Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Strategi Maya Pendulang Suara

Relawan siber pendukung Joko Widodo menggarap pengguna media sosial karena sentimen Internet kunci kemenangan pemilihan presiden. Merajai trending topic dengan tagar yang direncanakan.

30 Juni 2014 | 00.00 WIB

Strategi Maya Pendulang Suara
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DUA hari setelah pengundian nomor urut calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo mengumpulkan relawan dunia maya pendukungnya di Restoran Horapa di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Sambil makan malam menu Thailand, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini bertanya tentang respons pengguna media sosial atas penampilannya di gedung Komisi Pemilihan Umum pada 1 Juni 2014 itu.

Tanggapan dari sekitar 20 relawan yang hadir malam itu beragam. Ada yang mendukung, tak sedikit yang mempertanyakan gaya Jokowi yang tak rileks dengan tak menyapa rivalnya, pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, saat berpidato. "Menurut Pak Jokowi, sikapnya itu disengaja untuk menunjukkan ia marah atas kampanye hitam yang menimpanya," ujar Sony Subrata, Presiden Direktur Arwuda Communications, yang hadir malam itu, dua pekan lalu.

Selain pengundian nomor urut, acara lain di KPU adalah deklarasi damai kampanye sehari berikutnya. Di panggung KPU itu, kedua pasangan bergandengan tangan sebagai tanda deklarasi kampanye sejuk. Alih-alih tersenyum, Jokowi menggamit lengan Prabowo dengan kaku. Kepada para relawannya, kata Sony, Jokowi mengaku jengkel karena deklarasi damai itu hanya sebatas pernyataan.

Sudah beberapa hari calon presiden nomor urut 2 ini diserang isu yang menuduhnya beretnis Tionghoa, beragama Kristen, dan ingkar janji karena tak menuntaskan jabatan Gubernur Jakarta. "Ia marah karena kampanye hitam itu sudah memfitnah ibunya," ucap Sony, 48 tahun.

Di media sosial, menurut Sony, Jokowi dipersepsikan negatif karena ingin merebut citra tegas yang selama ini melekat pada Prabowo. Adapun Prabowo, yang berhormat dan menyalami tokoh-tokoh politik pendukung Jokowi di KPU, menghasilkan sentimen positif sebagai orang yang ramah. "Saya katakan kepada Jokowi, pertahankan citra ramah dan jangan berusaha merebut citra tegas karena itu sudah milik Prabowo," ujarnya.

Jokowi setuju dengan saran itu. Ia meminta para relawan tak saling menyalahkan jika ada komunikasi publiknya yang keliru. Menurut Jokowi, kata Sony, kekacauan itu terjadi karena tak adanya "komando" dalam kampanye siber. Jokowi lalu mendapuk Sony dan memintanya menggodok kampanye yang lebih efektif dan mengkoordinasikannya dengan strategi media sosial dari tim sukses yang dipimpin Romanus Sumaryo, konsultan media dari Narada Communications. "Sebelumnya, kampanye kami di media sosial ini seperti bunyi-bunyian, belum menjadi orkestra," ucapnya.

Bagi Jokowi, Sony bukan orang kemarin sore. Mereka akrab saat pemilihan Gubernur Jakarta memasuki putaran kedua, Juni 2012. Sony mendirikan Jokowi-Ahok Social Media Volunteer, yang menghimpun relawan siber untuk pasangan ini. Strategi kampanye media sosial dirancang berdasarkan data yang dijaring Politicawave, lembaga pemantau percakapan Internet, yang didirikannya bersama Yose Rizal. Adapun Sumaryo menghimpun pesohor Twitter dalam pertemuan-pertemuan kecil untuk memunculkan isu-isu positif tentang Jokowi.

Salah satu strategi Sony menaikkan popularitas Jokowi di Jakarta, selain menyebarkan keberhasilannya sebagai Wali Kota Solo, adalah mengusung Jokowi sebagai presiden. Jokowi tak setuju ide ini. Ia khawatir kampanye itu berbalik menggerus elektabilitasnya karena pemilih menganggap ia gila jabatan. "Saya bilang, jika Jokowi dianggap pantas sebagai presiden, apalagi menjadi Gubernur Jakarta," kata Sony. Jokowi setuju.

Sejak itu, ada sekitar 200 berita per hari dan 50 ribu percakapan di media sosial yang menyebut Jokowi. Apa pun kegiatannya dipantau media massa serta memancing pengguna Twitter dan Facebook menyebarkan dan memberi komentar. Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kemudian memenangi pemilihan gubernur, tapi namanya tak henti dipercakapkan sebagai calon pemimpin nasional paling potensial.

Setelah PDI Perjuangan mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden pada pertengahan Maret 2014, Sony dan Yose kembali diajak menggarap pemilih yang aktif di media sosial. Menurut Sony, Jokowi tergiur oleh data 70 persen pengguna Internet, yang meliputi 30 persen pemilih pemula, terhubung dengan media sosial. "Kami sudah meneliti 10 dari 12 pemilihan kepala daerah bisa diprediksi dengan melihat percakapan netizen," ujar Yose.

Pertemuan Horapa menjadi titik balik relawan maya pendukung Jokowi. Sebelumnya, karena banyaknya relawan offline dan online yang terserak, koordinasi amburadul. Tim yang dipimpin Sumaryo mengusung tagar #JKW4P, sementara 30 kelompok relawan se-Indonesia menciptakan tagar-tagar sendiri yang tak terkontrol. Akibatnya, kampanye Jokowi tak menembus trending topic dunia.

Di bawah kendali Sony dan Sumaryo, trending topic itu dirancang dan disinkronkan dengan kegiatan Jokowi di depan publik. Seperti saat debat calon presiden pertama pada 9 Juni. Tagar #PresidenNomor2 menduduki peringat kedua yang paling banyak dicuitkan di Twitter malam itu setelah #DebatCapres. Jumlah percakapan yang menyebut Jokowi mencapai 47.610 dengan cuit positif empat kali dibanding percakapan untuk Prabowo.

Menurut Sony, tagar itu dirancang sore sebelum debat. Jokowi bertanya tagar apa yang akan diusung tim media sosial. Berbekal informasi dari Sony itu, di akhir debat Jokowi berterima kasih kepada istri dan anak-anaknya lalu berkata, "Keluarga nomor satu, presiden nomor dua," sambil mengacungkan dua jari. Salam penutup inilah yang menjadi gong debat malam itu. Tagar itu hidup lagi dan diperbincangkan oleh para pengguna media sosial.

Ada tiga kelompok relawan media sosial di belakang Jokowi yang dikendalikan Sony. "Ini di luar relawan yang tak mendaftar sehingga sulit kami pantau," katanya. Kelompok pendukung biasanya melempar isu-isu positif tentang Jokowi. Misalnya keberhasilannya di Solo atau dua tahun di Jakarta. Ada juga kelompok "penghadang" yang tugasnya mengklarifikasi berita-berita miring tentang Jokowi.

Sony mencontohkan @PartaiSocmed yang mengklarifikasi surat palsu Jokowi ke Kejaksaan Agung. Tanda tangan surat yang meminta Kejaksaan menunda penyidikan dugaan korupsi pembelian Transjakarta tak sama dengan coretan tangan Jokowi. Ada juga kelompok "penyerang" yang bertugas menyebarkan fakta negatif tentang Prabowo-Hatta: pelanggaran hak asasi manusia, penculikan aktivis prodemokrasi 1998.

Masalahnya, Sony, Yose, dan Sumaryo tak bisa memantau seefektif apa peran ketiga kelompok ini. Mesin dan analisis Politicawave tak bisa melacak sejauh mana klarifikasi @PartaiSocmed atas surat itu diterima netizen dan membalikkan persepsi Jokowi yang kadung rusak, ditambah lagi dengan penyebaran masif tabloid Obor Rakyat. Atau sejauh mana klarifikasi tim Jokowi mengunggah surat lahir dan pernikahan untuk menyanggah etnis dan agamanya sampai ke pembaca.

Faktanya, menurut survei Indikator Politik Indonesia, kampanye hitam yang menyerang Jokowi berpengaruh menggerus popularitasnya. Sedangkan elektabilitas Prabowo terus naik karena pemilih tak mempedulikan pelanggaran hak asasi manusia yang melilitnya. "Kami pernah mencoba menggodok kampanye hitam, tapi tak bisa karena kami tak tahu caranya," kata Sony.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus