Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT itu datang tanpa amplop, tanpa prangko. Bertulis tangan dan berkop International Committee of The Red Cross (Palang Merah Internasional), pada bagian kiri atas tertera stempel merah.
Si penerima surat, Mira Agustina, 27 tahun, bertanya-tanya. Tak seperti sebelumnya, surat yang disampaikan Umar al-Faruq, suaminya, melalui Palang Merah Internasional itu sangat singkat isinya. ”Saya baik-baik saja. Tolong jaga anak-anak. Doakan sehat selalu dan belajar yang baik,” begitu pesan Faruq dalam surat tertanggal 1 Juni 2005.
Sejak April 2004, sudah tujuh kali Faruq mengirim surat. Sebelumnya ia selalu menanyakan kabar dua putrinya, Al-Gholian, 5,5 tahun, dan Al-Hanun, 4 tahun, juga saudara-saudara istrinya. Mira dan anak-anak tinggal di Kampung Pasirjambu, Desa Cisalada, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Bagian akhirnya, surat cinta itu dilengkapi tanda tangan bergambar tiga hati. Che Che—panggilan sayang Faruq bagi Mira—selalu membalas surat itu melalui jasa Palang Merah Internasional. Tapi surat terakhir itu begitu pendek.
Mira tak menyangka itu mungkin surat terakhir Faruq, 34 tahun, dari Penjara Bagram, Afganistan. Awal September lalu, Mira mendapat kabar suaminya telah kabur dari Penjara Bagram.
UMAR al-Faruq adalah nama yang muncul ke permukaan pada 2002 lalu. Faruq dicokok intel Indonesia di Bogor, 5 Juni 2002 lalu. Ia dituduh berada di belakang aksi pengeboman sejumlah gereja pada 2000 dan mendalangi upaya pembunuhan Presiden Megawati Soekarnoputri. Intelijen AS menuding Faruq tangan kanan Usamah bin Ladin dan menjadi tokoh penting Jamaah Islamiyah.
Majalah Time edisi September 2002 menyebut Al-Faruq berkewarganegaraan Kuwait. Tapi, Kuasa Usaha Kedutaan Besar Kuwait di Jakarta mengatakan Faruq berkewarganegaraan Irak dengan nama Mahmud Ahmad Muhammad al-Rasyid, dengan paspor bernomor 0549549. Rasyid masuk Kuwait pada 1985 dan bekerja di negara kaya minyak itu sepuluh tahun. Disebutkan, Rasyid alias Faruq pernah berlatih militer di kamp Al-Qaidah di Khaldan, Afganistan, bersama Abu Zubaidah, tangan kanan Usamah Bin Ladin, miliarder Arab yang disebut sebagai orang nomor satu di jaringan Al-Qaidah. Faruq juga ditugasi oleh Al-Qaidah ke Moro, Filipina Selatan, membantu Front Pembebasan Islam di sana.
Time menyebutkan Faruq memiliki hubungan penting dengan jaringan teror di Indonesia. Ia, misalnya, dilukiskan dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir, pemimpin Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo. Kata Faruq, dalam laporan Time, Ba’asyir merupakan tokoh kunci Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara yang juga merestui pelbagai aksi kekerasan di Indonesia. Kepada wartawan, Ba’asyir berkali-kali membantah mengenal Umar al-Faruq.
Soal penangkapan Faruq mengundang banyak tanda tanya. Secara resmi ia dituduh bersalah karena menyalahgunakan dokumen imigrasi. Karena itulah ia tidak ditahan di Indonesia, melainkan dikembalikan ke negara asalnya. Tapi, kepada Tempo pada 2002 lalu, petugas imigrasi Jawa Barat mengaku tak tahu-menahu soal penangkapan Faruq.
Belakangan, Badan Intelijen Negara (BIN) mengakui pihaknya yang menangkap Faruq. Menurut Muchyar Yara (ketika itu Asisten Kepala Bidang Sosial dan Kemasyarakatan BIN), Faruq ditangkap oleh tim yang dipimpin Mayor Andika Perkasa, perwira Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang diperbantukan dalam operasi BIN. Andika adalah menantu Hendropriyono, Kepala BIN saat itu. ”Penangkapan itu memang kami yang mengarahkan. Kami mendapat informasi awal dari intel AS, Singapura, dan Filipina,” kata Muchyar (lihat Tempo edisi 1 Desember 2002).
Pertanyaan muncul: mengapa BIN yang menangkap? Bukankah hak menangkap tersangka hanya dimiliki oleh polisi? Lalu, mengapa pula BIN menyerahkan kepada AS? Investigasi Tempo kala itu bahkan menemukan Faruq diterbangkan dari Bandar Udara Halim Perdanakusuma dengan sebuah pesawat khusus. Paspor Faruq bahkan distempel dengan cap kedatangan Malaysia agar terkesan ia dideportasi ke negara itu. Bukankah jika Faruq diadili di Indonesia, sejumlah aksi teror—bom Bali, Marriott, dan Kuningan—bisa secara dini dideteksi?
KABURNYA Faruq dari Penjara Bagram terungkap di media saat berlangsungnya pengadilan atas Sersan Alan J. Driver di pengadilan militer Fort Bliss, Texas, Amerika Serikat, 1 November lalu. Driver satu di antara tentara Amerika yang diadili atas tuduhan menganiaya para tahanan, termasuk Al-Faruq, di kamp Bagram.
Mestinya, Faruq dihadirkan menjadi saksi sebagaimana diminta Kapten Michael Waddintong, pengacara Driver. Namun, jaksa penuntut umum Kapten John B. Parker mengaku tak bisa menghadirkannya karena Faruq melarikan diri dari penjara, sejak 10 Juli lalu, bersama tiga tahanan lain. ”Jika kami menemukannya, kami akan membawanya sebagai saksi,” ujar John.
Pelarian empat orang ini terjadi 10 Juli 2005. BBC waktu itu menyebut militer Amerika Serikat di Afganistan melaporkan pelarian empat tahanan dari Bagram. Tapi militer AS sengaja menyembunyikan identitas keempat tawanan itu. AS bahkan tak mengirimkan nota diplomatik ke sejumlah negara, termasuk Indonesia, negeri asal para pelarian. ”Belum ada pemberitahuan resmi dari AS ke RI melalui Deplu,’’ kata juru bicara Deplu, Yuri Otavian Thamrin.
Keempat orang itu adalah tahanan pertama yang berhasil kabur dari penjara berkawat duri dan dilengkapi ranjau darat itu. Operasi perburuan besar-besaran pun dilancarkan. Foto-foto mereka berpakaian seragam penjara disebar di mana-mana. Pasukan AS dan Afganistan dikerahkan hingga ke kaki Pegunungan Hindu Kush. Mereka juga menutup jalan utama dan melakukan patroli dengan helikopter, termasuk memeriksa pos-pos pemeriksaan di sekitar penjara. Sebuah sayembara bahkan digelar pasukan AS demi mendapatkan informasi keberadaan empat orang itu.
Penjara Bagram dibangun di lokasi bekas lapangan udara Uni Soviet, 40 meter utara Kabul. Kamp yang mirip kota kecil itu digunakan menahan sekitar 500 orang yang dianggap teroris dan dijaga ketat oleh pasukan koalisi AS dan Afganistan siang dan malam (lihat reportase Penjara Bagram). Pengamanan superketat itu mengundang protes dari banyak negara menyangkut hak asasi para tahanan. Sejauh ini hanya Palang Merah Internasional (ICRC) yang diperkenankan melakukan kunjungan ke penjara itu.
Dengan pengamanan superketat itu, bagaimana Faruq dan kawan-kawannya bisa kabur? ”Sangat gampang,” kata Mahmud al-Kahtai, salah seorang tawanan yang kabur, kepada Al-Arabiya, stasiun televisi Dubai, 18 Oktober lalu. Video yang ditayangkan stasiun televisi ini diambil di suatu tempat di Afganistan. Pelarian itu, kata Mahmud, dirancang dengan cermat dari jauh hari. ”Kami memutuskan kabur pada hari Ahad karena mereka libur,” ujarnya. Dua gembok sel mereka congkel pada hari kejadian.
Media online AKI (www.adnki.com) menulis empat buron itu kini bergabung dengan kelompok Taliban di Afganistan. Sebelum bergabung dengan Taliban, mereka bersembunyi empat hari di pangkalan udara Amerika yang melingkungi penjara. Video itu juga menayangkan aktivitas mereka sehari-hari seperti memegang aneka senapan, menembak, juga praktek melarikan diri. Sebuah peta penjara, misalnya, ditenteng-tenteng.
Reportase Al-Arabiya itu mencengangkan banyak orang. Apalagi penjara itu dikelilingi pangkalan militer dan pegunungan. Banyak yang menduga kaburnya empat tersangka itu dibantu militan Taliban, mengingat sehari sesudah mereka kabur militan Taliban mengumumkan akan memberikan proteksi kepada keempatnya. ”Taliban menemukan dan menyambut baik keempat mujahidin itu, pagi ini,” ujar juru bicara Taliban, Abdul Latif Hakimi.
Meski begitu, menilik pengamanan superketat, tetap saja kaburnya empat tahanan itu mengundang spekulasi. Benarkah empat tahanan itu kabur atau sengaja dibiarkan kabur?
Meski dilansir banyak media, keluarga Amir Majelis Mujahidin Indonesia Abu Bakar Ba’asyir menyangsikan Faruq melarikan diri. Abdurrokhim, salah seorang putra Ba’asyir, menduga Amerika punya skenario tertentu soal ini. Faruq, kata Abdurrokhim, bisa saja tak kabur, tapi diberitakan kabur untuk kemudian ditembak seperti yang terjadi pada Fathur Rohman al-Ghozi di Filipina. ”Logikanya, tak mungkin orang bisa kabur dari penjara superketat,” kata Abdurrokhim.
Pemerintah Indonesia waswas. Soalnya, kaburnya tawanan AS ini bakal membawa implikasi keamanan di Indonesia. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Faruq bisa saja kembali ke Indonesia dan melakukan serangan balik. Langkah ini, kata Kepala Desk Antiteror Menko Polkam, Inspektur Jenderal Ansyaad Mbai, dimungkinkan mengingat sejumlah tokoh di daerah konflik seperti Poso dan Ambon adalah hasil binaan Faruq. Sayang, Mbai menolak menyebut siapa mereka.
Senin lalu, Presiden Yudhoyono memimpin rapat dengan menteri bidang politik dan keamanan membahas pencegahan Faruq dan kawan-kawannya masuk ke Indonesia. Selain mengirimkan nota diplomatik ke AS, pemerintah juga menjalin kerja sama dengan interpol. ”Termasuk di tempat-tempat yang mungkin didatangi Faruq,” kata Kapolri Jenderal Sutanto. Beberapa tempat malah telah diawasi, termasuk tempat sekitar rumah Mira Agustina di Bogor, Jawa Barat. ”Ketua RT meminta saya melapor kalau ada tamu dari mana pun. Katanya, itu perintah dari kepolisian,” ujar Mira.
Tak jelas akankah Faruq kembali ke Tanah Air. Setelah dua buron kakap Azahari dan Noordin M. Top, kini tugas polisi bertambah satu: mencegah Umar al-Faruq kembali datang ke sini.
Widiarsi Agustina, Philipus Parera, Deddy Sinaga (Jakarta), Deffan Purnama (Bogor), Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo