Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surga Bagi Para Pembajak

Pembajakan buku di Taiwan berjalan aman, sebagian besar hak cipta tidak dilindungi, bahkan tidak cukup dihargai. tak sampai seminggu sebuah buku terbit di AS, di Taiwan sudah dijual murah.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA ingin buku murah ? Datanglah ke Taiwan. Bukan buku loakan. Melainkan masih "hangat", baru turun dari mesin cetak. Begitu agaknya kalimat pemikat yang ingin dipajang para pemilik toko buku sepanjang Chung Shan North Road, di pusat Kota Taipei. "Buku murah" itu sudah ditawarkan sejak seorang pelansong menginjakkan kaki di negeri ini. Brosur badan pariwisata ikut ambil bagian. Di kawasan perhotelan sepanjang Lin Sen North Road, Cheng Teh Road, dan Chung Hsiao West Road, Taipei para pemilik toko buku sakan berebutan memancing pembeli. Bahkan sopir taksi siap melayani pendatang yang ingin berbelanja di 'pasar buku ' itu. Hampir segala macam buku--terutama novel --yang sedang laris di pasaran dunia tersedia di sini. Dengan harga jauh lebih murah. "Karya John Irving The Hotel New Hampshire dijual dengan harga Rp 2.667," tulis wartawan The Asin Wallstreet Journal, Anthony Spaeth. Di negeri asal buku tersebut, Amerika, harganya Rp 9.842,50. Bagalmana keaJaiban' ini bisa terjadi? Pembajakan buku tampaknya berjalan aman di 'Republik Cina'. "Sesuai hukum yang berlaku di Taiwan, sebagian besar hak cipta tidak dilindungi, bahkan tidak cukup dihargai," kata Spaeth melanjutkan. "Karya laris terakhir Joseph Wambaugh yang dibajak di sini, sama sahnya dengan buku orisinal yang dikirim dari New York." Taiwan mungkin patut disebut 'surga' pembajak buku. "Tak sampai seminggu setelah sebuah buku terbit di negeri asalnya, kami sudah bisa menjualnya di sini," tutur pemilik Imperil Bookstore di Lin Shen North Road, Taipei, kepada wartawan TEMPO A. Margana. Dan dengan harga lebih merangsang. Dari segi persaingan, bisnis penerbitan di Taiwan memang cukup panas. Misalnya ketika barubaru ini terjadi 'kompetisi' untuk menerbitkan novel James Clavell paling laku, Noble House. "Saya hanya menang waktu sekitar tiga jam," ujar Peter Y. Hsu, monging director Caves Books Ltd., penerbit dan salah satu toko buku terbesar di Taiwan. Perusahaannya berhasil mendapat persetujuan Clavell bagi Noble House "edisi Taiwan." Namun perjuangan yang ditempuh Hsu cukup panjang. Dengan pelbagai cara ia menghubungi Clavell untuk mendapatkan persetujuan itu. Dan celakanya, sebelum edisi yang direstui itu terbit, edisi bajakan sudah dipajang di kedai-kedai buku Taipei. "Saya akan menuntut mereka," pekik Hsu merah padam. "Perdagangan buku di sini memang mirip pasar bajak," tulis Anthony Spaet. Kadang-kadang, para pengarang asing memang memberi izin kepada penerbit tertentu. Tapi lebih banyak yang tak tahu bahwa bukunya telah terbit dalam "edisi Taiwan". "Segala yang bisa dicetak dan laku dijual, diterbitkan di sini," kata Spaeth. Bisnis itu sendiri tak terhitung besar. Ia hanya melibatkan sekitar 20 penerbit, yang hidup dari mencetak ulang buku-buku asing, dengan izin maupun tidak. Tapi persaingannya sungguh seru. Setiap penerbit berlomba-lomba mencetak lebih dulu setiap buku asing yang sedang laris. Tak jarang penerbit seperti Imperial, atau Sound & Gift mencetak dua atau tiga judul buku dalam seminggu. Yang diincar tak hanya novel. Buku petunjuk komputer, ilmu bahasa, bahkan "Bagaimana menulis surat dagang" termasuk banyak mendatangkan untung. Lakunya memang tidak keras, tapi pasarannya mantap. Ada saja orang memerlukan. Dalam persaingan ini, mutu cetak memang agak diabaikan. Klit buku sering kabur. Banyak halaman belum terbelah. Penjilidannya juga jelek "Tapi pembeli jarang mengeluh," ujar seorng penerbit. Mereka rupanya lebih mengutamakan harganya yang murah. Misalnya Noble House. Di Amerika buku itu dijual dengan harga Rp 12. 668,25. Tapi edisi Taiwan-nya cuma sekitar Rp 5.000. Karya Stephen King Cujo edisi asli Rp 8.500. Bajakannya hanya Rp 2.850. Teknik pembajakan juga cukup praktis. Buku asli dilepas jilidannya, lalu dipotret halaman demi halaman. Klise ini langsung diputar di mesin cetak. Acap kali edisi Taiwan tadi mencantumkan harga asli di Amerika atau Inggris. "Untuk meyakinkan pembeli betapa murahnya harga kami," kata Peter Y. Hsu. Dengan sekitar 18 juta penduduk yang dinyatakan bebas buta huruf, ditambah daya beli rakyat yang cukup kuat, para pengusaha Taiwan boleh berharap banyak dari bisnis buku. Namun buku asing tampaknya disediakan untuk para pendatang. Bagi pembaca dalam negeri, cukup banyak buku yang diterjemahkan dan dicetak dalam aksara Cina. Di Taiwan, hak cipta baru dilindungi setelah didaftarkan ke Kementerian Dalam Negeri. Nah, penulis asing mana pula yang mau pusing-pusing dengan urusan begitu? Sebaliknya, karya yang tidak didaftarkan boleh dibajak siapa saja tanpa ancaman hukum. Segelintir buku memang mendapat izin pengarangnya. Dalam hal ini penerbit memberi imbalan yang sangat kecil. Sekitar 10% sampai 20% dari hasil penjualan. Izin pengarang tadi didaftarkan ke Kementerian Dalam Negeri. Tapi itu bukan berarti buku tersebut tidak bakal dibajak penerbit lain-yang bahkan tidak memegang izin. Percetakan juga tak jarang main kayu. Misalnya, penerbit hanya memesan 5000 eksernplar. Tapi percetakan mencetak dua kali lebih banyak. Dan menjual sisanya langsung ke pasaran. Karena itu Caves Book Ltd. memilih percetakan yang "sedang-sedang saja", yang, tidak mampu mencetak buku terlalu banyak. Caves Book termasuk penerbit yang agak tertib. Mereka rajin menghubungi penulis untuk mendapat izin. Dengan cara itu, misalnya, Caves mefnerbitkan sejumlah edisi "resmi" tahun ini. Di antaranya Manchu, serta karya Maxine Hong Kingston, The Womn Warrior dan Chin Men. Untuk buku nonfiksi, izin penerbit asli lebih diperhatikan. Soalnya, buku jenis ini tidak laku keras. Namun merupakan kebutuhan terus menerus. Webster's New World Dictionary edisi Taiwan, yang diterbitkan Caves dengan izin resmi sudah terjual hampir dua ribu eksemplar. Ada pula buku pelajaran bahasa Inggris yang sudah mencapai angka penjualan hampir 10 ribu eksemplar. Untuk para pengarang asing, situasi runyam ini memang belum terpecahkan. Menurut Peter Y. Hsu, memberi izin justru "Cara yang paling masuk akal." "Mereka malah tak kehilangan apa-apa," katanya tersenyum simpul. Memilih buku yang harus dibajak juga memerlukan 'seni' tersendiri. Imperial Book tampaknya berpedoman kepada daftar buku laris susunan majalah Time. Paling tidak, begitulah pengakuan Hailey Yeh, manajer perusahaan tersebut. "Tapi tidak selamanya buku yang berada di puncak daftar laku keras di sini," kata seorang pengusaha lain. Contoh novel Tom Robbins, Still Life With Woodpecker. Buku itu laku keras di Amerika. Pengarangnya tokoh yang disenangi kalangan mahasiswa sana. Caves Book menerbitkan edisi Taiwan, tanpa meminta izin pengarangnya. "Sebab menurut taksiran saya, di sini buku itu tidak bakal terlalu laris," kata Hsu. Sangat tipis kemungkinan penerbit lain berselera membajaknya. Izin pengarang juga tidak diperlukan bagi buku politik yang termasuk peka. "Mendiftaran buku macam begitu ke Kementerian Dalam Negeri bisa mengundang pengawasan yang lebih ketat," kata Hsu. Tapi Caves menjalankan sensur sendiri. Misalnya edisi Taiwan dari China: Tradition and Transformation karya dua guru besar Harard, John K. Fairbank dan Edwin Reischauer. Buku itu hanya dibajak sampai halaman 472. Padahal buku aslinya jauh lebih panjang. Dengan demikian beberapa bab tidak terdapat dalam edisi Taiwan. Antara lain bab: Rise of Chinese Communists, China: The People's Republic, dan Talwan. Bahkan kalau buku itu dicetak ulang, ada lagi bab yang harus disisihkan "demi keamanan", yaitu bab The Rise and Decline of Nationalist China. Meski penerbit asli tidak memberi izin, para pembajak Taiwan tidak ambil pusing. Seperti yang terjadi dengan buku Merck Manual, sebuah referensi medis. "Buku itu memang tidak cepat laku, tapi pasti habis' tutur Peter Y. Hsu kepada Anthony Spaeth. "Bertahun-tahun kami menyurati penerbitnya, memohon izin. Balasan tak kunjung datang." Toh edisi Taiwan tetap muncul. DIBANDINGKAN dengan buku-buku aslinya, edisi Taiwan lebih jelek. Pembaca yang tidak mengetahui seluk-beluk pembajakan ini akan menyangka buku itu baru dikeluarkan dari gudang yang busuk, atau bekas kecemplung di laut. Kertasnya lebih tipis. Buku asli Noble House beratnya sekitar tiga kilo. Edisi Taiwannya cuma 1,85 kilo. Pemerintah Taiwan tampaknya melindungi usaha reproduksi ini. Pajak yang dikenakan untuk buku impor sangat tinggi. Sebaliknya, buku edisi Taiwan tadi tidak boleh diekspor. Dikukuhkan dengan peraturan, larangan itu dicantumkan pada kulit buku. Misalkan anda membeli.edisi Taiwan dalam jumlah banyak dan menerbangkannya ke Jakarta. Petugas bea cukai akan menyobek kulit buku yang mencantumkan pengumuman "tidak untuk ekspor" itu. Nah. Siapa pula yang mau membeli buku tanpa kulit?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus