truk-F akan meminta laporan diberikan kepada pengurus layanan berbasis komunitas di wilayah tersebut. Dalam satu desa ada 15 orang yang menjadi anggota layanan berbasis komunitas. “Kalau kasusnya sudah berat, baru Truk-F tangani,” katanya. “Layanan berbasis komunitas mengurangi beban kerja kami.”

Dafrosa menuturkan, layanan berbasis komunitas juga menjadi ruang belajar untuk anak-anak. Mereka mendirikan perpustakaan desa dan menghidupkan Internet desa. Adapun para remaja perempuan dan perempuan dewasa sudah berani berbicara mengenai hak perempuan dalam pertemuan di desa ataupun antardesa.

Kepala Desa Magepanda, Servanius Martinus Mau, mengatakan kasus pelecehan dan kekerasan bisa ditangani dengan cepat karena ada layanan berbasis komunitas. Contohnya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya yang mengalami gangguan jiwa pada Oktober lalu. “Malam itu juga kami laporkan ke polisi setelah berkoordinasi dengan Truk-F,” tuturnya.

Namun Servanius berharap layanan berbasis komunitas dan Truk-F bisa bekerja lebih keras. Sebab, kasus pelecehan atau kekerasan seksual masih tetap terjadi meskipun sudah ada layanan berbasis komunitas, Truk-F, dan warga yang lebih paham terhadap aturan. “Agar desa bebas dari kasus-kasus kekerasan,” ucapnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus