Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"LELUHURKU yang berbaring di dalam. Jangan kau bangun! Aku malu!” Wanita itu terus merintih. Hatinya tersayat pilu saat melihat tanah leluhurnya menjadi ajang rebutan. Sesama saudara berebut hak atas sepetak tanah warisan keluarga, bahkan kuburan.
Iman Soleh, aktor kuat dari Bandung, agaknya gelisah melihat kasus-kasus perebutan tanah di Bandung yang akhirnya berujung pada konflik keluarga. Ia menyaksikan tak habis-habisnya penjualan tanah dilakukan di Bandung. Ia tinggal di kawasan Ledeng, kini sudah berubah jauh. Area hijaunya banyak yang hilang. Apalagi kawasan Cigondewah, tempat ia di masa kecil biasa berenang. Di sana sungai sudah tercemar. Sungai yang dulu airnya bisa dipakai untuk wudu itu kini penuh sampah.
Ia lalu mengumpulkan masyarakat Ledeng dan membentuk komunitas Celah Celah Langit. Bersama beberapa warga Ledeng itu ia melakukan observasi dan riset tentang tanah di Bandung. Ia mengumpulkan data berbagai kasus tanah di Bandung. Ia menyusup ke daerah Lembang dan mewawancarai serta menggali informasi dari 25 warga Lembang, mulai calo sampai korban.
Data itu lalu ia diskusikan bersama warga. Ia buat simulasinya. Ia bikin materi-materi pementasan dari tanah, bahkan bunyi-bunyian yang sesuai dengan ranah bumi. Lalu latihan-latihan, kemudian ia lakukan pentas keliling. Salah satunya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Jumat dua pekan lalu. Dan bisa kita tebak, yang ia sajikan adalah sebuah teater warga—yang berusaha kritis, penuh rasa amarah, tapi di sana-sini, karena gaya Sundanya, setengah bodor.
Tontonannya lekat dengan keseharian masyarakat. Penonton tak melulu dibawa ke suasana haru biru, tapi juga penuh dengan gelak tawa. Tengoklah saat pemain melontarkan anekdot-anekdot sindiran kepada penguasa. ”Kupu-kupu itu biru, indah, seperti warna partai yang berkuasa…,” atau, ”Itu sapi kepalanya kambing, yah? Lucu ya. Iya, kambing hitam namanya.”
Yang menarik adalah penggunaan elemen bambu. Ia membawa puluhan bambu. Panggung ditata sedekat mungkin dengan penonton. Panggung dibuat sejajar dengan penonton. Sebagai batasnya hanya bambu dan batang padi yang diikat mengelilingi panggung utama. Properti yang digunakan juga adalah peralatan sehari-hari warga Sunda, seperti nampan anyaman bambu dan besek serta aseupan (berbentuk kerucut).
Meski hampir semua pemain tak memiliki basis teater, penampilan mereka patut diacungi jempol. Mereka percaya diri. Berani tidak terpaku terhadap naskah. Dialog selama 60 menit mengalir. Tak ada jarak antara pemain dan penonton. Semuanya menyatu.
”Saya memang sengaja tak membuat batasan dan jarak dengan penonton. Justru kami ingin membangun kedekatan, sehingga kesan merakyat itu ada. Kami itu saudara,” kata Iman Soleh, agak gagah. Untuk penggarapan naskahnya, Iman mengaku hanya bertindak sebagai editor. Semua naskah itu merupakan masukan dari para pemain. ”Kami menulis bersama, menentukan gagasan, mendiskusikannya. Saya di sini duduk sebagai editor yang menyusun naskah pertunjukan saja,” ujarnya.
Demikianlah, pentas ini memang lebih sebagai sebuah teater pemberdayaan. Bila di sana-sini bermunculan dialog klise dan setengah jargon, memang ya tuntutan estetiknya, menurut Iman, bekas aktor tangguh Teater Kecil, harus begitu. Agar publik mengerti. Ya, ya, dari tanah kembali ke tanah!
Suryani Ika Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo