Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GAGAL berbisnis di Solo tidak membuat Abdullah Makhmud Hendropriyono membenci Joko Widodo. Alih-alih kecewa, mantan Kepala Badan Intelijen Negara ini justru terpukau oleh sikap Jokowi pada satu dasawarsa lalu. Ketika itu Jokowi-masih menjabat Wali Kota Solo-menolak proposal investasi Hendro di bidang properti.
"Dia bilang, 'Maaf tidak bisa'," kata Hendro saat ditemui di kantor PT Andalusia Antar Benua di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Dianggap tidak memenuhi persyaratan, ia pun pulang ke Jakarta dengan tangan hampa.
Santun tapi tegas. Kesan itulah yang ditangkap Hendro dari pertemuan perdananya dengan Jokowi. Sebagai kepala daerah, Jokowi dinilai bisa menempatkan diri sebagai pelayan publik. Ia cekatan merespons permintaan audiensi dari calon investor. Tiba di Solo pukul 9 pagi, Hendro langsung diladeni tiga jam kemudian. Namun sikap itu tidak menjamin negosiasi berjalan lancar, tak peduli meski Hendro adalah mantan jenderal bintang empat.
"Ngomongnya sopan sekali, jadi saya tidak tersinggung," ucap Hendro. Dari gaya bicara to the point itu pula muncul kesan bahwa Jokowi bukan orang yang doyan basa-basi. "Saya simpulkan dia ini orang kerja, cuma potongannya enggak ada," kata pria 69 tahun ini sembari terbahak.
Karakter "orang kerja" telah mengantarkan Jokowi ke kursi Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Langkahnya cukup berliku karena mendapat tentangan cukup kuat dari dalam dan luar partai pengusungnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hendro mengatakan dialah yang berkali-kali meyakinkan Taufik Kiemas (almarhum), Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PDIP saat itu, agar merestui pencalonan Jokowi.
Dua tahun berlalu, Hendro kembali mendukung kepala daerah jagoannya itu. Kali ini mantan Wali Kota Solo itu diusung ke pentas nasional sebagai calon presiden. Dua tahun dinilainya cukup untuk membuktikan hasil kerja selama menjadi gubernur. Penataan pedagang kaki lima di Tanah Abang dan permukiman kumuh di bantaran Waduk Pluit menjadi contoh riil. "Daripada yang akan dan akan, dia sudah pernah bikin di Solo dan Jakarta," ujarnya.
Hendro tak sendirian. Adik angkatannya di TNI Angkatan Darat, Luhut Binsar Panjaitan, juga menjagokan Jokowi. Mereka bergabung dengan barisan mantan tentara dan polisi, seperti Fachrul Razi, Subagyo Hadisiswoyo, Tedjo Edi, Wiranto, Sumardi, Johny Lumintang, Sutiyoso, Syamsir Siregar, Da'i Bachtiar, Sintong Panjaitan, dan Bibit Samad Riyanto. Jumlahnya tak kurang dari 38 jenderal purnawirawan.
Persinggungan Luhut dengan Jokowi juga berawal dari urusan bisnis. Keduanya berjumpa enam tahun lalu ketika pensiunan jenderal bintang empat ini ingin berbisnis kayu. Luhut memiliki hak pengusahaan hutan seluas 52 ribu hektare di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Lulusan terbaik Akabri 1970 ini kala itu mendapat saran dari anak bungsunya yang kuliah di luar negeri. Si anak mengatakan agar ia tidak menjual kayu gelondongan. "Carilah finished product," ujar pria 66 tahun ini menirukan perkataan anaknya.
Belum berpengalaman di bisnis kayu, Luhut mencari perusahaan yang mumpuni dalam industri furnitur. Pencariannya berujung pada nama Joko Widodo, saat itu masih Wali Kota Solo. Calon presiden yang berpasangan dengan Jusuf Kalla ini dikenal sebagai pengusaha mebel yang sukses lantaran banyak mengekspor produk kayu olahan.
Lewat perusahaan energi dan pertambangan miliknya, PT Toba Sejahtra, Luhut memutuskan menjalin kerja sama bisnis dengan Jokowi. Ia membeli 49 persen saham PT Rakabu Sejahtra, perusahaan mebel yang dikelola anak Jokowi. Singkat cerita, keduanya bekerja sama membentuk PT Rakabu menjadi perusahaan mebel yang berorientasi ekspor.
Hubungan Luhut dengan Jokowi memang tidak melulu soal bisnis. Mereka kerap bertukar pikiran tentang banyak hal, termasuk politik. Jokowi, misalnya, pernah meminta saran kepada Luhut sebelum pemilihan Gubernur Jakarta. "Pak Luhut, saya mau minta advis mengenai Gubernur DKI karena banyak yang mendorong saya," ucap Luhut menirukan Jokowi.
Kebetulan beberapa waktu sebelumnya Luhut pernah berbincang dengan Fachrul Razi dan Sumardi tentang kemungkinan mencalonkan Jokowi sebagai gubernur. Pucuk dicita, ulam tiba. "Saya bilang, 'Anda maju sajalah'," katanya menjawab permintaan saran Jokowi.
Pernah pula pada satu kesempatan, Luhut dan Jokowi berdiskusi soal makroekonomi dan politik luar negeri. Luhut yang awalnya memberi penjelasan kepada Jokowi. "Dia enggak lama kemudian sudah mengerti. Bahkan dia yang ngasih briefing," ujarnya.
Menurut Luhut, Jokowi adalah pribadi yang jujur, pintar, bersahaja, dan teguh memegang komitmen. "Dia orangnya tidak bisa diatur," ucap Luhut di markas tim Bravo Lima di Jalan Banyumas Nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis dua pekan lalu. Sejak pertemuan pertama enam tahun lalu, ketika Jokowi masih "culun", Luhut sudah merasa cocok.
Gaya kepemimpinan Jokowi juga memikat Muchdi Purwoprandjono. Mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus dan Deputi Kepala BIN ini tidak kisut nyali menyatakan dukungan. Padahal selama ini ia dikenal sebagai sahabat Prabowo Subianto, rival Jokowi dalam pemilihan presiden. Muchdi, yang dua tahun lalu mendukung Fauzi Bowo, berubah pikiran setelah melihat sepak terjang Jokowi memimpin Ibu Kota. "Dia sudah berbuat banyak," katanya Sabtu dua pekan lalu.
Berbeda dengan Hendro dan Luhut, Muchdi mengaku tak mengenal Jokowi. Ia belum pernah bersinggungan dalam urusan apa pun. Itu sebabnya, ia mafhum tatkala Jokowi secara implisit pernah tidak bersedia menemuinya beberapa hari setelah dideklarasikan sebagai calon presiden.
Ketika itu Jokowi, yang dijadwalkan mengunjungi kantor PP Muhammadiyah pukul 11, terlambat beberapa jam. Muchdi, yang menunggu kedatangan Jokowi hingga satu jam untuk memberi dukungan, akhirnya memutuskan pulang sehingga batal bertemu. "Belakangan, saya tahu dia telat datang karena masih mencurigai saya kawannya Prabowo," ucap jenderal purnawirawan bintang dua ini.
Kejadian itu tidak membuat Muchdi menarik sokongan. Salah satu pendiri Partai Gerindra ini mengatakan dukungannya bersifat pribadi. Ia tidak mewakili partai, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga tertentu ataupun ikut rombongan Luhut dan Hendro. "Saya hanya melihat kerja dan record dia (Jokowi)," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo