Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUMUR-sumur minyak itu akhirnya litak juga. Sepuluh tahun silam, ke-15 ladang minyak yang beroperasi di seantero Nusantara masih berjaya menyedot 1,6 juta barel setiap hari. Kini, sebagian besar sumur warisan zaman kolonial itu mulai megap-megap. Belum lagi, seperti dikatakan staf ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Hardi Prasetya, investasi baru di sektor eksplorasi minyak bumi mandek. ?Akibatnya, produksi minyak hanya satu juta barel per hari,? katanya.
Sebaliknya, kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri terus melonjak. Angka terakhir menunjukkan 1,1 juta barel setiap hari. Sudi tak sudi, Indonesia pun harus menerima gelar net oil importer. Memang, dalam hal minyak mentah, Indonesia masih bisa disebut net exporter. Data Departemen Energi mencatat, ekspor minyak 525 ribu barel per hari, impor cuma 400 ribu barel. Ada ?surplus? 125 ribu barel.
Namun, dalam urusan BBM, ekspor mencatat 154 ribu barel per hari, impornya 330 ribu barel. Artinya, ?tekor? 176 ribu barel. Kok? Masalahnya bergantung pada kilang Indonesia, yang hanya mampu mengolah 800 ribu barel per hari, atau 70 persen dari kebutuhan BBM nasional. Keadaan makin buruk oleh melonjaknya harga minyak mentah dunia, hingga menembus batas psikologis US$ 50 per barel.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Aburizal Bakrie, mengatakan menurut kalkulasi pemerintah, harga minyak tidak akan kembali ke US$ 24 per barel. Sepanjang tahun ini kemungkinan besar harga berada pada US$ 35-40 per barel. ?Artinya, subsidi BBM akan mencapai Rp 72 triliun,? katanya. Suntikan dana ini tentu tak main-main.
Pemerintah akhirnya berketetapan hati menaikkan harga BBM 29 persen, mulai Maret ini. Bensin premium, yang tadinya Rp 1.810, menjadi Rp 2.400 per liter. Solar dari Rp 1.650 naik jadi Rp 2.100. Subsidi bisa ditekan sampai Rp 30 triliun. ?Memang pahit dan tidak populer,? kata Aburizal. Tapi, mau bagaimana lagi?
Status net oil importer inilah, menurut pengamat perminyakan Kurtubi, sebenarnya pangkal kenaikan harga BBM. ?Jangan melulu melihat APBN dan harga minyak mentah dunia,? katanya. Coba tengok sepuluh tahun silam. Berapa pun harga minyak mentah dunia, subsidi BBM terus mengucur, karena penghasilan negara dari sektor tambang waktu itu masih cukup besar.
Sekarang, kata Kurtubi, impor minyak cenderung terus naik, karena konsumsi meningkat tapi produksi turun. Lihatlah catatan Departemen Energi. Pada 2001 impor BBM masih 75,27 juta barel, tapi pada 2002 naik jadi 79,12 juta barel. Tahun berikutnya sudah 108,69 juta barel. Cara yang bijak, menurut Kurtubi, adalah mengurangi pemakaian BBM, beralih ke bahan bakar alternatif seperti gas alam dan batu bara.
Lain lagi pendapat Hardi Prasetya. Menurut dia, ketergantungan impor BBM bisa ditekan dengan membangun kilang pengolahan. Sejak empat tahun lalu sudah 22 investor yang mengajukan permohonan izin membangun kilang. ?Tapi terhambat harga BBM yang tidak bisa bersaing karena masih disubsidi,? kata Hardi.
Tapi, menurut Kurtubi, cara itu tak akan banyak membantu kalau produksi minyak terus turun. Investasi kilang harus juga dibarengi eksplorasi sumur baru. Anjloknya produksi, kata Kurtubi, lebih disebabkan kesalahan pemerintah mengelola industri perminyakan. ?Jadi, bukan karena sumur-sumur itu sudah tua.? Buktinya, Amerika Serikat yang sumurnya juga setua Indonesia tetap berkesinambungan inves-tasinya di bidang perminyakan.
Kurtubi menjelaskan, kesalahan mengelola ini akibat keluarnya Undang-Undang No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas. Peraturan ini membuat investor patah semangat. Coba, investor yang baru mau mencari ladang minyak sudah langsung dikenai pajak. ?Kalau ini dihapus, Indonesia akan kembali ke sepuluh tahun silam,? kata Kurtubi.
Stepanus S. Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo