ANDA ingin buku murah ? Datanglah ke Taiwan. Bukan buku loakan.
Melainkan masih "hangat", baru turun dari mesin cetak. Begitu
agaknya kalimat pemikat yang ingin dipajang para pemilik toko
buku sepanjang Chung Shan North Road, di pusat Kota Taipei.
"Buku murah" itu sudah ditawarkan sejak seorang pelansong
menginjakkan kaki di negeri ini. Brosur badan pariwisata ikut
ambil bagian. Di kawasan perhotelan sepanjang Lin Sen North
Road, Cheng Teh Road, dan Chung Hsiao West Road, Taipei para
pemilik toko buku sakan berebutan memancing pembeli. Bahkan
sopir taksi siap melayani pendatang yang ingin berbelanja di
'pasar buku ' itu.
Hampir segala macam buku--terutama novel --yang sedang laris di
pasaran dunia tersedia di sini. Dengan harga jauh lebih murah.
"Karya John Irving The Hotel New Hampshire dijual dengan harga
Rp 2.667," tulis wartawan The Asin Wallstreet Journal, Anthony
Spaeth. Di negeri asal buku tersebut, Amerika, harganya Rp
9.842,50. Bagalmana keaJaiban' ini bisa terjadi?
Pembajakan buku tampaknya berjalan aman di 'Republik Cina'.
"Sesuai hukum yang berlaku di Taiwan, sebagian besar hak cipta
tidak dilindungi, bahkan tidak cukup dihargai," kata Spaeth
melanjutkan. "Karya laris terakhir Joseph Wambaugh yang dibajak
di sini, sama sahnya dengan buku orisinal yang dikirim dari New
York."
Taiwan mungkin patut disebut 'surga' pembajak buku. "Tak sampai
seminggu setelah sebuah buku terbit di negeri asalnya, kami
sudah bisa menjualnya di sini," tutur pemilik Imperil Bookstore
di Lin Shen North Road, Taipei, kepada wartawan TEMPO A.
Margana. Dan dengan harga lebih merangsang.
Dari segi persaingan, bisnis penerbitan di Taiwan memang cukup
panas. Misalnya ketika barubaru ini terjadi 'kompetisi' untuk
menerbitkan novel James Clavell paling laku, Noble House.
"Saya hanya menang waktu sekitar tiga jam," ujar Peter Y. Hsu,
monging director Caves Books Ltd., penerbit dan salah satu toko
buku terbesar di Taiwan. Perusahaannya berhasil mendapat
persetujuan Clavell bagi Noble House "edisi Taiwan."
Namun perjuangan yang ditempuh Hsu cukup panjang. Dengan
pelbagai cara ia menghubungi Clavell untuk mendapatkan
persetujuan itu. Dan celakanya, sebelum edisi yang direstui itu
terbit, edisi bajakan sudah dipajang di kedai-kedai buku Taipei.
"Saya akan menuntut mereka," pekik Hsu merah padam.
"Perdagangan buku di sini memang mirip pasar bajak," tulis
Anthony Spaet. Kadang-kadang, para pengarang asing memang
memberi izin kepada penerbit tertentu. Tapi lebih banyak yang
tak tahu bahwa bukunya telah terbit dalam "edisi Taiwan".
"Segala yang bisa dicetak dan laku dijual, diterbitkan di sini,"
kata Spaeth.
Bisnis itu sendiri tak terhitung besar. Ia hanya melibatkan
sekitar 20 penerbit, yang hidup dari mencetak ulang buku-buku
asing, dengan izin maupun tidak. Tapi persaingannya sungguh
seru.
Setiap penerbit berlomba-lomba mencetak lebih dulu setiap buku
asing yang sedang laris. Tak jarang penerbit seperti Imperial,
atau Sound & Gift mencetak dua atau tiga judul buku dalam
seminggu.
Yang diincar tak hanya novel. Buku petunjuk komputer, ilmu
bahasa, bahkan "Bagaimana menulis surat dagang" termasuk banyak
mendatangkan untung. Lakunya memang tidak keras, tapi pasarannya
mantap. Ada saja orang memerlukan.
Dalam persaingan ini, mutu cetak memang agak diabaikan. Klit
buku sering kabur. Banyak halaman belum terbelah. Penjilidannya
juga jelek "Tapi pembeli jarang mengeluh," ujar seorng
penerbit. Mereka rupanya lebih mengutamakan harganya yang murah.
Misalnya Noble House. Di Amerika buku itu dijual dengan harga
Rp 12. 668,25. Tapi edisi Taiwan-nya cuma sekitar Rp 5.000.
Karya Stephen King Cujo edisi asli Rp 8.500. Bajakannya hanya Rp
2.850.
Teknik pembajakan juga cukup praktis. Buku asli dilepas
jilidannya, lalu dipotret halaman demi halaman. Klise ini
langsung diputar di mesin cetak. Acap kali edisi Taiwan tadi
mencantumkan harga asli di Amerika atau Inggris. "Untuk
meyakinkan pembeli betapa murahnya harga kami," kata Peter Y.
Hsu.
Dengan sekitar 18 juta penduduk yang dinyatakan bebas buta
huruf, ditambah daya beli rakyat yang cukup kuat, para pengusaha
Taiwan boleh berharap banyak dari bisnis buku. Namun buku asing
tampaknya disediakan untuk para pendatang. Bagi pembaca dalam
negeri, cukup banyak buku yang diterjemahkan dan dicetak dalam
aksara Cina.
Di Taiwan, hak cipta baru dilindungi setelah didaftarkan ke
Kementerian Dalam Negeri. Nah, penulis asing mana pula yang mau
pusing-pusing dengan urusan begitu? Sebaliknya, karya yang tidak
didaftarkan boleh dibajak siapa saja tanpa ancaman hukum.
Segelintir buku memang mendapat izin pengarangnya. Dalam hal ini
penerbit memberi imbalan yang sangat kecil. Sekitar 10% sampai
20% dari hasil penjualan. Izin pengarang tadi didaftarkan ke
Kementerian Dalam Negeri. Tapi itu bukan berarti buku tersebut
tidak bakal dibajak penerbit lain-yang bahkan tidak memegang
izin.
Percetakan juga tak jarang main kayu. Misalnya, penerbit hanya
memesan 5000 eksernplar. Tapi percetakan mencetak dua kali lebih
banyak. Dan menjual sisanya langsung ke pasaran. Karena itu
Caves Book Ltd. memilih percetakan yang "sedang-sedang saja",
yang, tidak mampu mencetak buku terlalu banyak.
Caves Book termasuk penerbit yang agak tertib. Mereka rajin
menghubungi penulis untuk mendapat izin. Dengan cara itu,
misalnya, Caves mefnerbitkan sejumlah edisi "resmi" tahun ini.
Di antaranya Manchu, serta karya Maxine Hong Kingston, The Womn
Warrior dan Chin Men.
Untuk buku nonfiksi, izin penerbit asli lebih diperhatikan.
Soalnya, buku jenis ini tidak laku keras. Namun merupakan
kebutuhan terus menerus. Webster's New World Dictionary edisi
Taiwan, yang diterbitkan Caves dengan izin resmi sudah terjual
hampir dua ribu eksemplar. Ada pula buku pelajaran bahasa
Inggris yang sudah mencapai angka penjualan hampir 10 ribu
eksemplar.
Untuk para pengarang asing, situasi runyam ini memang belum
terpecahkan. Menurut Peter Y. Hsu, memberi izin justru "Cara
yang paling masuk akal." "Mereka malah tak kehilangan apa-apa,"
katanya tersenyum simpul.
Memilih buku yang harus dibajak juga memerlukan 'seni'
tersendiri. Imperial Book tampaknya berpedoman kepada daftar
buku laris susunan majalah Time. Paling tidak, begitulah
pengakuan Hailey Yeh, manajer perusahaan tersebut.
"Tapi tidak selamanya buku yang berada di puncak daftar laku
keras di sini," kata seorang pengusaha lain. Contoh novel Tom
Robbins, Still Life With Woodpecker.
Buku itu laku keras di Amerika. Pengarangnya tokoh yang
disenangi kalangan mahasiswa sana. Caves Book menerbitkan edisi
Taiwan, tanpa meminta izin pengarangnya. "Sebab menurut taksiran
saya, di sini buku itu tidak bakal terlalu laris," kata Hsu.
Sangat tipis kemungkinan penerbit lain berselera membajaknya.
Izin pengarang juga tidak diperlukan bagi buku politik yang
termasuk peka. "Mendiftaran buku macam begitu ke Kementerian
Dalam Negeri bisa mengundang pengawasan yang lebih ketat," kata
Hsu.
Tapi Caves menjalankan sensur sendiri. Misalnya edisi Taiwan
dari China: Tradition and Transformation karya dua guru besar
Harard, John K. Fairbank dan Edwin Reischauer. Buku itu hanya
dibajak sampai halaman 472. Padahal buku aslinya jauh lebih
panjang.
Dengan demikian beberapa bab tidak terdapat dalam edisi
Taiwan. Antara lain bab: Rise of Chinese Communists, China:
The People's Republic, dan Talwan. Bahkan kalau buku itu dicetak
ulang, ada lagi bab yang harus disisihkan "demi keamanan", yaitu
bab The Rise and Decline of Nationalist China.
Meski penerbit asli tidak memberi izin, para pembajak Taiwan
tidak ambil pusing. Seperti yang terjadi dengan buku Merck
Manual, sebuah referensi medis. "Buku itu memang tidak cepat
laku, tapi pasti habis' tutur Peter Y. Hsu kepada Anthony
Spaeth. "Bertahun-tahun kami menyurati penerbitnya, memohon
izin. Balasan tak kunjung datang." Toh edisi Taiwan tetap
muncul.
DIBANDINGKAN dengan buku-buku aslinya, edisi Taiwan lebih jelek.
Pembaca yang tidak mengetahui seluk-beluk pembajakan ini akan
menyangka buku itu baru dikeluarkan dari gudang yang busuk, atau
bekas kecemplung di laut. Kertasnya lebih tipis. Buku asli Noble
House beratnya sekitar tiga kilo. Edisi Taiwannya cuma 1,85
kilo.
Pemerintah Taiwan tampaknya melindungi usaha reproduksi ini.
Pajak yang dikenakan untuk buku impor sangat tinggi. Sebaliknya,
buku edisi Taiwan tadi tidak boleh diekspor. Dikukuhkan dengan
peraturan, larangan itu dicantumkan pada kulit buku.
Misalkan anda membeli.edisi Taiwan dalam jumlah banyak dan
menerbangkannya ke Jakarta. Petugas bea cukai akan menyobek
kulit buku yang mencantumkan pengumuman "tidak untuk ekspor"
itu. Nah. Siapa pula yang mau membeli buku tanpa kulit?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini