Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Fraksi PDI Perjuangan dan PSI di DPRD DKI menyoroti kegemaran pemerintah provinsi membangun tugu kontemporer.
Tugu-tugu bertema modern tersebut dianggap kurang bermakna dalam mempercantik ibu kota, bahkan cenderung terjadi pemborosan.
Alih-alih membangun tugu dan monumen, DKI diharapkan berfokus menyelesaikan masalah mendasar warga, seperti banjir, ketersediaan air bersih, dan sampah.
JAKARTA — Pagar berbahan fiber setinggi lebih-kurang 170 sentimeter itu berdiri melingkar di sudut Jalan Jenderal Sudirman dan Setiabudi Raya, Jakarta Selatan. Pagar ini membentuk persegi dengan luas 15 x 15 meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada beberapa bagian tampak celah di antara pagar. Di dalamnya terlihat beberapa peralatan dan material bangunan yang tergeletak. Di dalam pagar terlihat jelas sebuah benda berbentuk bulat melingkar mirip cakram ataupun piring dengan diameter sekitar 5 meter. Namun cakram tersebut tertutup terpal berkelir biru.
Rifai, seorang pengemudi ojek daring, mengatakan cakram berselubung terpal biru itu sudah terpasang sejak beberapa bulan terakhir. Ia tak terlalu memperhatikan kondisi pagar dan cakram itu meski sering mangkal di kawasan tersebut. "Setahu saya di situ akan dibikin monumen, entah apa namanya," kata pria berusia 36 tahun itu kepada Tempo, kemarin.
Sementara itu, Risma, pegawai sebuah kantor di kawasan tersebut, juga tak ingat pasti kapan terakhir kalinya kegiatan pembangunan di sudut jalan itu berjalan. Namun, sebatas ingatannya, ia pernah melihat pekerja proyek bekerja di dalam pagar itu pada April. "Sempat masuk kantor saat itu. Tapi, setelah WFH (saat terjadi lonjakan jumlah kasus Covid-19 pada Juli-Agustus) saya tidak tahu lagi," kata perempuan berusia 29 tahun itu.
Cakram tersebut merupakan instalasi utama Tugu Sepeda yang dibangun pemerintah DKI Jakarta. Tugu tersebut rencananya dibuat seperti roda sepeda dengan sejumlah ornamen khas Jakarta di dalamnya.
Tugu Sepeda ditutup kain biru di Jalan Jend Sudirman, Jakarta, 30 September 2021. TEMPO/Subekti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Monumen ini merupakan bentuk kebijakan dan dukungan Pemerintah Provinsi DKI kepada warga pengguna transportasi sepeda. Selain menjadi alat transportasi alternatif, kereta angin ini dianggap lebih ramah lingkungan dan menyehatkan.
Karena itu, Pemprov DKI menganggap perlu memberikan apresiasi bagi pesepeda. Selain mendirikan tugu, DKI membangun 11 jalur sepeda permanen di kawasan Jalan Jenderal Sudirman. Proyek pembangunan tugu dan jalur sepeda itu diperkirakan memakan biaya Rp 28 miliar.
Adapun dana yang dipakai untuk membangun Tugu Sepeda diperkirakan mencapai Rp 800 juta. Pembangunan tugu dan jalur sepeda ini berada di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Menurut rencana, tugu tersebut dibangun pada awal April lalu dan selesai pada Mei 2021. Namun hingga sekarang Tugu Sepeda belum juga selesai.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gilbert Simanjuntak, mengatakan pemerintahan Gubernur Anies Baswedan terlalu sering membuat tugu bertema kontemporer. Sebagai contoh, Tugu Getah Getih dari bambu yang dibangun pada Agustus 2018 untuk merayakan Asian Games 2018, Tugu Batu Gabion, serta Tugu Sepatu.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) dan seniman Joko Avianto berswafoto dengan latar Getah Getih di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 16 Agustus 2018. TEMPO/Amston Probel
Menurut Gilbert, pembangunan tugu-tugu tersebut tidak bermanfaat untuk keindahan kota. Menurut pria berusia 57 tahun itu, tugu-tugu kontemporer ini cenderung cepat rusak dan tak punya kejelasan makna. Sebagai contoh, Tugu Getah Getih, yang menelan biaya sekitar Rp 550 juta, hanya mampu bertahan selama 11 bulan. "Tidak ada historis dalam pemilihan tugu. Padahal ditempatkan di jalan protokol," kata Gilbert kepada Tempo, kemarin.
Gilbert pun menyarankan agar Pemprov DKI membangun tugu kontemporer di lokasi-lokasi wisata. Menurut dia, tugu yang bersifat kekinian lebih cocok disandingkan dengan pariwisata.
Selain itu, Gilbert berharap tugu-tugu baru yang dibangun pemerintah punya umur panjang. Menurut dia, sayang jika tugu atau monumen yang dibikin dengan dana besar hanya bertahan dalam hitungan pekan hingga bulan.
Gilbert pun mendesak Pemprov DKI lebih bijak dalam membangun sebuah tugu atau monumen. Ia menduga beberapa alasan Pemprov gemar membikin tugu kontemporer dalam beberapa waktu terakhir, di antaranya sekadar mengeluarkan APBD atau pesanan/permintaan pejabat tertentu. "Atau memang kemampuan manajemen kota yang dimiliki gubernur hanya sebatas itu," kata Gilbert.
Wakil Ketua Fraksi Partai Solidaritas Indonesia DPRD DKI, Justin Adrian Untayana, juga menyoroti kegemaran Pemprov DKI membangun tugu. Bahkan, selain tugu dan monumen, pemerintahan Anies Baswedan selama ini kerap berfokus membangun urusan tata kota yang kurang esensial. "Sangat sedih melihat Gubernur sibuk mengurus warna cat genting warga, bongkar atap JPO (jembatan penyeberangan orang), atau ganti tugu," kata Justin kepada Tempo.
Padahal, saat ini DKI masih punya sederet pekerjaan rumah yang harus dikebut penyelesaiannya, seperti ancaman banjir menjelang musim hujan, pengelolaan sampah, serta ketersediaan akses air bersih untuk warga Jakarta. Menurut Justin, penyelesaian ketiga masalah utama tersebut masih jalan di tempat. "Belum lagi masalah polusi, ledakan jumlah penduduk, dan lain sebagainya," kata Justin.
Karena itu, Justin berharap Gubernur Anies mampu berfokus menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Terlebih masa jabatan Anies memasuki tahun terakhir. "Berhenti bersolek dan mulai menyentuh kebutuhan utama masyarakat," kata dia.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, tak memberikan respons ketika ditanya tentang kepastian penyelesaian Tugu Sepeda, kemarin. Namun Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria sempat membantah soal mangkraknya pembangunan Tugu Sepeda. Menurut politikus Partai Gerindra itu, pembangunan Tugu Sepeda masih berjalan.
Sebelumnya, seni instalasi sepatu juga dibangun pemerintah DKI Jakarta persis di depan Stasiun BNI City Taman Dukuh Atas. Mereknya adalah Compass dengan dominasi warna putih, kuning, biru, cokelat muda, dan merah. Namun tugu ini mengalami vandalisme. Pada bagian kanan sepatu dicoret-coret. Ikon yang tadinya berwarna putih itu penuh dengan coretan ungu. Di bagian sol sepatu juga terlihat coretan hitam.
Warga melintas di dekat Tugu Sepatu di Stasiun BNI City, Jakarta, 19 September 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Seni instalasi itu merupakan bentuk gerakan dari Festival Kolaborasi Jakarta, merek sepatu lokal Compass, dan PT Bank Central Asia Tbk. Pelaksana tugas Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI, Gumilar Ekalaya, mengatakan kegiatan ini dibuat untuk menyambut Tahun Internasional Ekonomi Kreatif 2021 yang diinisiasi United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD).
Tugu sepatu itu dipasang di tiga titik, yaitu di Stasiun BNI City Taman Dukuh Atas, alun-alun Velodrome, dan Lapangan Banteng. Seharusnya tugu sepatu itu dipajang pada 17-26 September 2021. Pada 20 September dinihari, tugu sepatu ini dibongkar.
Ahmad Riza Patria mengatakan tugu tersebut sengaja dicabut untuk dibersihkan setelah mengalami vandalisme. “Kan, ada yang coret-coret, ada yang tidak bijak dan tidak baik. Harus dirapikan dan dibersihkan dulu. Nanti pada waktunya kami akan tampilkan lagi,” kata dia.
INDRA WIJAYA | ADAM PRIREZA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo